Selain Data, Peran Manusia yang Kapabel dan Berintegritas Sangat Menentukan dalam Pengambilan Keputusan

beritabernas.com – Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengatakan, selain data yang lengkap dan akurat, peran manusia yang kapabel dan berintegritas tetap sangat menentukan dalam pengambilan keputusan.

Sebab, bila hanya mengandalkan data tanpa peran manusia yang kapabel dan berintegritas, keputusan yang dihasilkan bisa salah atau tidak tepat. Bahkan, tanpa data sekalipun, keputusan bisa diambil atau dilakukan oleh manusia yang kapabel dan berintegrtas.

Hal itu disampaikan Rektor UII Prof Fathul Wahid dalam acara penyerahan SK kenaikan jabatan akademis profesor kepada Dr Sri Kusumadewi, Dosen Prodi Informatika, Program Magister, FTI UII di Gedung Kuliah Umum Prof Sardjito Kampus Terpadu UII, Selasa 12 Agustus 2025.

Menurut Fathul Wahid, selama ini data dipercaya mempunyai banyak manfaat. Bahkan ada yang mengatakan, data adalah minyak bumi baru (data is the new oil), karena nilai yang dikandungnya disamakan dengan peran minyak bumi pada masa revolusi industri. Frasa ini dinyatakan pertama kali pada 2006 oleh matematikawan berkebangsaan Inggris bernama Clive Humby.

Prof Dr Sri Kusumadewib S.Si MT (tengah) menerima SK Profesor. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Namun, menurut Fathul Wahid, data tidak serta merta memberikan manfaat. Data perlu didapatkan dari sumber yang tepat (data provenance), disiapkan dengan baik (data preparation), dilindungi (data protection), dan disadari aspek privasinya (data privacy). Pemahaman seperti ini diperlukan supaya tidak terjadi “kebakaran data” yaitu beragam masalah yang muncul terkait dengan data (Talagala, 2022).

Selain itu, ada banyak salah kaprah dalam memosisikan data terkait pengambilan keputusan yang perlu kita pahami. Sebagai warga kampus, apalagi akademisi, perlu menambah literasi data karena pemahaman seperti ini penting agar kita tidak latah dan dapat terlibat dalam proses edukasi publik.

Fathul Wahid memberi beberapa contoh salah kaprah soal data. Pertama, sebagian dari kita percaya, jika data tersedia, maka pengambilan keputusan beres karena data dianggap dapat berbicara sendiri. Mereka menganggap bahwa data secara otomatis akan menghasilkan kesimpulan yang benar, cukup dengan “melihat angkanya”.

Faktanya, menurut Fathul Wahid, supaya bermakna, maka data butuh konteks, interpretasi dan kadang penjelasan kualitatif. Tanpa analisis yang tepat, data bisa menyesatkan atau diartikan keliru. Keputusan terkait manusia, misalnya, tidak bisa hanya dengan melihat data angka, apalagi sekilas. Ada beragam cerita di belakang data yang sering kali harus masuk ke dalam radar pengambil keputusan.

Kedua, sebagian dari kita juga yakin bahwa semakin banyak data, semakin baik keputusan. Karenanya, diyakini keputusan terbaik adalah yang sepenuhnya berbasis data, dan mengabaikan faktor intuisi, pengalaman, nilai-nilai, atau etika.

Faktanya, data berlebih (information overload) justru bisa membuat proses analisis lambat atau membingungkan, apalagi kalau tidak relevan dengan masalah. Di sisi lain, kehadiran data memang membantu, tapi banyak keputusan juga butuh pertimbangan strategis dan nilai-nilai organisasi.

Belum lagi, dalam beberapa kasus, data tidak tersedia secara memadai, tetapi keputusan harus tetap diambil. “Saya masih ingat hari-hari awal aktivitas bakda gempa bumi di Yogyakarta pada 2006, ketika beragam inisiatif dengan asumsi dan pengalaman, karena data yang sangat terbatas,” kata Fathul Wahid.

Ketiga, banyak dari kita yakin bahwa data selalu objektif dan bebas dari bias. Kalau datanya berasal dari sumber resmi, dipastikan benar karena menganggap otoritas data menjamin kebenaran mutlak. “Saya teringat seorang kawan yang sedang mengambil program doktor di Australia. Pembimbingnya menyatakan tidak setuju jika riset yang akan dilakukannya menggunakan data sekunder yang telah dikumpulkan oleh sebuah lembaga, karena dia tidak percaya dengan integritas data,” kata Fathul Wahid.

Faktanya, bias,atau kesalahan sistematis dapat muncul di tahap pengumpulan, pemilihan variabel, metode penyampelan maupun saat analisis. Data mentah selalu lahir dari asumsi tertentu. Selain itu, sumber resmi pun bisa punya keterbatasan metodologi, keterlambatan pembaruan, atau kesalahan input.

Terkait dengan isu ini, pada 1954, lebih dari 70 tahun lalu, Darrell Huff menulis buku berjudul How to lie with statistics yang memberikan gambaran bagaimana beragam manipulasi statistikal bisa dilakukan, mulai dari pengambilan data sampaikan dengan presentasinya.

Masih banyak buku lain yang menyoal isu serupa, seperti yang ditulis oleh Joel Best (2004) yang berjudul More damned lies and statistics: How numbers confuse public issues yang diterbitkan oleh Universitas California.

Bahkan kasus yang mencuat beberapa hari terakhir di negara kita, dapat juga menjadi ilustrasi. Center of Economic and Law Studies (Celios) meminta Badan Statistik PBB (United Nations Statistics Division/UNSD) dan United Nations Statistical Commission untuk melalukan investigasi terhadap Badan Pusat Statistik (BPS). Karena Celios membandingkan data pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan BPS dengan kondisi riil di lapangan. Jika dugaan Celios benar, menurut Fathul Wahid maka di sini ada nilai-nilai intergritas yang dilanggar oleh penyelenggara negara.

Contoh lain, pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia, juga tidak kalis dari potensi praktik manipulasi data. Misalnya, ada kampus yang “mengurangi” cacah mahasiswa sampai lebih dari 50%, dan ada juga yang “menambah” cacah dosennya menjadi lebih dari 150% dari yang dilaporkan ke pangkalan data pendidikan tinggi. Soal publikasi yang ditengarai berisiko melanggar integritas akademik sudah dibuka oleh The Research Integrity Risk Index (RI²). Patut diduga, praktik ini sengaja dipilih untuk meningkatkan nilai dalam pemeringkatan.

BACA JUGA:

Tentu masih banyak salah kaprah lain, termasuk di dalamnya visualisasi data yang tidak selalu membantu, ketika didesain dengan serampangan atau dibarengi dengan niat untuk mengelabuhi atau menyesatkan. Visualisasi ini seperti ini dapat membimbing ke arah interpretasi atau bahkan kesimpulan yang salah.

Peran data

Dalam mengambil keputusan, menurut Fathul Wahid, data dapat memainkan peran yang berbeda-beda, tergantung bagaimana kita menempatkannya. Paling tidak, terdapat tiga pendekatan utama yang sering digunakan yakni data-driven, data-informed dan data-inspired.

Yang pertama, data-driven. Di sini, semua keputusan digerakkan sepenuhnya oleh angka dan statistik. Bayangkan seperti autopilot di pesawat, sistem membaca semua parameter, lalu menentukan arah tanpa campur tangan emosi.

Lalu, ada data-informed. Pendekatan ini seperti mengemudi mobil dengan bantuan GPS. Kita tahu arah dan kondisi jalan dari data, tapi tetap punya ruang untuk menyesuaikan jika ada hal-hal tak terduga. Dan data-inspired. Ini seperti melihat peta cuaca sebelum memutuskan aktivitas luar ruang, termasuk main layang-layang. Data memberi ide awal, tapi kita bebas mengeksplorasi pilihan. Data menjadi sumber wawasan, bukan penentu hasil akhir.

Karena itu, menurut Fathul Wahid, jangan sampai kita suka berhalusinasi, bahwa dunia akan semakin indah, jika semua pengambilan keputusan ditentukan sepenuhnya oleh data dan algoritma tanpa campur tangan kita. Bisa jadi, dunia justru menjadi mengerikan, karena manusia direnggut kemerdekaannya dan diperlakukan tak beda dengan onderdil mesin, yang mengikuti algoritma desainernya.

“Data tak selalu bicara dalam nada yang sama. Kadang jadi pengemudi, kadang penunjuk jalan, kadang hanya pemantik imajinasi. Di sini, peran manusia yang kapabel dan berintegritas sangat menentukan,” tegas Rektor UII Fathul Wahid. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *