Oleh: Candra Landomari, Presidium Pendidikan dan Kaderisasi PMKRI Cabang Yogyakarta periode 2024-2025
beritabernas.com – Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan keberagaman budaya, suku maupun agama. Indonesia menjadi negara di Asia bahkan dunia yang memiliki semuanya.
Berdasarkan data yang dikutip dari laman resmi Wikipedia bahwa sumber daya alam di Indonesia tidak terbatas pada keanekaragaman hayati. Berbagai daerah di Indonesia juga dikenal sebagai penghasil berbagai jenis bahan tambang, seperti petroleum, timah, gas alam, nikel, tembaga, bauksit, batu bara, emas dan perak.
Di samping itu, Indonesia juga memiliki tanah yang subur dan baik untuk berbagai jenis tanaman. Wilayah perairan yang mencapai 7,9 juta km2 juga menyediakan potensi alam yang sangat besar. Namun, Indonesia yang majemuk dan kaya akan semuanya itu tidak mudah untuk mencapai kemakmuran dan kemerdekaan yang sesungguhnya oleh seluruh rakyat. Kemiskinan dan penderitaan serta ketidakadilan selalu dan masih banyak dialami oleh rakyat Indonesia saat ini, walaupun kepemimpinan silih berganti sejak kemerdekaan hingga saat ini.
Indonesia bukanlah negara yang baru lahir kemarin, namun negara yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun yang mengalami pasang surut, kemajuan dan kemunduran. Dari tahun ke tahun, periode ke periode kepemimpinan yang selalu berganti dengan visi membawa Indonesia kepada negara maju, mandiri dan lebih baik, namun pada kenyataannya dapat kita saksikan apa yang sedang terjadi antara mengarah pada kemajuan atau kemunduran? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu merefleksi kembali pada perjalanan panjang bangsa ini.
Indonesia saat ini berada pada posisi di persimpangan. Ibarat mobil yang bingung akan gmapsnya, mencari dan membuat jalan baru agar bisa keluar dari kebingungan. Begitu pula Indonesia saat ini yang berada di persimpangan, mencari jalan keluar dari segala situasi dan keadaan saat ini.
Begitu banyak cara yang dilakukan pemerintah agar mampu keluar dari keadaan yang buruk saat ini, salah satunya memanfaatkan sumber daya alam yang ada seperti emas, nikel dan minyak bumi serta berbagai kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan.
Pemanfaatan sumber daya alam yang belum begitu optimal dan belum maksimal membawa Indonesia pada kemunduran dan kehancuran lingkungan alam. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan tambang di Indonesia yang memberikan dampak negatif pada lingkungan fisik, sosial, budaya masyarakat dan ekosistem yang berada di lokasi maupun di sekitar pertambangan tersebut.
BACA JUGA:
- Mahasiswa NTT di Yogyakarta Dorong Geotermal untuk Kedaulatan Energi
- Tambang Nikel Mengancam Raja Ampat Kehilangan Surganya
- PMKRI Yogyakarta Desak Presiden Prabowo Cabut Izin Usaha Pertambangan di Raja Ampat
Begitu banyak permasalahan lingkungan dan kerusakan ekosistem di Indonesia yang karena pertambangan. Dikutip dari laman resmi Tempo pada 15 Juni 2025 bahwa terdapat lima kasus kerusakan lingkungan karena adanya aktivitas pertambangan di Indonesia dimana di antaranya pencemaran teluk PT Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara, pencemaran sungai PT Freeport di Papua, pencemaran teluk Weda di Halmahera Maluku Utara, pencemaran laut di Bangka Belitung, dan pencemaran laut Raja Ampat.
Masalah kerusakan alam dan ekosistem merupakan hal yang krusial jika dibiarkan begitu saja tanpa adanya kebijakan dan pengawasan yang ketat. Baru-baru ini masyarakat digoncangkan dengan adanya pertambangan di laut Raja Ampat yang memberikan dampak negatif pada lingkungan fisik, ekosistem laut dan lingkungan sosial budaya masyarakat di Raja Ampat.
Pertambangan nikel di Raja Ampat yang dipermasalahkan hari ini adalah terkait pelanggaran dan ketidaksesuaian dengan apa yang dituangkan dalam UUD negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dalam UU itu ditegaskan bagaimana peran negara dalam memastikan pengelolaan kawasan tersebut dilakukan secara adil, berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan rakyat. Melihat UU tersebut dengan permasalahan sosiologis yang sangat kompleks dan multifaset karena menyebabkan beberapa permasalahan seperti kerusakan lingkungan, perampasan ruang hidup, ketidakadilan, dan berbagai macam dampak sosial lainnya yang menjadi kontradiksi antara realisasi UU nomor 1 tahun 2014 dengan kondisi nyata yang ada di lapangan.
Pertambangan di Raja Ampat yang menghancurkan lingkungan fisik dan sosial budaya masyarakat sekitar menjadi ceminan bahwa UU itu tidak dijalankan secara adil, berkelanjutan dan untuk kepentingan rakyat. Namun pertambangan yang terjadi hari ini berjalan atas kepentingan oligarki di negara ini tanpa melihat dan mendengar aspirasi masyarakat akar rumput.
Musyawarah mufakat bukan lagi menjadi kebiasaan kita sebagaimana tercantum dalam nilai ke 4 Pancasila dan nilai ke 5 tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut hanya sebagai wacana belaka jika dilihat dari berbagai problematika yang terjadi saat ini.
Pendekatan secara emosional dan secara sosiologis tidak pernah dilakukan secara maksimal antar pemerintahan dengan masyarakat, maka berbagai keputusan muncul dan berkontradiksi dengan kebutuhan masyarakat akar rumput.
Raja ampat bukan tanah kosong adalah slogan yang tepat untuk meneriakan perlawanan terhadap keputusan pemerintah hari ini yang tanpa melihat dan mendengar aspirasi masyarakat akar rumput. Pemerintah hari ini hadir bukan lagi menjadi penengah dalam suatu permasalahan namun pemerintah hadir sebagai pembawa masalah karena ego dan kepentingan individu yang terlalu tinggi.
Raja Ampat dan beberapa pulau kecil di Indonesia bukanlah tanah kosong, maka pemerintah harus dan wajib hadir untuk melihat secara langsung terkait situasi dan kondisi dilapangan melalui pendekatan emosional dan sosiologis, bukan datang dengan membawa masalah baru yang penuh setingan belaka agar hal yang ingin didapatkan tetap berjalan dengan lancar walaupun kerusakan dan kehancuran terjadi di depan mata.
Save Raja Ampat dan mencabut semua perijinan tambang di Raja Ampat adalah harapan kita bersama. Raja Ampat adalah harapan masa depan bangsa. Terus melakukan perlawanan atas kerusakan yang dilakukan dengan dalih hilirisasi tanpa melihat dampak yang akan ditimbulkan dan yang akan terjadi bagi lingkungan fisik, sosial, budaya dan ekosistem yang berada di sekitar lokasi pertambangan. (*)
There is no ads to display, Please add some