UII Dirikan Pusat Studi Agama dan Demokrasi

beritabernas.com – UII secara resmi mendirikan Pusat Studi Agama dan Demokrasi. Peluncuran pusat studi yang dipimpin Prof Dr rer. Soc. Masduki S.Ag MSi,Guru Besar Ilmu Komunikasi FPSB UII ini dilakukan di Gedung Kuliah Umum (GKU) Dr Sardjito Kampus Terpadu UII, Rabu 22 Mei 2024.

Aacara peluncuran Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII ini dihadiri antara lain mantan Ketua MK dan mantan Menkopolhukam Mahfud MD selaku penasihat sekaligus menyampaikan keynote speech serta sejumlah penasihat pusat studi tersebut. Acara peluncuran juga diisi dengan orasi virtual dari sejumlah tokoh nasional seperti Prof Dr Franz Magnis Suseno, Alissa Wahid dan sebagainya

Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII Prof Dr rer. Soc. Masduki S.Ag MSi mengatakan, pendekatan kiprah Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII membawa misi besar pengarusutamaan isu agama dan demokrasi sebagai pilar keindonesiaan, visi rahmatan lilalamin melalui studi akademis, aktivisme dan kolaborasi nasional dan internasional dengan komunitas yang memiliki visi serupa.

Dalam hal ini, ada empat klaster programatik yang akan dikerjakan. Pertama, kaderisasi akademia-aktivis sosial di Indonesia melalui sekolah inklusi (lintas agama, lintas gerakan) terkait Agama dan Demokrasi. Sekolah online dan offline ini berskala lintas negara yang ke depan dapat menjadi degree program.

Mahfud MD menyampaikan keynote speech dalam acara peluncuran Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII, Rabu 22 Mei 2025. Foto: Philipus Jehamun/ beritabernas.com

Kedua, riset berbasis advokasi untuk merespon, mengeksaminasi, mengajukan ide perubahan kebijakan struktural guna pendalaman demokrasi di Indonesia (deepening democracy), merawat keadilan sosial. Pusat studi ini tetap melakukan kerja riset, tetapi kemudian menjadikannya penggerak perubahan kebijakan struktural.

Ketiga, advokasi perubahan kebijakan struktural sebagai muara kerja melalui serangkaian kolaborasi lintas aktor, pengajuan hak uji materi ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan lain-lain atas kebijakan negara yang anti-demokrasi.

“Sebagai organisasi yang terbuka dan mengamini ruang digital, Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII akan aktif hadir di ruang digital melalui website, IG, Twitter, dengan menu berita kegiatan, artikel, buku, publikasi tahunan dan lain-lain,” kata Prof Masduki kepada beritabernas.com, Kamis 23 Mei 2024.

Prof Masduki menjelaskan latar belakang didirikannya Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII. Dikatakan, perdebatan dan fakta terjadinya reseliensi otoriterisme semakin menguat pasca Pemilu 2024 di Indonesia. Gejala resiliensi otoriterisme juga menguat secara global yang dipicu kebijakan social distancing selama COVID-19 di tahun 2020-2021.

Sebelumnya, resiliensi otoriterisme penanda (pe)kemunduran demokrasi adalah politik populisme ala Donald Trump saat kontestasi Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Menariknya, resiliensi ini justru tumbuh melalui prosedur kerja demokrasi elektoral. Otoriterisme tumbuh subur dalam iklim politik yang menganut prosedur demokrasi, bukan substansi dan nilai.

Menyusul merebaknya budaya politik dinasti di berbagai negara termasuk Indonesia, represi digital terhadap aktifis HAM dan intervensi politik terhadap lembaga peradilan seperti MK dan KPK, maka demokrasi di Indonesia masuk ’ruang IGD’, sekarat, dan memerlukan terapi akademik dan aktivisme sosial. Secara global, negara dengan sistem demokrasi di dunia kini juga tinggal 8 persen, sisanya flawed dan full-authoritarian. Lihat misalnya indeks democracy at risk versi Economic Intelligence Unit 2024.

Dihubungkan dengan posisi agama dan peran intelektual-cum agamawan/ulama, tesis kemunduran negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam yang dicetuskan Ahmed T Kuru (2020) sangat tepat. Indonesia sebagai ’negara demokratis’ dengan mayoritas muslim terbesar di dunia justru kini mengalami fenomena civil Islam (Hefner, 2010) yang melemah, menguatnya sikap pragmatis mengakumulasi kekuatan kapital ekonomi, mentraksasikannya dengan dukungan atas kekuasaan politik melawan akal sehat. Dalam konteks ini, demokrasi dan agama menjadi suatu ruang sosial yang konfliktual.

Demokrasi kapitalis dengan model representasi pasar pemilih (one man one vote) telah lama memicu kritik karena mendistorsi budaya elektoral yang berbasis pada kualitas para kandidat politisi. Secara makro, demokrasi kapitalis-liberal memicu krisis kemanusiaan sebab oligarki politik lebih dominan ketimbang warga negara.

BACA JUGA:

Di sisi lain, prosedur kepemiluan membuat penyelenggara Pemilu sebagai ’lembaga stempel’ dari oligarki partai politik dan hasrat individu nir-etika melanjutkan kekuasaan, bukan penjaga subtansi. Untuk itu dan dalam konteks Indonesia, diperlukan reformulasi politik elektoral.

Menyusul terjadinya disrupsi digital, demokrasi representatif menimbulkan segregasi sosial, konflik wacana dan perang psikologis seperti kasus polarisasi politik Pilkada 2017 di Jakarta. Pengalaman pilkada pasca reformasi menunjukkan elektabilitas berbasis popularitas lebih kuat, ketimbang kompetensi dan kualitas personal. Diperlukan suatu model demokrasi deliberatif dimana digital menjadi ruang publik yang egaliter, bebas disinformasi sehingga perdebatan programatik politik menjadi wacana utama netizen.

Memperhatikan beberapa kondisi aktual tersebut, menurut Prof Masduki, posisi strategis pusat studi agama dan demokrasi di UII adalah menjadi ruang terbentuknya komunitas epistemis para akademisi-aktivis sosial lintas disiplin Ilmu untuk mengaktualisasikan responsi UII terhadap masalah kebangsaan, kenegaraan dan isu global resiliensi otoriterisme di satu sisi dan menempatkan lagi peran agama (wan) apapun sebagai modal sosial (public virtue) bagi terbangunnya model negara kesejahteraan (welfare state) pasca kapitalisme liberal.

Menurut Prof Masduki, Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII melihat agama dan demokrasi ibarat dua sisi mata uang. Agama adalah social capital dan sumber nilai bagi penyelenggaraan sistem politik, khususnya pilihan Indonesia untuk menjadi negara demokrasi atau otoritarian. Agama (tidak hanya Islam) sejatinya pilar demokrasi substansial, sedang demokrasi (sistem politik) diperlukan agar kehidupan beragama yang toleran, inklusif dapat tumbuh di suatu negara.

“Pengalaman membuktikan, negara otoriter akan menempatkan agama sebagai agen represi, alat kontrol semata. Sebaliknya negara demokratis yang dipayungi agama akan menempatkan agamawan (wan) sebagai sumber nilai, civil society yang otonom,” kata mantan wartawan ini. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *