Urgensi Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah

Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Kasus korupsi di Indonesia semakin merajalela. Bahkan sudah merambah institusi resmi seperti lembaga pendidikan sekolah, yang semestinya lembaga ini, yang nota bene syarat dengan pengajaran dan pendidikan nilai justru jebol juga.

Boleh jadi berdasarkan pertimbangan tersebut, muncul ide, memasukan kurikulum pendidikan anti korupsi di sekolah dasar dan SMP. Diyakini bahwa dengan memberikan pelajaran anti-korupsi, orang-orang yang akan duduk di tampuk kepemimpinan pemerintahan telah memiliki bekal nilai-nilai moral dan etika, guna menangkal korupsi.

Memang, semua koruptor adalah orang yang telah mengenyam pendidikan di sekolah formal. Dan, selama ini sekolah tidak memprogramkan dalam kurikulumnya pelajaran anti-korupsi. Sehingga, wajar saja bila para lulusan sekolah memiliki kepandaian dalam disiplin-disiplin ilmu dan keterampilan, namun bertindak korup(si) ketika berkesempatan menjadi pejabat. Demikianlah, kira-kira jalan pikiran pihak yang menganggap pelajaran anti-korupsi penting dicantumkan di dalam kurikulum sekolah.

Hal yang perlu ditekankan dalam pendidikan anti-korupsi ialah pendidikan nilai. Sebab pendidikan nilai memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Kalau dalam pendidikan ilmu pengetahuan dan keterampilan relatif lebih sedikit melibatkan perasaan dan karakteristik individu serta dimensi interaksi sosial dalam menerapkan apa yang telah dipelajari, maka pendidikan nilai sarat dengan perasaan dan karakteristik individu serta dimensi interaksi sosial ketika sang pembelajar menerapkan apa yang telah dipelajarinya.

Tidak mengherankan jika pengajarannya lebih rumit daripada mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Terbukti bahwa sejauh ini manajemen pendidikan dan teknologi pembelajaran mencapai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi pada pembelajaran ilmu pengetahuan dan keterampilan, namun minus pendidikan nilai.

Sejarah di Indonesia pun telah menyatakan terjadinya kegagalan manakala nilai-nilai tertentu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Sebut saja pelajaran-pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Pendidikan Agama (PA).

BACA JUGA:

Aspek kegagalannya terutama pada ranah afeksi dan praksis. Mestinya bila asumsi setiap masalah nilai dapat diatasi dengan memasukkan solusi di dalam kurikulum sekolah, maka PMP telah mewujudkan masyarakat yang bermoral, PSPB telah menghasilkan bangsa yang menghargai sejarah perjuangan dan mencintai bangsa dan negara sendiri, PA telah menumbuhkembangkan masyarakat yang alim hidup di dunia dan akhirat. Namun apa lacur, yang terjadi adalah masyarakat yang, bahkan, oleh anggotanya sendiri disumpah-serapahi dengan kata-kata yang paling kotor yang pernah ada di dalam kamus bahasa-bangsa korup, bangsa biadab, bangsa preman, bangsa bar-bar dan sebagainya.

Namun, bukan berarti materi-materi pendidikan nilai tidak perlu diajarkan di sekolah. Hanya saja pelajarannya bukan melalui kurikulum formal yang tercantum secara verbal. Karena, verbalisme telah membudaya dalam kehidupan kita. Verbalisme adalah sikap dan perilaku mengutamakan kata-kata daripada perbuatan, terutama ketika menyikapi masalah-masalah genting dan mendesak untuk dipecahkan. Pendukung verbalisme amat pintar merangkai kata-kata buaian kepada orang lain. Mereka piawai secara kognitif menjabarkan solusi yang canggih atas masalah yang timbul, namun kedodoran saat mengimplementasikannya.

Lalu bagaimana cara melakukan transformasi nilai kepada generasi muda (siswa sekolah) agar kehidupan masyarakat menjadi (lebih) baik, terutama masyarakat bersih dari korupsi?

Ada beberapa reka-daya terhadap komunitas sekolah agar anti-korupsi. Pertama, perekadayaan budaya sekolah yang mengedepankan nilai anti-korupsi dengan mempertimbangkan konsistensi aturan sekolah dengan perilaku melalui mekanisme modeling, reward and punishment, dan keterlibatan seluruh sivitas sekolah pada kegiatan-kegiatan sekolah. Kedua, internalisasi nilai anti-korupsi dilakukan secara melekat (embedded) yang terus-menerus dikawal oleh para guru.

Peran guru dalam kegiatan ini adalah sebagai mentor. Guru setiap saat membimbing, mengawasi, dan membetulkan perilaku yang menyimpang anti-korupsi. Ketiga, evaluasi dilakukan secara periodik terhadap program-program internalisasi nilai anti-korupsi. Gunanya memperbaiki reka-daya yang telah dilaksanakan. Jadi, sikap dan perilaku anti-korupsi tidak perlu mengulang sejarah gagalnya pendidikan nilai karena pencantumannya secara formal di dalam kurikulum.

Kurikulum Pendidikan Anti Korupsi

Indonesia berada pada posisi terburuk dengan Indek Persepsi Korupsi (IPK) 34 (2023). Skala IPK mulai dari 1 sampai 10, semakin besar nilai IPK suatu negara maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi.

Dari data yang diperoleh dari Transparency International Corruption Perception Index 2023 tersebut, IPK Indonesia sama dengan negara miskin lainnya seperti Ethiopia, Togo, Zimbabwe, Burundi, Timor Leste, Azerbaijan, Papua New Guinea dan Central African Republic. Angka ini menyimpulkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara miskin dengan angka korupsi yang sangat tinggi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi berarti busuk; palsu; suap. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai.

Korupsi di Indonesia sudah membudaya tanpa proses peradilan yang terbuka dan kredibel. Semua pihak yang terkait dengan sebuah kasus korupsi seakan menutup mata dan lepas tangan seolah-olah tanpa terjadi apa-apa. Tindakan korupsi mulai dari yang paling besar oleh para pejabat negeri ini sampai kepada yang paling kecil seperti pada kepala desa, kepala sekolah dan pegawai rendahan, mulai dari proses penyuapan berjumlah puluhan ribu rupiah yang biasa terlihat di jalanan sampai pada kasus menggelapkan uang negara dengan jumlah triliunan.

Pengertian korupsi dapat menjadi lebih luas lagi. Perbuatan seperti berbohong, menyontek di sekolah, mark up belanja, memberi hadiah sebagai pelicin dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tindakan korupsi merupakan sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan dapat merugikan orang lain.

Kasus-kasus korupsi seperti ini sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung sudah membudaya. Jika diperhatikan, hampir di semua aspek kehidupan bangsa ini terlibat korupsi. Dari lembaga pendidikan sampai lembaga keagamaan sekalipun. Di lingkungan sekolah sangat banyak ditemui praktek-praktek korupsi, mulai dari yang paling sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang sampai pada menggelapkan uang pembangunan sekolah yang bernilai puluhan juta rupiah.

Pada saat ini, ada indikasi terjadinya sikap apatis masyarakat terhadap tindakan korupsi. Masyarakat seakan telah jenuh dan terbiasa dengan kasus-kasus korupsi yang mencuat kepermukaan. Tidak ada sanksi moral dari masyarakat terhadap para koruptor. Bahkan, secara tak langsung budaya korupsi telah merajalela di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada setiap aspek kehidupan, selalu ditemui budaya korupsi yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan lumrah setiap orang.

Masyarakat harus sadar bahwa uang yang dikorupsi oleh para koruptor merupakan uang rakyat. Uang rakyat tersebut seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, membiayai pendidikan, kesehatan, membuka lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air minum, dan lain-lain. Masyarakat harus mengetahui besarnya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi tersebut, pendidikan menjadi mahal, begitu juga dengan pelayanan kesehatan, transportasi menjadi tidak aman, rusaknya infrastruktur dan yang paling berbahaya adalah meningkatnya angka pengangguran sehingga berkolerasi kepada angka kriminalitas.

Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember tahun 2002 merupakan sebuah itikad baik dari pemerintahan saat itu. KPK menjadi harapan baru bagi indonesia untuk memberantas korupsi. Mengingat begitu beratnya tugas KPK akibat yang disebabkan oleh kasus korupsi tersebut, maka diperlukan suatu sistem yang mampu menyadarkan semua elemen bangsa untuk sama-sama bergerak mengikis karang korupsi yang telah menggurita. Cara yang paling efektif adalah melalui media pendidikan.

Diperlukan sebuah sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti korupsi ini sangat penting bagi perkembangan psikologis siswa. Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi temasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi.

Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.

Jika Dinas Pendidikan Kabupaten/kota di Indonesia memasukan kurikulum pendidikan anti korupsi di sekolah, harus disusun seperti kurikulum mata pelajaran yang lain dan dan tidak menjadi kurikulum suplemen. Penyusunan kurikulum dimulai dari tujuan pembelajaran umum, khusus serta indikator dan hasil belajar apa saja yang ingin dicapai setelah memperoleh pendidikan anti korupsi ini.

Untuk tahap awal, pendidikan anti korupsi ini bisa disisipkan dalam bentuk satu pokok bahasan pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan atau pelajaran ilmu sosial lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk satu pokok bahasan ini antara 8 sampai 9 jam. Atau sekitar 4 sampai 5 kali pertemuan.

Metoda pembelajaran yang digunakan dapat berupa ceramah, diskusi, simulasi, studi kasus dan metoda lain yang dianggap akan membantu tercapainya tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Media yang dapat digunakan seperti tabel angka korupsi dan bahkan bisa digunakan media audiovisual seperti menonton video-video yang berhubungan dengan korupsi.

Dengan adanya pendidikan anti korupsi ini, diharapkan akan lahir generasi tanpa korupsi sehingga di masa yang akan datang  tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi. Harapan awal tentunya ini akan berdampak langsung pada lingkungan sekolah yaitu pada semua elemen pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa. Lingkungan sekolah akan menjadi pioneer bagi pemberantasan korupsi dan akan merembes ke semua aspek kehidupan bangsa demi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.

Demikian pula di setiap sekolah sudah saatnya membentuk Satuan Tugas Anti Korupsi (STAK). Rumusan tugasnya dirumuskan sendiri oleh sekolah. (Ben Senang Galus, penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi tinggal di Yogyakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *