80 Tahun Indonesia Merdeka: Peradaban Tangguh Bencana, Warisan Terbaik untuk Generasi Mendatang

Oleh: Prof Ir H Sarwidi MSCE PhD IP-U ASEAN Eng APEC Eng, Guru Besar Teknik Sipil Bidang Rekayasa Kegempaan dan Kebencanaan Universitas Islam Indonesia (UII) dan Pengarah BNPB RI

beritabernas.com – Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia bukan sekadar angka dalam sejarah. Ia adalah cermin perjalanan panjang bangsa, dari luka kolonialisme menuju cita-cita luhur peradaban. Namun, di tengah gegap gempita perayaan, kita perlu bertanya dengan jujur: apakah kemerdekaan ini telah menjelma menjadi ketangguhan nasional? Apakah generasi mendatang akan mewarisi negeri yang siap menghadapi murka alam dengan bijak, berdaya, dan penuh cinta?

Indonesia adalah negeri yang berdiri di atas sabuk bencana. Gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, dan erupsi gunung api bukan sekadar potensi, melainkan keniscayaan geologis. Maka, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan manusia, tetapi juga dari ketakutan akan bencana yang tak terkelola. Ketangguhan bukan sekadar soal infrastruktur beton, melainkan budaya hidup. Ia tumbuh dari pengetahuan, spiritualitas, dan solidaritas sosial. Ia hidup dalam simulasi, edukasi, dan kesiapsiagaan yang berakar pada etika religi: menjaga amanah bumi dan melindungi sesama.

Prof Ir H Sarwidi MSCE PhD IP-U ASEAN Eng APEC Eng. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Kemerdekaan yang tidak disertai kesiapan menghadapi bencana adalah kemewahan yang rapuh. Bangunan megah bisa runtuh dalam hitungan detik, tetapi jiwa yang tangguh akan tetap berdiri, menolong, dan membangun kembali. Maka, tugas kita bukan hanya membangun gedung, tetapi membangun kesadaran kolektif.

Peradaban Tangguh: Sintesis Ilmu, Iman dan Kemanusiaan

Peradaban tangguh bencana bukan utopia. Ia bisa dibangun melalui sintesis ilmu rekayasa, kebijakan publik, dan nilai-nilai spiritual. Dari inovasi seperti BARRATAGA (Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa), SIMUTAGA (Simulasi Ketahanan Gempa), hingga ACeBS (Asesmen Cepat Bangunan Sederhana), kita telah memulai langkah-langkah strategis. Museum Gempa Prof. Dr. Sarwidi di Yogyakarta menjadi salah satu bentuk edukasi kebencanaan bisa menyentuh hati masyarakat, bukan hanya pikiran teknis.

Namun warisan sejati bukan hanya teknologi, melainkan kesadaran kolektif yang tertanam dalam jiwa bangsa. Bayangkan generasi muda yang tak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara moral dan sosial. Yang menjadikan simulasi bencana sebagai ritual cinta tanah air. Yang menjadikan ilmu dan iman sebagai fondasi pembangunan. Itulah warisan terbaik: jiwa yang tangguh, bukan sekadar bangunan yang kokoh.

Delapan puluh tahun merdeka harus menjadi titik balik. Kita tak cukup hanya mengenang proklamasi. Kita harus memproklamasikan ulang visi bangsa: Indonesia sebagai laboratorium peradaban tangguh bencana dunia. Sebuah bangsa yang tidak hanya selamat, tapi menyelamatkan. Yang tidak hanya bertahan, tapi menjadi teladan.

Kemerdekaan harus diisi dengan kesungguhan belajar, kejujuran dalam berkarya, dan kepedulian sosial. Karena pembangunan tanpa integritas adalah rapuh. Dan kemerdekaan tanpa kebermaknaan adalah kemewahan yang hampa. Maka, mari kita wariskan bukan hanya tanah, tapi keteladanan. Bukan hanya sejarah, tapi harapan.

Dalam konteks Indonesia, spiritualitas bukan pelengkap, melainkan fondasi. Etika Religi mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi, bertanggung jawab menjaga alam dan sesama. Ketangguhan sejati lahir dari rasa syukur, sabar, dan ikhtiar. Ia bukan hanya soal logistik, tapi juga soal hati. Maka, dalam setiap simulasi bencana, harus ada ruang untuk doa, refleksi, dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan.

Ketika masyarakat memahami bahwa kesiapsiagaan adalah bagian dari ibadah, maka budaya tangguh akan tumbuh secara alami. Ketika anak-anak diajarkan bahwa menyelamatkan nyawa adalah amal jariyah, maka generasi penyelamat akan lahir.

Baca juga:

Mari kita bayangkan Indonesia tahun 2045, saat bangsa ini genap berusia 100 tahun. Apakah kita akan menjadi bangsa yang hanya mengenang masa lalu, atau bangsa yang memimpin dunia dalam ketangguhan bencana? Jawabannya tergantung pada apa yang kita tanam hari ini.

Jika kita tanam benih ilmu, iman, dan cinta negeri, maka anak cucu kita akan memanen keberkahan. Mereka akan menjadi generasi penyelamat—yang tidak hanya selamat, tapi menyelamatkan. Yang tidak hanya kuat, tapi menguatkan. Yang tidak hanya tahu, tapi peduli.

Kemerdekaan adalah ladang amal. Mari kita tanam benih-benih kebaikan, agar anak cucu kita memanen keberkahan. Mari kita jadikan Indonesia sebagai bangsa yang tangguh bukan karena kekuatan fisik semata, tetapi karena kekuatan hati, ilmu, dan iman.

Indonesia: Merdeka. Indonesia: Tangguh. Indonesia: Menyelamatkan. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *