IPW Desak Kapolri Copot Kapolres Nagakeo

beritabernas.com – Indonesia Police Watch (IPW) meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar menurunkan tim untuk memeriksa aparat dan mencopot Kapolres Nagekeo dan Kapolda NTT.

Selain itu, IPW mendesak anggota yang melakukan penyalahgunaan wewenang dan terbukti melanggar HAM harus diproses melalui sidang etik dan hukum pidana. Sehingga marwah institusi Polri sebagai pemelihara kamtibmas, pelindung dan pengayom masyarakat tetap terjaga sebagai abdi utama bagi nusa bangsa (Rastra Sewakotama).

Hal itu disampaikan IPW terkait dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan aparat kepolisian dalam pembangunan waduk Lambo Mbay di Kabupaten Nagekeo, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Dalam siaran pers IPW yang ditandatangani Sugeng Teguh Santoso selaku Ketua Indonesia Police Watch
dan Data Wardhana selaku Sekjen Indonesia Police Watch yang diterima beritabernas.com pada Selasa 31 Mei 2022, pembangunan Waduk Lambo Mbay di Nagekeo merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan dalam pelaksanaannya terjadi pro dan kontra. Di Waduk Lambo Mbay, tanah yang akan dibangun merupakan tanah ulayat milik masyarakat adat Suku Rendu.

Karena itu, menurut IPW, pihak kepolisian seharusnya menjembatani agar tidak terjadi konflik sosial. Pihak kepolisian harus menjadi garda terdepan dalam memberikan solusi bagi masyarakat yang mendukung dan menolak pembangunan. Namun yang terjadi, aparat memaksakan kehendak sehingga yang timbul adalah konflik horisontal di masyarakat.

Menurut IPW, pada Waduk Lambo Mbay, Kapolres memaksakan diadakan ritual adat di titik nol tapi dilakukan oleh Suku Kawa yang merupakan suku di luar rendu yang tidak mempunyai sangkut paut dengan tanah proyek Waduk yang akan dibangun. Waktunya, telah ditentukan pada 24 Maret 2022 kendati ditolak oleh Suku Rendu karena yang melaksanakan ritual bukan Suku Rendu.

Sehingga saat acara berlngsung, masyarakat adat Rendu menghadang Suku Kawa dan terjadi perang mulut, saling dorong dan nyaris berkelahi di hadapan Kapolres Nagekeo. Namun, situasi tegang itu bisa diantisipasi aparat keamanan.

Penghadangan kedua terjadi pada 4 April 2022 saat Kapolres Nagekeo bersikukuh untuk memulai pembangunan waduk yang diawali dengan apel siaga dan acara ritual adat. Penghadangan oleh Suku Rendu dilakukan di pintu masuk proyek Waduk.

Saat dilakukan penghadangan, menurut IPW, Matheus Bui yang memimpin ritual dengan parang pusaka adat (topo) yang diacungkan, tiba-tiba aparat polisi menyerbu dan menangkap para penghadang. Sebanyak 23 orang ditangkap dan dibawa ke Polres Nagekeo untuk menjalani pemeriksaan.

Ketika ditangkap, mereka mengalami kekerasan fisik berupa pemukulan dan ditendang. Bahkan, penangkapan terhadap masyarakat yang menolak pembangunan Waduk Lambo Mbay dilakukan aparat di rumah warga, saat mereka sedang makan dan tidur.

Dugaan penyiksaan kepada 23 warga itu berlanjut setelah mereka berada di Mapolres Nagekeo. Pada hari itu, mereka dijemur di terik matahari tiga kali. Pertama selama satu jam, kemudian yang kedua satu setengah jam dan yang ketiga ketika Kapolres datang menemui mereka. Selain itu Kepolisian membiarkan oknum wartawan melakukan kekerasan dengan memukul kepala salah satu tokoh masyarakat adat.

Indonesia Police Watch (IPW) menilai perlakuan aparat dan Kapolres Nagekeo tersebut tidak mencerminkan adanya Reformasi Polri yang telah dicanangkan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menjunjung hak asasi manusia (HAM) dan turunannya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Untuk itu, menjadi tugas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menegakkan aturan terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum. Tentunya, dengan mencopot Kapolres Nagekeo dan Kapolda Nusa Tenggara Timur. (*/lip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *