Oleh: Ali Mansur Monesa
beritabernas.com – Berapa jumlah guru yang tersisa? Itu adalah pertanyaan yang diucapkan oleh Kaisar Hirohito kepada para jenderal setelah Jepang hancur oleh bom Amerika dan sekutunya di penghujung perang dunia kedua.
Hirohito sadar tidak akan mungkin mengalahkan Amerika dan sekutunya sehingga ia fokus untuk membangun Jepang melalui pendidikan dengan menjadikan guru sebagai landasan Jepang untuk bangkit saat itu.
Pemikiran Kaisar Hirohito ini menunjukkan bahwa guru memiliki status dan peran yang sangat penting dalam membangun sebuah bangsa. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Presiden Amerika periode 1963-1969 Lyndon B Johson yaitu all the problem can be solved with one word is education. Pertanyaan Kaisar Hirohito dan pernyataan Presiden Lyndon B Johson yang sarat dengan filsafat, membuat kita bertanya-tanya apa hakikat guru dalam pendidikan?
Guru adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembanan siswa dengan mengupayakan seluruh potensi siswa, baik potensi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Secara tradisional tugas guru adalah mengajar di kelas, menurut Usman (2006:6) mengajar adalah sebuah proses yang dilakukan oleh guru dalam menumbuhkan kegiatan belajar siswa yang menyebabkanadanya perubahan perubahan tingkah laku pada diri siswa dari tidak tahu menjadi tahu.
BACA JUGA TULISAN LAINNYA:
- Pilkada: Respublika Menjadi Urusan Kekuatan Gelap dari Sebuah Republik Gelap
- Filsafat Pendidikan sebagai Instrumen Evaluasi Sistem Pendidikan
Guru mempersiapkan siswa untuk menjadi SDM yang mampu menyongsong perubahan dengan atau usaha-usaha pembangunan dengan mentransferkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Di samping mengajar, tugas guru yang sangat penting adalah mendidik yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku murid menjadi lebih baik. Dalam mendidik guru merupakan tauladan yang akan memberikan contoh bagi muridnya sehingga agar para siswa dapat memiliki karakter dan kepribadian yang baik sesuai norma dan nilai yang berlaku di masyarakat dalam rangka menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) untuk kemajuan negara dan bangsa.
Dapat disimpulkan seorang guru bukan sekadar pemberi ilmu pengetahuan kepada siswanya, tetapi guru juga seorang yang dapat menjadikan siswa berkarakter dan mampu menjawab masalah yang dihadapi. Tugas seorang guru tidak ringan, guru tidak hanya mengajar, mendidik, melatih dan membimbing, tapi juga harus bisa menginspirasi. Dengan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, karakter dan kepribadian yang tangguh membuat suatu bangsa dapat berkompetisi di dunia internasional.
Saat ini hampir seluruh negara berupaya meningkatkan kualitas pendidikan. Hal itu terjadi sebab pendidikan merupakan sebuah kebutuhan yang penting dan tidak boleh dianggap sebagai suatu pelengkap dalam kehidupan manusia.
Dengan pendidikan manusia dapat membuat suatu peradaban baru yang dinilai mampu mengubah pola dan pandangan hidup manusia. Negara yang mengejar pendidikan dan menjadikannya sebagai suatu hal yang penting, maka negara tersebut akan memiliki kualitas sebab pendidikan merupakan jalan yang dapat menaikkan taraf dan kualitas sumber daya manusia. Kualitas pendidikan yang baik tentu saja menunjukkan kualitas guru yang baik.
Kembali pada pertanyaan kaisar Hirohito, tidak dapat kita pungkiri bahwa pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembangunan jangka panjang. Ini sudah terbukti pada Jepang. Kemajuan Jepang saat ini, tentu tidak lepas dari pengaruh dan campur tangan guru.
Keputusan Kaisar Hirohito untuk bangkit kembali melalui pendidikan bukanlah pilihan yang salah, Jepang bisa keluar dari keterpurukan setelah perang dunia ke II dan menjadi salah satu negara yang maju saat ini oleh negara lain. Kemajuan Jepang tersebut menyadarkan kita tentang pentingnya sosok guru dalam pendidikan. Pendidikan akan menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) di suatu bangsa. Kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kemampuan generasi mudanya, kemampuan generasi muda suatu bangsa ditentukan oleh pendidikan. Pendidikan suatu bangsa ditentukan oleh guru.
Begitu banyak guru atau calon guru yang lahir dari berbagai perguruan tinggi (PT) terus berjalan setiap tahun. Namun untuk memahami makna guru serta tugas-tugas pokok sebagai indikator menjadi seorang guru masih selalu dipertanyakan sehinga mau menjadi pegawai negeri sipil (PNS) harus melewati kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristekdikti.
Kondisi ini menggambarkan ketidakpercayaan PT untuk menlahirkan para calon pendidik (guru), apakah menjadi pendidik hanya dengan memenuhi syarat administrasi yakni ijasah yang bergelar sarjana pendidikan (SPd). Maka dari itu perlunya kita evaluasi kembali, terkusus para calon pendidik dalam hal ini guru sebagai indikator untuk menjadi pendidik (guru). Penulis menganggap penting untuk dibahas, sehingga tulusan ini akan memberikan informasi filosifi tentang bagaimana menjadi seorang guru.
Peran penting filsafat
Sebagai metode kritis filsafat memiliki peran penting untuk menjawab problematika pendidikan. Perguruan tinggi membentuk para calon pendidik yang akan disiapkan untuk mendidik embrio-embrio bangsa ke depan. Filsafat pendidikan merupakan sumber pengetahuan yang penting bagi pendidik (guru) atau calon guru untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi serta mampu memelihara kritisisme melalui pembelajaran di kelas.
Filsafat pendidikan membuat guru memahami pekerjaan mereka, tahu apa, bagaimana guru berperan, siapa itu guru dan apa yang mereka lakukan di kelas. Pendidikan membutuhkan filsafat, karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan dan tidak memungkinkan dapat dijangkau tanpa membutuhkan filsafat sebagai kacamata kritisisme.
Dengan filosofi, seorang guru maupun calon guru harus memahami dirinya sebagai seorang pendidik dan individu.Seorang guru adalah yang siap bersumpah dan berjanji kepada dirinya dan untuk publik, bangsa untuk menjadi pelopor pengayom motivator serta menjadi kendaraan peradaban manusia dan ilmu pengetahuan.
Guru sebagai pemipin nilai
Guru dalam melaksanakan perannya, sebagai pendidik, pengajar, pemimpin, administrator, harus mampu melayani peserta didik yang dilandasi dengan kesadaran (awarraness), keyakinan (believed), kedisiplinan (dicipline) dan tanggung jawab (responsibility) secara optimal sehingga memberikan pengaruh yang positif kepada peserta didik.
Selain itu seorang pendidik (guru ), juga memiliki berperan sebagai petunjuk moral bagi menjadi teladan, pembimbing, menjadi otoritas moral pada ruang-ruamg dialektis. Filsafat nilai atau lebih di kenal sebagai filsafat aksiologi merupakan cabang filsafat yang berfokus pada kajian tentang nilai secara teoretis.
Filsafat nilai diartikan sebagai kebaikan atau keberhargaan. Nilai juga bisa diartikan sebagai sifat atau kualitas, landasan serta motivasi, atau alasan dalam bersikap dan bertingkah laku. Nilai-nilai filosofis adalah keyakinan mengenai tujuan akhir dan cara bertingkah laku yang diinginkan individu.
Nilai-nilai filosofis digunakan sebagai standar atau prinsip seorang guru dalam membimbing manusia untuk hidup. Nilai-nilai filosofis juga merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang terdapat dalam pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang. filsafat nilai memiliki dua aliran yang penting, yakni objektivisme dan subjektivisme.
Aliran objektivisme berpendapat bahwa benda bernilai terlepas dari apakah kita menilainya atau tidak. Sedangkan aliran subjektivisme berpendapat bahwa benda bernilai karena kita menilainya. Terlepas dari kedua aliran tersebut, guru harus mampu menjaga nilai-nilai budaya yang ada di suatu bangsa, nilai dalam bentuk paradigma apapun sejatinya nilai selalu memberikan hal positif tentang suatu kebenaran. Sebab nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, namun dimengerti dan dipahami oleh masyarakat penggunanya sebab, nilai tidak dapat dipisahkan dari karakter.
Tipe-tipe guru yang menjaga nilai
Dalam literatur ada banyak tipe guru sebagai penjaga nilai. Beberapa diantaranya ialah guru teladan. Dalam hal ini guru yang baik menunjukkan integritas, jujur, adil dan konsisten dalam tindakan dan keputusannya. Kemudian guru pembimbing, yakni guru membimbing siswa menjadi manusia dewasa yang memiliki perilaku, sikap dan tindakan yang baik. Guru yang menjadi otoritas moral, yakni guru menciptakan kondisi moral yang baik di kelas agar siswa mematuhi peraturan.
- Dasar-dasar Filsafat Ontologi Pendidikan
- Demokrasi Pancasila: Menafsirkan Kembali Ideologi Negara di Era Kontemporer
Guru dapat harus menanamkan nilai-nilai moral pada siswa, tidak sekadar menilai kualitas. Saling menghargai, mengutamakan kejujuran, sikap rendah hati, tanggung jawab tetapi harus memahami kepribadian serta kondisi lingkungan serta budaya peserta didiknya. Guru berperan penting dalam membangun karakter kebangsaan serta mengembangkan potensi peserta didik, guru memiliki tujuan lain selain mencerdaskan kehidupan bangsa, siswa harus lahir menjadi generasi penerus bangsa yang berkarakter kebangsaan.
Manusia sebagai mahkluk yang unik. Berkat daya pisiks cipta,rasa dan karsanya. Manusia bisa mengetahui bahwa ia mengetahui sesuatu dan ia tahu bahwa ia dalam keadaan tidak mengetahui. Manusia mengenal dunia sekelilingnya dan lebih dari pada itu, manusia dapat mengenal dirinya sendiri.
Akan tetapi manusia selain bisa jujur juga bisa berbohong atau berpura pura. Selanjutnya ia mencoba mengarahkan daya cipta, rasa dan karsanya itu untuk memahami keberadaan (eksistensinya) dari mana sesungguhnya segala sesuatu itu berasal. Termasuk dirinya sendiri serta kemana tujuan kehidupan ini ( Aristoteles).
Guru sangat penting
Berdasarkan uraian di atas maka menjadi seorang guru sangat penting, untuk memahami pelajaran penting dari Arietoteles tentang kondisi potensi ideal manusia tersebut. Guru harus mampu memahami kondisi manusia dalam situasi tertentu sesuai kulturnya. Seorang guru harus memiliki kuallitas ilmu yang cukup untuk memahami kondisi bertahap manusia berdasarkan usia maupun kondisi lingkungan geografi dari berbagai siswa.
Ini akan menjadi indikator penilaian dalam bertindak sebagai seorang pendidik. Selain itu guru harus menrima dan meyakini bahawa menjadi bukan sekadar profesi akan tetapi pilihan sebagai animal rasional yang memiliki tugas kemanusiaan serta menjadi guru yang bijak adalah pengejawantakan dari sifat manusia sebagai insan kamil, sebab pendidikan sebagai sarana terbaik untuk perubahan hanya bisa tercapai melalui guru yang berusaha menjamin dirinya sebagai kohesi kompas moral teladan motivator dinamisator menuju suatu kebijaksanaan peradaban manusia dan ilmu pengetahuan.
Sebab menjadi guru adalah keputusan batin bukan orientasi pragmatis motivasi untuk menjadi guru harus berasal dari niat mengabdi keikhlasan, kasih sayang agar dapat mengolah rasa karsa dan idealisme untuk mendidik generasi yang strategi mengajar, komitmen konsisten agar tingkat kepuasan profesional guru dipengaruhi oleh motivasi mereka sebagai guru
Anda akan setuju apabila dikatakan bahwa pertanyaan berikut merupakan pertanyaan mendasar dan sangat penting mengenai pendidikan: Apa artinya menjadi seorang guru? Apakah hal terpenting yang harus kita ajarkan? Bagaimana caranya kita mengajarkan hal-hal itu? Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan yang terkait dengan Filsafat Pendidikan.
Pemahaman mengenai pendidikan itu bisa makin difokuskan pada pengetahuannya (epistemologi), hakekat terdalamnya (ontologi) atau tentang nilai-nilainya (aksiologi). Pertanyaan terkait dengan epistemologi adalah apakah pengetahuan itu? Bagaimana kita mengetahuinya? Bagaimana kita memperolehnya? Ontologi yang juga memasukkan metafisika, didalami dengan pertanyaan: apa realitasnya? Apa unsur yang mendasari atau yang terdalam? Apakah artinya menjadi seorang guru? Sedangkan aksiologi bertanya menenai: apakah yang menjadi tujuan pendidikan? Apakah yang paling kita hargai dari pendidikan? Manakah elemen kurikulum yang harus lebih dihargai dibandingkan dengan nilai-nilai yang lain?
Secara lebih mendalam lagi, Filsafat Pendidikan bertanya mengenai pembelajaran yang efektif dan dikemukakanlah filsafat yang dianggap pro-perubahan dan lawannya, yakni filsafat anti-perubahan. Yang termasuk Filsafat Pendidikan pro-perubahan adalah Filsafat Pragmatisme, Eksistensialisme dan Rekonstruktivisme. Filsafat model ini menyatakan bahwa pendidikan yang efektif menempatkan siswa atau pembelajar sebagai subjek. Pelajar harus mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitasnya dan mereka tidak boleh pasif.
Aliran filsafat pro-perubahan ini mengatakan bahwa pengetahuan itu berubah dan tergantung konteks. Karena itu, siswa belajar dengan merespon konteks hidupnya agar bisa hidup lebih baik. Dalam pragmatisme, belajar adalah upaya untuk memperoleh ketrampilan tentang bagaimana menjalani hidup sekarang. Eksistensialisme juga menyatakan hal yang hampir sama, yakni belajar adalah upaya untuk memperoleh ketrampilan tentang cara membuat pilihan-pilihan sebagai manusia bebas pada saat sekarang ini.
Filsafat anti-perubahan yang menjadi lawan dari filsafat yang dijelaskan di atas, percaya bahwa pengetahuan itu tidak berubah dan merupakan prinsip-prinsip dasar yang harus dikuasai siswa. Tugas guru adalah mentransfer pengetahuan sedangkan siswa adalah penerima pengetahuan. Pendukung aliran anti-perubahan adalah Perenialisme dan Esensialisme.
Filsafat pro-perubahan menegaskan bahwa cara belajar harus dinamis dan mengikuti situasi. Sebaliknya, filsafat anti-perubahan menekankan tertib dan disiplin dalam belajar.
Filsafat manakah yang harus diikuti oleh seorang guru? Sangat penting bahwa guru memahami mengenai filsafat pendidikan yabng harus digunakan di kelasnya dengan mendasarkan itu pada sejumlah pertimbangan. Lebih dari itu, setiap guru harus membangun Filsafat Pendidikannya sendiri. Filsafat Pendidikan adalah konsepsi guru untuk mengajar dan belajar. Dia harus mengetahui bagaimana dia mengajar, dan mengapa dia menciptakan pembelajan model tertentu. Mengapa model ini yang dipilih dan bukan yang lainnya.
Harus dikatakan, dengan memahami Filsafat Pendidikan, semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam diri guru ketika mengajar. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu adalah kekayaan yang tidak ternilai. Pertanyaan itu, misalnya: Apa yang Anda yakini sebagai tujuan Pendidikan? Bagaimana harus mewujudkan tujuan pendidikan ini? Siapa saja yang harus belajar? Apakah guru juga harus belajar?
Pertanyaan lainnya: Siapa yang harus mengarahkan pembelajaran? Apakah guru selalu harus mengarahkan pembelajaran? Bisakah siswa juga mengarahkan pembelajaran? Bagaimana seharusnya sekolah mengajarkan konten dan skill? Bagaimana seharusnya pembelajaran itu dievaluasi?
Dengan demikia filsafat Pendidikan membantu guru memperoleh arah. Guru terbaik muncul dari dia yang memahami Filsafat Pendidikan dan mampu menjawab sejumlah pertanyaan mendasar dari filsafat itu. Dengan demikian, setiap guru juga bisa melakukan refleksi: Siapa guru terbaik yang pernah Anda lihat? Mengapa? Keterampilan, kualitas, atau nilai apa yang membuat orang ini menjadi guru yang hebat? Sudahkah Anda mempraktekkan keterampilan, kualitas, atau nilai yang pernah dipraktekkan oleh guru terbaik ini? Semoga! (Ali Mansur Monesa, Alumni UPY Yogyakarta)
There is no ads to display, Please add some