Pilkada: Respublika Menjadi Urusan Kekuatan Gelap dari Sebuah Republik Gelap

Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak seluruh Indonesia akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Pada tanggal tersebut seluruh kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia memilih pemimpin (pasangan bupati-wakil bupati, wali kota-wakil walikota dan gubernur-wakil gubernur) periode 2024-2029.

Siapa pun yang menjadi pemenang dalam pilkada nanti tidak menjadi soal, yang terpenting para calon memiliki visi dan misi yang jelas ke mana bahtera kapal besar kabupaten/kota atau provinsi akan dibawa. Teka teki siapa yang menjadi bakal calon saat itu sudah nampak ke permukaan. Ada yang terang-terangan dan ada yang masih malu-malu kucing. Diharapkan pilkada nanti dilaksanakan secara damai, elegan, jujur, adil, demokratis dan jauhkan dari politik vox populi vox argentum (suara rakyat adalah suara uang receh).

Seiring dengan itu kegiatanpolitik pilkada menurut pantauan penulis semakin terasa, baik dilakukan oleh masing-masing pasangan calon maupun anggota masyarakat pendukung calon. Namun yang dikhawatirkan adalah pasangan calon melakukan kampanye terselubung, baik melalui rapat-rapat maupun membagi-bagikan uang dari pintu ke pintu.

Hal demikian memang tidak bisa dipungkiri, entah besar atau kecil ,para calon bisa saja melakukan praktik-praktik griliya membagikan uang. Misalnya, dengan kehadiran salah satu calon di desa tertentu membagikan BLT atau ansos dan mengklaim diri sebagai bagian dari programnya, itu sudah mencederai demokrasi.  

Dengan menggunakan sarana, seperti gereja, sekolah, masjid atau ruang-ruang publik lainnya, mereka berharap dapat membentuk opini positif dan persepsi masyarakat agar menjatuhkan pilihannya pada kandidat yang diusung. Namun bagi masyarakat yang jeli, tentunya telah memahami kesempatan menggunakan hak suara tidak boleh dijual murah seharga baju kaos atau amplop berisi puluhan ribu rupiah, tetapi kesempatan tersebut benar-benar akan disalurkan sesuai penilaian kinerja pasangan.

Yang dibutuhkan masyarakat saat ini ialah prilaku simpatik para calon agar bisa menarik hati pemilih. Karena itu bukan lagi hal yang etis dalam berpolitik jika praktik-praktik membagikan uang masih terpelihara di alam demokrasi saat ini.

BACA JUGA:

Begitu banyak persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini, maka pemimpin yang dibutuhkan sekarang adalah orang yang memiliki visi yang kuat untuk membangun demokrasi dan memperbaiki kualitas hidup rakyat. Dengan memiliki visi itu mereka harus mampu mengangkat dan membebaskan rakyat dari segala bentuk ketertinggalan seperti kemiskinan, kebodohan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Dengan memiliki visi tadi ia dapat menciptakan komitmen sehingga pada akhirnya program-programnya dapat mencapai tujuan. Pemimpin yang memiliki visi berarti pemimpin yang mampu menjawab tantangan- tantangan krisis seperti saat ini dan tentunya memiliki keberanian dan penuh perhitungan, sikap rendah hati, sederhana, jujur, dan mau belajar dengan mendengarkan, mengamati kecenderungan yang baru muncul, mengevaluasi kegagalan yang pernah terjadi dan mampu menyerap pelajaran dari hati nurani.

Pendek kata pemimpin senantiasa mau belajar dan tidak alergi atas setiap perubahan, tantangan maupun kritik. Namun sebaliknya pemimpin yang tidak punya visi, meminjam pribahasa dalam bahasa Inggris, where there is no vision, the people perish.  

Seru dan ketat

Walaupun pilkada masih dua bulan dihitung dari sekarang dapat dipastikan pilkada akan berlangsung seru dan ketat. Sebab menurut kalkulasi “bola liar” para pemilih rata-rata memiliki kesadaran politik yang tinggi alias pemilih rasional.

Selain itu pasangan calon yang akan bertarung mempunyai kelompok politik yang tinggi di pentas politik lokal akan menggalang kekuatan massa, sehingga pilkada menjadi sebuah medan laga yang tak pernah sepi dari konflik kepentingan, arena politik lokal berpotensi pun menjadi lahan subur terjadinya pertikaian politik. Memang demokrasi merupakan suatu sistem yang sangat mahal karena banyaknya kepentingan yang diakomodir demi kelangsungan sebuah pesta demokrasi.

Meskipun demikian, harus pula dipahami bahwa substansi sebuah demokrasi dalam pilkada bukan hanya sekadar memilih figur dan mengukuhkan legitimasi penguasa, akan tetapi yang lebih penting adalah terjaminnya kebebasan hak pilih, berlakunya prinsip kesetaraan dan adanya penyerapan aspirasi rakyat sehingga mekanisme pilkada dapat mencerminkan kedaulatan rakyat demi membangun masa depan yang lebih makmur dan adil.

Itulah sebabnya, seringkali dijelaskan dalam referensi sosiologi politik bahwa pemilu atau pilkada merupakan sebuah mekanisme politik yang mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat sehingga terjadi suatu sirkulasi elit politik. Pendidikan politik memperkuat legitimasi politik pemimpin, terjadinya seleksi kepemimpinan yang dilakukan secara adil dan fair dengan melibatkan warga serta melalui pilkada maka rakyat dapat pula melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan.

Setelah berlangsungnya pilkada secara langsung menunjukkan sisi keberhasilan mengisi totalitas pembangunan politik. Bandingkan dengan periode sebelumnya, demokrasi mengalami mati suri. Konstituen hanya sekadar melaksanakan kewajiban politik, berbondong-bondong memasuki bilik suara. Dengan pilkada secara langsung, demokrasi ingin dikembangkan secara kontinue dan makin bermutu, sebagai jawaban atas kegagalan demokrasi sebelumnya.

Demokrasi kini digencarkan terus menerus perbaikannya toh tidak dapat dilepaskan dari kandungannya akan komponen eksperimentasi tertentu. Bila kebenarannya setuju diukur lebih sebagai datang belakangan, selain dari ekspresif muncul melalui serangkaian proses pembangunan politik versi manapun harus menelurkan faedahnya dalam artian pragmatis.

Ini berarti bahwa sistem demokrasi, sekalipun ia adalah terbaru selalu ditunggu kebenarannya dalam kesanggupan mengaktualisasikan nilai-nilai intrinsik demokrasi itu sendiri. Maka itu demokrasi tidaklah cukup dibuktikan melalui bukti-bukti prosedural dan bahkan jika ia bernama pilkada apabila forum yang disediakan dan dibangun di dalamnya tidak mampu menunjukkan gambaran substansial nilai demokrasi.

Maka pilkada tanpa getaran nilai-nilai demokrasi hanya akan menjadi ritual mekanis kosong dengan kehadiran begitu banyak manusia ke tempat pemungutan suara. Selain itu nilai-nilai demokrasi akan hilang, jika bukan rahasia  lagi-apabila sebelum pilkada berlangsung beberapa politisi, terutama patahana, melakukan manuver politik atau bergerilya yang tentunya dengan tujuan untuk menarik dukungan massa, melalui siraman uang. Maka jika hal ini terjadi jangan bermimpi demokrasi tumbuh subur di Tanah Air kita.

BACA JUGA TULISAN LAINNYA:

Siapa pun yang menjadi pemenang dalam pilkada hendaknya dapat berjalan damai, jujur, adil dan elegan serta menjadi contoh bagi dunia luar. Dengan pilkada secara damai itu berarti kita telah memahami arti  sebuah demokrasi sebagai sebuah keputusan suara hati (vox populi vox dei).

Demikian pula jika sudah berlangsungnya pesta demokrasi, dan sudah dipastikan siapa yang akan terpilih, dituntut pengorbanan dan tanggungjawabnya. Mampu bekerja sama dengan semua elemen masyarakat termasuk kalangan kampus, gereja, masjid yang ditunjang profesionalisme tinggi, tetap menjaga keseimbangan multikultur dan pendidikan dengan pengembangan pembangunan yang berorientasi ke kabupaten/kota/provinsi modern dan sebaliknya tidak mengejar fasilitas dari kekuasaan yang diraih dengan mengabaikan profesionalisme dan tanggungjawab.

Terlepas dari semua itu, ada satu hal yang entah disadari atau tidak oleh mereka yang berada di lapisan kekuasaan, yaitu mereka baru bisa diterima oleh lapisan bawah kekuasaan, bila mereka mampu mengekspresikan kemurnian moral, bersikap jujur dan menjaga amanah, bijaksana dalam bertindak dan bertindak dengan bijaksana.

Demokrasi sungguh diperlukan untuk melakukan turning point pertumbuhan ekonomi daerahnya, yaitu sebuah titik signifikan untuk menentukan apakah daerah yang dipimpinnya akan menjadi maju, stagnan atau mundur menjadi tertinggal dengan daerah lainnya.

Demikian pula pemimpin harus menghindari dari mental boss atau penguasa. Sebab jika pemimpin bertindak sebagai boss atau penguasa berbuat apa saja yang menuruti pikirnnya dan nuraninya dianggap layak untuk dilakukan. Bagi boss atau penguasa, semua tindakan yang dilakukan adalah halal karena hirarki dan posisi anak buahnya hanya dianggap sebagai pelengkap untuk melayani keperluannya.

Penguasa biasanya tidak peduli lagi dengan kemampuannya, yang penting harus makmur dulu. Kalau sudah demikian tidak ada lagi keadilan, tidak ada lagi the right man on the right place, tapi yang ada siapa mampu memberi upeti atau memberi rasa kehormatan, maka kariernya mulus. Tanpa peduli kemungkinan upeti tersebut hasil korupsi, karena menganggap jabatan adalah kekuasaan untuk meraih keuntungan pribadi dan kepentingan golongan, demi kedudukan empuk sang penguasa saat ini.

Memperkuat Demokrasi Deliberatif

Sejatinya politik adalah memuliakan manusia (humanitate glorificamus). Demikian pula politik sebagai cara untuk membangun peradaban suatu bangsa menjadi lebih beradab. Partai politik merupakan salah satu instrumen dalam mewujudkan demokrasi memiliki peran strategis dalam mewujudkan demokrasi melalui fungsi-fungsi partai politik.

Di Indonesia fungsi-fungsi partai politik belum dilakukan secara baik dan bertanggungjawab. Partai politik lebih berkonsentrasi pada bagaimana merebut kekuasaan dengan cara-cara yang anti terhadap demokrasi yang melanggengkan politik dinasti, politik kekerabatan, dan politik uang (politik oligarki).  Politik asal menang, tidak peduli yang dia calonkan, berhati kotor atau berhati bersih.

Suka atau tidak suka, para pengusa saat dengan terang-terangan sudah dan mulai melakukan praktik politik oligarki dalam proses perjalanan demokrasi untuk jabatan berikutnya. Para kaum oligarki (pengusaha) sudah jauh-jauh hari direkrut oleh para calon untuk semakin mendekatkan diri. Para kaum oligraki sudah dijamin kehidupannya dengan memberikan berbagai fasilitas proyek. 

Jika kemungkinan ini dianggap sebagai kebenaran, penyakit akut KKN sulit diobati dalam waktu yang singkat, apalagi peran partai politik yang tetap memelihara praktik oligarki. Pascareformasi, rekruitmen politik yang dilakukan oleh partai politik didominasi oleh pemilik modal, kerabat dan keluarga dekat elit partai politik yang semakin memberi ruang eksisnya politik oligarkis dalam sistem demokrasi.

Sebagai akibat langsung dari politk oligarki, tak jarang rakyat dipertontonkan dengan sajian informasi korupsi, suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh elit partai politik. Politik oligarki bukan saja terjadi pada level nasional atau daerah, tetapi juga terdistribusi ke desa-desa, sehingga kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan sulit untuk dicapai.

Rekruitmen politik berbasis modal finansial dan kekerabatan  mengakibatkan orang-orang potensial yang memiliki kompetensi dan integritas mumpuni dalam mewujudkan demokrasi sejati tidak dilirik oleh partai politik, If you don’t have money, don’t expect to be selected as a candidate.

Demokrasi kita yang dikendalikan oligarki itu berskandal. Mengapa? Pertama, alih-alih mengokohkan solidaritas, demokrasi kita membiarkan ekspansi pasar yang justru merusak solidaritas. Kedua, alih-alih melindungi pluralitas, demokrasi kita malah membiarkan pertumbuhan kekuatan-kekuatan ekstrem religius yang mengancam pluralitas.

Ketiga, alih-alih menyediakan kesetaraan kondisi-kondisi, demokrasi kita justru menghasilkan kondisi-kondisi ketidaksetaraan. Bahwa skandal-skandal demokrasi kita tidak dapat diatasi dengan menghentikan demokratisasi, melainkan dengan memperdalamnya dan memperkuat demokrasi deliberatif untuk menghasilkan hukum-hukum legitim yang memperluas kesetaraan dan akhirnya juga dapat membatasi pertumbuhan oligarki.

Demokrasi deliberatif menjanjikan harapan akan kebebasan politik, kesetaraan dan persaudaraan dalam ikatan solidaritas penuh empati atas penderitaan sesama warga negara, sebagai instrumentasi demokrasi yang memiliki kekuatan soliditas dan bermetamorfosis menjadi kekuatan politik.

Praktik oligarki politik, sebagaimana lazim setiap pilkada, lebih berorientasi pada akumulasi dan perluasaan kekayaan dan meningkatnya pengaruh ikatan keluarga atau politik dinasti di dalam mengendalikan kebijakan pemerintahan. Konteks politik mutakhir, semakin terasakan, betapa demokrasi berada dalam cengkeraman oligarki politik, baik itu yang direpresentasikan oleh kekuatan aktor politik lama produk Orde Baru ataupun produk politik Orde Reformasi. Langgam dan pengaruh oligarki ini tidak hanya di pusaran politik nasional, juga pusaran politik lokal. 

Cengkeraman oligarki politik ini memang sangat mengkhawatirkan, namun demikian berbagai kekuatan perlawanan masyarakat sipil masih memberi harapan, bahwa demokrasi deliberatif tidak mudah dibajak dan dikendalikan oleh para oligarch.

 Demokrasi delibaratif, sebuah demokrasi yang menggantikan atau lebih tepatnya memusnahkan demokrasi konvensional seperti demokrasi elektoral atau demokrasi fosil (demokrasi oligarki). Demokrasi deliberatif dengan pengarusutamaan beberapa ciri antara lain: pertama, menekankan pentingnya prosedur komunikasi untuk meraih legimitas hukum di dalam sebuah proses pertukaran yang dinamis antara sistem politik dan ruang publik yang dimobilisasi secara kultural.

Sehingga ada konsensus atau kesepakatan bersama. Konsensus itu adalah menimbang-nimbang calon kita. Misalnya Jerubu akan diorbitkan menjadi bupati di daerah X maka hal yang paling penting adalah the good tree produce(s) good fruith hukum alam deliberatif.

Hal kedua adalah menghubungkan antara fungsi hukum sebagai medium integrasi sosial dengan sebuah teori sosiologis yang menghasilkan tindakan komunikatif atau disebut Lebenswelt (dunia-kehidupan) dan diskursus praktis. Diskursus adalah bentuk komunikasi yang reflektif yang mentematisasi sebuah problem tertentu.

Dengan demikian, ada dua bentuk komunikasi, yaitu komunikasi sehari-hari dan diskursus. Secara umum ada beragam tipe diskursus yaitu diskursus teoretis, diskursus praktis, dan diskursus kritis. Diskursus teoretis adalah percakapan argumentatif menyangkut persoalan-persoalan yang faktual. Sedangkan diskursus praktis, tema yang menjadi problem adalah norma. Pada diskursus kritis tidak perlu mengupayakan adanya konsensus.

Hal yang ketiga mungkin bisa menjadi suatu proses deliberatio itu bisa berjalan dalam konteksi demokrasi sesungguhnya tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warga negara, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu. Sehingga dalam demokrasi delibaratif itu meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif.

Kontrol demokratis melalui opini publik yang memiliki suatu bentuk  logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Sehingga dapat dikatakan demokrasi deliberatif mengacu pada presedur  formasi opini dan aspirasi secara demokratis masyarakat Indinesia.

Dalam demokrasi deliberatif bukanlah jumlah kehendak-kehendak individual dan juga bukan sebuah kehendak ‘umum’ yang merupakan sumber legitimitasi, melainkan sumber legitimasi itu adalah proses formasi warga, argumentatif-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka revisi.

Prinsip dalam demokrasi deliberatif  tercerminkan dalam membangun kompetensi yang komunikatif. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah membiarkan mereka untuk menghargai pendapat sendiri. Perbedaan dalam berpendapat adalah suatu hal kewajaran dan itu harus diberikan ruang tersendiri. Dengan banyaknya beragam perbedaan pendapat, maka akan membuka banyak perspektif dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

Gagasan demokrasi deliberatif dalam pilkada ini, bermula dari kegelisahan “tak berdayanya hukum publik  tak bekerjaanya respublika dan rechtstaat. Pilar-pilar arsitektur respublika  ini tak lagi berfungsi ketika ia dikuasai  oleh kekuatan  tak tampak yaitu kekuasaan rahasia (secret power) yang menguasai aspek  kehidupan  berbangsa dan bernegara. Bahaya ke depan  adalah apabila negara ini dikelola oleh kekuatan rahasia, para mafia, kartel, rentenir, konspirasi, komplotan, persekongkolan yang semuanya anti republika.”

Menurut penulis, saat ini terasa sangat tajam sekali di Indonesia. Respublika menjadi urusan kekuatan gelap dari sebuah republik gelap. Respublika akan dikendalikan oleh potentia invisibilis yang tak tersentuh oleh negara. Semuanya itu akan musnah kalau kita mengedepankan demokrasi deliberatif, sebagai tawaran. Semoga!! (Ben Senang Galus, penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *