Oleh: Maria Sartiana Naus
beritabernas.com – Fear of Missing Out (FOMO) merupakan perasaan cemas dan takut ketinggalan sesuatu yang saat ini menjadi fenomena yang makin umum. Dalam konteks masyarakat modern yang sangat terhubung, FOMO mendorong seseorang untuk terus mengikuti perkembangan berita, tren atau aktivitas teman-temannya demi menghindari perasaan “tertinggal”. Terlebih dengan kehadiran media sosial yang memungkinkan kita melihat kehidupan orang lain secara instan, dorongan untuk selalu terkoneksi semakin kuat, yang akhirnya dapat memicu kecemasan berlebih.
Fear of Missing Out (FOMO) ini juga merupakan kondisi psikologis yang menggambarkan rasa takut seseorang untuk “ketinggalan” terhadap hal-hal yang sedang tren atau aktivitas tertentu. Di era digital saat ini, perasaan ini semakin sering muncul karena keterhubungan yang instan melalui media sosial.
Dalam sebuah penelitian dijelaskan bahwa FOMO merupakan bentuk kecemasan sosial di mana seseorang merasa tidak ingin tertinggal dari orang lain dalam hal pengalaman atau informasi yang sedang populer (Przybylski dkk., 2013). Fenomena ini sering muncul karena adanya perasaan tidak aman terhadap pencapaian pribadi atau sosial yang membuat seseorang merasa perlu untuk selalu “menyusul” atau “ikut” dengan aktivitas orang lain.
Sayangnya, kondisi ini bisa berujung pada kecanduan media sosial, yang justru memperburuk perasaan cemas karena seseorang terus-menerus terpapar informasi mengenai kehidupan orang lain yang seringkali terlihat sempurna dan menyenangkan. Beberapa studi juga mengaitkan FOMO dengan kurangnya kepuasan hidup dan penurunan kesehatan mental secara keseluruhan. Berbagai faktor, baik psikologis maupun sosial, turut mempengaruhi terjadinya FOMO dan dampaknya pada kesejahteraan mental.
BACA JUGA:
- Dialektika Nalar di Ruang Publik
- Ruang Publik Menjadi Ruang Etika bagi Kita
- Hubungan Tidak Sehat dan Manipulasi dalam Media Sosial
Media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi dan mendapatkan informasi. Menurut penelitian dari Pew Research Center (2021), lebih dari 70% pengguna media sosial di berbagai usia menggunakan platform ini untuk terus mengikuti berita dan aktivitas orang-orang terdekat. Namun, kemudahan ini menyebabkan ketergantungan yang berlebihan dan rasa ingin tahu yang berlebihan terhadap kehidupan orang lain.
Setiap kali kita membuka media sosial dan melihat orang lain memposting aktivitas menarik atau pencapaian baru, kita cenderung merasa “kurang” atau “tertinggal” jika tidak ikut ambil bagian. FOMO ini terus memacu kebutuhan untuk terus membuka media sosial dan melihat apa yang dilakukan oleh orang lain.
Selain itu, budaya modern sering kali menganggap pencapaian pribadi sebagai ukuran kesuksesan. Akibatnya, banyak orang merasa perlu menunjukkan pencapaian mereka di media sosial. Fenomena ini memicu FOMO, karena ketika seseorang melihat orang lain mengalami hal-hal positif, mereka merasa harus melakukan hal serupa agar tidak dianggap tertinggal. Pada saat yang sama, budaya kompetitif ini menimbulkan tekanan, terutama pada kaum muda yang sangat rentan merasa tertinggal secara sosial.
Secara psikologis, FOMO berakar pada perasaan ketidakpuasan diri dan harga diri yang rendah. Orang-orang yang tidak yakin pada nilai diri mereka cenderung merasa perlu membuktikan diri melalui pengalaman yang serupa dengan orang lain, sehingga tidak merasa “kalah” dalam pergaulan.
Dalam penelitian lain oleh Blackwell et al. (2017), ditemukan bahwa FOMO erat kaitannya dengan perasaan cemas dan stres yang disebabkan oleh kurangnya harga diri. Dalam artian bahwa orang yang memiliki harga diri rendah lebih cenderung mengalami FOMO karena mereka berusaha mencari validasi dari lingkungan sosialnya.
Perasaan takut tertinggal menyebabkan peningkatan kecemasan dan stres. Sebagai contoh, seseorang yang terus-menerus merasa perlu untuk mengikuti tren atau aktivitas terbaru cenderung merasa lelah secara mental. Hal ini juga memperburuk self-esteem, yang berkontribusi pada perasaan cemas berlebihan. Dalam studi yang dilakukan oleh Baker dkk. (2016), ditemukan bahwa pengguna media sosial yang mengalami FOMO lebih rentan mengalami kecemasan karena mereka terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain.
Selain itu, FOMO juga sering kali membuat seseorang terus-menerus memeriksa ponsel mereka, bahkan hingga larut malam. Kondisi ini dikenal sebagai sleep procrastination atau menunda tidur karena rasa ingin tahu yang berlebihan. Penelitian oleh Scott & Woods (2019) menunjukkan bahwa FOMO berkorelasi dengan gangguan tidur pada remaja dan dewasa muda. Kualitas tidur yang buruk akibat terus menerus mengakses media sosial bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental dan fisik, termasuk kelelahan kronis dan kesulitan berkonsentrasi.
Selain itu juga, orang yang mengalami FOMO sering kali merasa kurang puas dengan kehidupannya karena selalu membandingkan pencapaian diri dengan orang lain. Dalam sebuah penelitian oleh Przybylski dkk. (2013), ditemukan bahwa FOMO berkaitan dengan kepuasan hidup yang rendah karena orang-orang dengan FOMO sering kali tidak menikmati momen yang sedang mereka jalani. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada apa yang tidak mereka miliki atau lakukan.
Dari pendapat di atas, solusi yang mesti ditawarkan menurut saya yaitu dengan memberikan latihan kesadaran diri, yang dapat membantu mengurangi perasaan FOMO. Latihan ini bertujuan agar seseorang lebih fokus pada keadaan diri sendiri dan menghargai setiap momen yang sedang berlangsung tanpa terganggu oleh pemikiran akan hal-hal yang terlewatkan.
Menurut Kabat-Zinn (1994), mindfulness atau pelatihan membantu mengembangkan rasa syukur dan kesadaran diri, yang secara langsung dapat mengurangi FOMO.
BACA JUGA TULISAN LAINNYA:
Selain itu, mengatur waktu penggunaan media sosial merupakan langkah penting dalam mengatasi FOMO. Beberapa aplikasi bahkan menawarkan fitur untuk membatasi waktu layar harian sebagai cara mengurangi kecanduan media sosial. Dengan memanfaatkan fitur ini, pengguna dapat lebih mengendalikan diri dan tidak terlalu tergantung pada media sosial.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hunt dkk. (2018), dengan mengurangi waktu penggunaan media sosial, tingkat kecemasan dan stres dapat menurun.
Yang paling penting menurut saya adalah meningkatkan rasa percaya diri dan menghargai pencapaian diri sendiri. Ketika seseorang lebih yakin pada nilai dirinya dan menghargai pencapaiannya sendiri, mereka akan lebih mudah menerima bahwa tidak semua hal perlu diikuti. Dalam penelitian oleh Vogel dkk. (2014), ditemukan bahwa individu yang memiliki rasa percaya diri tinggi cenderung lebih fokus pada tujuan pribadi daripada mengikuti tren atau aktivitas orang lain.
Dari semua pendapat di atas, dapat saya simpulakan bahwa FOMO merupakan fenomena yang sangat umum di era digital dan jika tidak dikelola dengan baik, bisa berdampak negatif pada kesehatan mental. Kehadiran media sosial yang memungkinkan kita untuk terus memantau kehidupan orang lain, tekanan sosial, serta rasa ketidakpuasan diri merupakan faktor utama penyebab munculnya FOMO.
Dampak FOMO pada kesehatan mental sangat serius, termasuk meningkatnya kecemasan, stres, dan penurunan kepuasan hidup. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menerapkan strategi mengatasi FOMO, seperti mindfulness, membatasi penggunaan media sosial dan meningkatkan rasa percaya diri. Dengan begitu, kita bisa menjalani hidup dengan lebih tenang tanpa tekanan untuk selalu mengikuti setiap tren atau aktivitas orang lain. (Maria Sartiana Naus, Mahasiswi Universitas Cendikia Mitra Indonesia)
There is no ads to display, Please add some