Membandingkan Pendekatan Militeristik Jawa Barat dan Restoratif Finlandia

Oleh: Patuh Fatkhur Rohman, Mahasiswa Psikologi Universitas Cendekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Pola asuh menjadi sebuah strategi yang digunakan orangtua dalam mendidik anak-anaknya dengan tujuan membentuk karakter, perilaku dan kepribadian. Pola asuh yang diterapkan baik atau buruk dalam keluarga dan lingkungan menjadi faktor dalam proses menuju tujuan yang diinginkan. Strategi ini memperlihatkan bentuk tanggung jawab orangtua dalam mendidik anaknya, membutuhkan interaksi orangtua kepada anak secara konsisten diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Mengenai masalah kenakalan anak, kita perlu melihat dari apa saja yang melatarbelakangi anak melakukan tindakan kriminal tersebut. Kenakalan anak dapat dilihat dari faktor-faktor yang membentuk kepribadian anak saat ini seperti konsep diri, kemampuan adaptasi, fase perkembangan anak, pola asuh keluarga dan lingkungan.

Baru-baru ini sebuah provinsi di Indonesia menjadi viral karena kebijakan yang dibuat. Gubernur Jawa Barat yang dikenal dengan panggilan Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengambil keputusan mengirimkan anak yang dianggap bermasalah ke barak militer untuk menjalani pendidikan karakter selama 14 hari.

Keputusan ini berbeda dengan pemerintah Finlandia di mana negara tersebut tidak memiliki kebijakan untuk mengirim anak yang dianggap bermasalah ke barak militer atau semacamnya. Mereka menggunakan pendekatan yang diterapkan kepada anak dengan menggunakan prinsip keadilan, restoratif dan pendekatan yang fokus terhadap pemulihan hubungan sosial.

Program KDM seolah menjadi salah satu solusi bagi pendidikan di negara kita, terkhusus di Provinsi Jawa Barat. Dalam program ini, anak-anak menjurus pada pelatihan kedisiplinan dan bukan dari sisi psikologis anak, bahkan kebijakan ini menuai pro dan kontra baik dari lembaga maupun masyarakat.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menolak adanya program tersebut yang dinilai belum sesuai dengan prinsip perlindungan anak dan regulasi yang berlaku. Ditemukannya praktik intimidatif seperti ancaman tidak naik kelas bagi anak yang tidak mengikuti program tersebut sehingga merasa tertekan serta meminta jeda dan evaluasi secara menyeluruh dari program ini, sementara masyarakat masih menunjukkan reaksi yang bervariasi. Meskipun masih dapat ditemukan dampak positif dari program ini kita harus tetap bijak dalam mengambil keputusan.

Negara Finlandia memusatkan pengasuhan dari sisi psikologis anak. Anak yang dianggap bermasalah di Finlandia tidak dipisahkan dari tempat dia bersekolah ke tempat khusus, melainkan tetap berada di sekolahnya dengan pendekatan pendampingan dan dukungan dari psikolog di sekolah dan guru bimbingan konseling.

BACA JUGA:

Fokus utama Finlandia dalam menangani anak yang dianggap bermasalah adalah dengan memperbaiki hubungan sosial yang rusak, bukan penghakiman atau hukuman. Saat pelanggaran terjadi, sekolah mengadakan dialog terbuka untuk mencari solusi permasalahan bersama guru, siswa dan orangtua yang nantinya anak diminta melakukan refleksi pribadi dan kontribusi sosial.

Di Finlandia disiplin memang dipandang sebagai bentuk pembelajaran dan bukan sebuah hukuman. Koneksi antara guru dan siswa dibangun sangat tinggi dengan komunikasi terbuka dan bimbingan yang mendorong pengembangan disiplin diri dan tanggung jawab pribadi, misalnya, siswa bisa menggunakan ruang ketenangan yang disediakan untuk menenangkan diri daripada harus memendam semuanya.

Guru dan konselor secara aktif berperan dalam mengenali serta memberikan dukungan kepada siswa yang mulai menunjukkan gejala perilaku bermasalah, sebelum kondisi tersebut berkembang lebih serius. Budaya kepercayaan, keterbukaan, dukungan pengasuhan yang positif di lingkungan belajar juga diterapkan termasuk penataan kelas yang mendukung pola interaksi siswa dalam proses belajar.

Kebijakan pengiriman anak-anak yang dianggap bermasalah ke barak militer oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), memunculkan pertanyaan penting: apakah pendekatan militeristik efektif dalam menangani kenakalan anak atau justru berpotensi menciptakan masalah baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melakukan perbandingan dengan negara seperti Finlandia yang menempuh jalur sebaliknya pendekatan restoratif yang menitikberatkan pada pemulihan hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis anak.

Dari sisi jangka pendek, program barak militer memang bisa terlihat berhasil. Anak-anak yang mengikuti pelatihan cenderung menunjukkan perilaku lebih disiplin, patuh terhadap aturan dan terkesan “berubah”. Namun, banyak ahli menyebut bahwa perubahan ini bersifat superfisial dan tidak menyentuh akar masalah psikologis maupun sosial yang dialami anak.

Dalam konteks perkembangan anak, pendekatan yang kaku dan menekan justru dapat menghambat pembentukan identitas yang sehat, apalagi bila dijalankan dengan ancaman seperti tidak naik kelas, sebagaimana dikritik oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Sebaliknya, Finlandia memusatkan penanganan pada “intervensi relasional”. Saat anak menunjukkan perilaku bermasalah, pendekatannya bukan dengan pemisahan, melainkan pelibatan. Guru, psikolog sekolah, dan orangtua duduk bersama untuk menemukan sumber permasalahan dan merancang jalan keluar yang membangun. Pendekatan ini diyakini memperkuat empati, keterhubungan, serta tanggung jawab pribadi anak terhadap tindakannya. Disiplin di Finlandia tidak berarti hukuman, tetapi kesempatan untuk belajar memahami diri dan dampak perbuatannya terhadap orang lain.

Secara data, pendekatan Finlandia menunjukkan hasil yang lebih stabil dalam jangka panjang. Tingkat kriminalitas remaja rendah, angka putus sekolah juga minim, serta tingkat kepuasan dan kesejahteraan siswa tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang empatik bukan berarti permisif, melainkan mendorong pertumbuhan karakter dari dalam, bukan dari rasa takut.

Jika kita telaah lebih dalam, program militeristik seperti yang diterapkan KDM lebih menyerupai “penanggulangan”, sementara pendekatan Finlandia adalah “pencegahan”. Strategi pencegahan jelas lebih kuat karena menyasar pada akar penyebab perilaku, bukan hanya pada ekspresi luar yang tampak. Apalagi, dalam kerangka psikologi perkembangan anak dan remaja, perilaku bermasalah seringkali merupakan bentuk ekspresi dari konflik emosional, trauma, atau kebutuhan yang tidak terpenuhi—yang tidak akan selesai hanya dengan disiplin fisik.

Dengan demikian, meskipun niat baik dalam program KDM layak diapresiasi, perlu evaluasi mendalam terhadap pendekatannya. Tanpa pemahaman psikologis dan tanpa melibatkan lingkungan sosial anak secara utuh, ada risiko bahwa program ini hanya bersifat tambal sulam. Justru dengan belajar dari negara-negara seperti Finlandia, Indonesia dapat merumuskan pendekatan yang lebih utuh, adil, dan selaras dengan prinsip perlindungan anak serta perkembangan psikologis yang sehat.

Mungkin memang benar dari terbentuknya program ini, pemerintah Jawa Barat memusatkan pendidikan militer karena bisa saja perbaikan dari sisi psikologis anak masih belum sesuai, tetapi perlu dipastikan juga pendidikan di barak militer diajarkan dengan baik dan penuh kasih sayang.

Di mana Finlandia sendiri penduduknya sadar akan pentingnya pendidikan dengan pola asuh dari sisi psikologisnya dengan intervensi yang memadai. Perbandingan program Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM, dengan program pemerintah negara Finlandia memunculkan solusi bagi pendidikan di Indonesia.

Solusi yang ditawarkan dari perbandingan program ini berupa analisis permasalahan pendidikan di setiap provinsi-provinsi, kota-kota hingga ke pelosok desa dengan menyesuaikan kebutuhan di setiap daerah sehingga kesetaraan dalam pemberian pendidikan di Indonesia dapat lebih berkembang tanpa mengabaikan peran pemerintah dalam memahami rakyatnya, kompetensi guru dalam mendidik dan berpengetahuan, keluarga yang suportif dan lingkungan yang baik. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *