Siapa yang Menjaga Api, Siapa yang Bebas Pergi?

Oleh: Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Di banyak rumah, asap dapur tidak hanya membawa aroma makanan, namun juga jejak panjang budaya patriarki yang menyamar dalam bentuk cinta. Kita terlalu lama memuja peran perempuan di dapur tanpa pernah bertanya: apakah itu pilihan atau paksaan yang dibungkus kata “pengabdian”?

Kita mengajarkan anak perempuan bahwa keberhargaan mereka lahir dari pelayanan, bahwa masakan adalah mata uang cinta dan bahwa keluar dari dapur sama dengan keluar dari kasih.

Padahal, masalahnya bukan dapur, bukan pula memasak. Tapi ketika dapur dijadikan batas ruang, dan perempuan dijadikan penjaganya yang tidak boleh pergi, maka dalam sistem ini, cinta tidak lagi merdeka. Cinta berubah menjadi kewajiban yang ditagih, bukan kasih yang diberikan.

Feminisme tidak pernah memusuhi dapur. Feminisme hanya bertanya dengan lantang: mengapa hanya perempuan yang diharapkan tinggal? Mengapa yang keluar justru disalahkan? Ini bukan tentang siapa yang mampu memasak dengan baik. Ini tentang siapa yang memiliki hak untuk memilih, tanpa ancaman kehilangan cinta, penghormatan atau tempat di dunia.

Ketika perempuan berdiri di dapur, tidak selalu yang mereka bawa adalah cinta. Di banyak budaya, termasuk Indonesia, dapur telah lama dikonstruksi sebagai simbol pengabdian perempuan, ruang yang tidak hanya mengatur makanan, tetapi juga mengatur harapan sosial tentang peran, identitas, dan nilai diri seorang perempuan.

Tidak sedikit yang menganggap bahwa seorang istri atau anak perempuan yang baik adalah mereka yang pandai memasak, menyajikan makanan hangat, dan melayani keluarganya tanpa keluh. Namun, di balik uap nasi yang mengepul dan panci yang mendidih, sering kali tersembunyi luka yang tidak terlihat, cinta yang dipaksa, dan pengabdian yang tidak pernah benar-benar dipilih.

BACA JUGA:

Chimamanda Ngozi Adichie, dalam A Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions, menyebut bahwa kita, sebagai masyarakat, secara sistematis mengajarkan perempuan untuk “mengecilkan diri mereka.” Dalam bahasa yang lebih dekat dengan konteks kita, perempuan diajarkan untuk berkorban diam-diam, untuk menyesuaikan diri agar dapat diterima, dicintai, dan dianggap layak sebagai “perempuan baik-baik.”

Salah satu bentuk paling umum dari pengajaran ini adalah ekspektasi bahwa perempuan harus pandai memasak dan lebih jauh, bahwa memasak adalah bukti cinta. Narasi ini sangat melekat hingga banyak perempuan yang tidak lagi mampu membedakan antara cinta yang tulus dengan cinta yang dituntut oleh norma.

Sebuah studi yang dilakukan oleh UN Women Indonesia (2022) menunjukkan bahwa 64% perempuan Indonesia merasa bertanggung jawab secara eksklusif atas pekerjaan rumah tangga, termasuk memasak, meskipun mereka juga bekerja di luar rumah. Sementara itu, hanya 18% laki-laki yang menganggap memasak sebagai tanggung jawab bersama.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa dapur bukan lagi tentang kecintaan atau hobi, melainkan telah menjadi simbol beban sosial yang tidak adil. Di sinilah cinta menjadi jebakan: ketika perempuan terus-menerus merasa harus menunjukkan kasih sayangnya melalui pelayanan fisik, tanpa ruang untuk negosiasi atau jeda.

Lebih jauh, tekanan untuk mencintai melalui pekerjaan domestik tidak hanya berasal dari pasangan atau keluarga, namun juga berasal dari masyarakat luas. Media populer, iklan makanan, hingga sinetron dan konten media sosial turut memperkuat mitos ini: bahwa istri ideal adalah yang memasak di rumah, bahwa makanan buatan tangan ibu adalah satu-satunya bentuk kasih sayang sejati. Perempuan yang tidak yang dapat atau tidak suka memasak sering dicap sebagai egois, tidak feminim, atau bahkan dianggap gagal menjadi ibu. Padahal, mencintai seseorang tidak semestinya disandarkan pada seberapa sering ia berdiri di dapur.

Di sisi lain, penting untuk dicatat bahwa kritik ini bukan berarti merendahkan atau menolak aktivitas memasak itu sendiri. Memasak dapat menjadi bentuk ekspresi cinta yang sangat indah, bila dilakukan dalam kondisi relasi yang setara dan pilihan yang merdeka. Masalahnya terletak pada paksaan yang menyamar sebagai cinta. Ketika seseorang merasa harus memasak untuk tetap dicintai, maka hal tersebut bukan lagi cinta, melainkan bentuk perbudakan emosional. Perbudakan yang tidak menggunakan rantai atau borgol, melainkan rasa takut kehilangan kasih sayang.

Dalam kerangka feminisme, hal ini disebut sebagai emotional labor, kerja emosional yang sering tidak dibayar, tidak terlihat, namun sangat melelahkan. Seperti yang dikemukakan oleh Arlie Hochschild dalam bukunya The Managed Heart (1983), kerja emosional adalah pengelolaan perasaan untuk memenuhi ekspektasi sosial, dan dalam banyak kasus, perempuan adalah kelompok yang paling banyak dibebani oleh jenis pekerjaan ini. Memasak dengan senyum di tengah kelelahan, menyiapkan makanan meski tubuh ingin istirahat, semua itu dianggap “kodrat”, padahal sebetulnya adalah tekanan budaya yang sangat kuat.

Kita harus bertanya dengan serius “apakah benar cinta harus ditunjukkan dengan cara yang menyakitkan diri sendiri? Mengapa cinta yang diberikan perempuan harus melalui kerja fisik dan emosional yang tidak pernah berhenti? Mengapa cinta perempuan harus selalu dibuktikan, sementara cinta laki-laki cukup diasumsikan?”

BACA JUGA TULISAN LAINNYA:

Ketika dapur menjadi ruang di mana perempuan merasa harus “membayar” cinta agar tetap diterima, kita tidak sedang merayakan kasih sayang, kita sedang merawat ketidakadilan. Ketika perempuan merasa takut untuk berkata “aku tidak ingin memasak hari ini” karena khawatir akan dicap buruk atau kehilangan cinta, maka kita tidak sedang membicarakan keluarga, tetapi penjara peran.

Perubahan hanya dapat dimulai dengan menggeser cara kita memahami cinta dan tanggung jawab. Cinta tidak boleh menjadi alat pemaksa. Tanggung jawab tidak boleh dibebankan berdasarkan jenis kelamin. Dalam relasi yang sehat, memasak harus menjadi pilihan, bukan kewajiban. Dan pilihan tersebut harus tersedia untuk semua orang, bukan hanya perempuan.

Dapur Sebagai Simbol Batas, Bukan Ruang Pilihan

Selama berabad-abad, dapur telah dijadikan ruang simbolik yang menandai wilayah perempuan. Di banyak kebudayaan, termasuk Indonesia, ruang ini diromantisasi sebagai pusat kehangatan keluarga, tempat kasih sayang diracik dalam bentuk makanan, dan pengabdian perempuan diwujudkan dalam aroma tumisan dan kuah mendidih.

Namun romantisasi ini sering kali menutupi kenyataan yang lebih kelam: dapur bukan lagi sekadar ruang memasak, melainkan garis batas yang secara sosial mengurung perempuan dalam peran domestik yang kaku. Ketika ruang ini berubah dari tempat pilihan menjadi tempat tinggal permanen yang tidak dapat dinegosiasikan, maka kita sedang berhadapan dengan bentuk kekerasan simbolik yang halus namun sistematis.

Dalam struktur masyarakat patriarkal, pekerjaan domestik masih dianggap sebagai tanggung jawab kodrati perempuan. Konsekuensinya, dapur tidak hanya menjadi tempat kerja tanpa upah, tetapi juga menjadi ruang kontrol sosial terhadap tubuh dan waktu perempuan.

Hasil studi The World Bank (2021) tentang kesetaraan gender di Asia Tenggara menunjukkan bahwa perempuan Indonesia menghabiskan rata-rata 4,5 jam per hari untuk pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki hanya sekitar 1,3 jam. Artinya, ada ketimpangan struktural dalam cara beban kerja dibagi di dalam rumah tangga. Dan beban tersebut melekat pada satu jenis kelamin, bukan berdasarkan kesepakatan, melainkan warisan dari konstruksi sosial yang tidak pernah benar-benar dipertanyakan.

Padahal, kerja domestik, termasuk memasak, adalah pekerjaan riil yang membutuhkan waktu, tenaga, keterampilan, dan sering kali pengorbanan emosional. Namun, ketika dapur hanya dikaitkan dengan perempuan, maka terjadi penyingkiran yang sistemik terhadap hak perempuan untuk bebas dari beban tersebut. Ketika kita mengatakan “perempuan yang baik pasti pandai masak,” kita sesungguhnya sedang membatasi mobilitas sosial mereka, bukan hanya dalam konteks fisik, tetapi juga dalam pilihan hidup, karier, dan bahkan harga dirinya.

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kritik feminis terhadap peran domestik perempuan tidak berarti menolak dapur atau menganggap memasak sebagai aktivitas hina. Yang dikritik adalah ketimpangan dan ketidakbebasan. Feminisme tidak datang untuk menggusur dapur dari rumah, tetapi untuk meruntuhkan pagar tidak kasat mata yang membuat hanya perempuan yang tinggal di dalamnya. Feminisme bertanya “mengapa hanya satu pihak yang terus diberi tanggung jawab ini? Mengapa pekerjaan yang dilakukan perempuan di dapur dianggap otomatis, sementara ketika laki-laki melakukannya, disebut membantu?” Di sinilah letak ketidaksetaraan yang sering tidak disadari.

Dapur juga menjadi simbol stratifikasi gender dalam budaya populer. Dalam film, sinetron, dan iklan, perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang tersenyum di dapur, menyajikan makanan untuk suami dan anak-anak, seolah-olah itulah puncak keberhasilan dan kebahagiaannya. Laki-laki, sebaliknya, digambarkan sebagai sosok yang pulang kerja dan “dibantu” oleh istri. Narasi ini tidak hanya menciptakan ekspektasi sosial yang timpang, tetapi juga menormalisasi eksploitasi dalam rumah tangga. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak pada bagaimana perempuan memandang nilai dirinya, bukan sebagai subjek yang bebas menentukan pilihan, tetapi sebagai objek yang diukur dari kemampuannya melayani.

Ketika dapur tidak lagi menjadi ruang pilihan, ia berubah menjadi simbol peran yang wajib dijalankan, bahkan bila itu berarti mengorbankan mimpi, karier, atau kebebasan individu. Dalam konteks ini, pertanyaan yang diajukan feminisme “siapa yang boleh keluar? Siapa yang boleh tinggal?” menjadi sangat relevan. Karena pada kenyataannya, banyak perempuan yang tidak memiliki ruang untuk keluar. Mereka tidak sekadar memilih untuk tetap di dapur, mereka tidak pernah diberi alternatif. Atau jika pun ada, alternatif tersebut datang dengan risiko seperti dicap sebagai istri yang buruk, ibu yang gagal, atau perempuan yang egois.

Kita juga harus mencermati bagaimana narasi keibuan ikut mengunci perempuan di dapur. Dalam berbagai literatur parenting populer, seorang ibu yang ideal adalah mereka yang memasak sendiri untuk anak-anaknya, dari MPASI hingga bekal sekolah. Bila seorang ibu memilih catering atau makanan instan, maka ia segera dikritik sebagai malas atau tidak peduli. Padahal, dalam masyarakat modern yang semakin menuntut produktivitas dan waktu, membagi peran dapur seharusnya menjadi norma baru, bukan pengecualian.

Untuk menciptakan ruang yang adil, dapur harus dikembalikan ke titik awalnya sebagai ruang bersama, bukan ruang warisan gender. Ia harus dapat diakses, diisi, dan ditinggalkan oleh siapa pun, tanpa stigma. Dan untuk itu, kita perlu membongkar banyak sekali konstruksi sosial yang telah menempel kuat pada panci, wajan, dan kompor.

Kesetaraan tidak berarti perempuan meninggalkan dapur selamanya. Kesetaraan berarti semua orang, laki-laki dan perempuan, meiliki hak yang sama untuk memilih untuk apakah ingin tinggal, keluar, atau kembali lagi ke dapur, tanpa tekanan, tanpa penghakiman, dan tanpa kehilangan harga diri.

Dapur tidak pernah menjadi musuh. Namun ketika dapur dijadikan satu-satunya ruang yang boleh ditempati perempuan, sementara laki-laki bebas menentukan jalan hidupnya, maka yang sedang kita rawat bukanlah cinta, melainkan ketimpangan yang dibungkus rapi oleh adat dan dalih kasih sayang. Cinta yang tumbuh dalam ketakutan untuk ditinggalkan bukanlah cinta, melainkan tekanan sosial yang memaksa perempuan untuk terus memberi, tanpa ruang untuk memilih.

Feminisme tidak mengajak perempuan meninggalkan dapur. Feminisme hanya mengingatkan bahwa cinta yang sejati tidak pernah lahir dari kewajiban sepihak. Feminisme menuntut agar dapur dibuka lebar, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara ideologis, agar siapa pun dapat masuk dan keluar dengan kehendaknya sendiri. Karena di masyarakat yang adil, cinta tidak dibuktikan melalui siapa yang pandai memasak, tetapi melalui siapa yang bersedia berbagi ruang, beban, dan pilihan.

Jadi, bukan tentang siapa yang pandai memasak, tetapi siapa yang diberi hak untuk tidak melakukannya tanpa kehilangan harga diri. Dan selama pertanyaan “siapa yang boleh keluar, siapa yang harus tinggal?” masih relevan, perjuangan belum selesai. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *