Perempuan dan Kesehatan Mental: Mematahkan Stigma di DIY

Oleh: Rahma Hairunnisa Regita Putri, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Yogyakarta, kota yang dikenal sebagai kota pelajar, kerap dipandang sebagai ruang terbuka dan progresif. Namun, di balik kemajuan pendidikan dan budaya yang kaya, terdapat persoalan mendalam yang kerap terlupakan seperti kesehatan mental perempuan.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan DIY tahun 2023, sekitar 30% perempuan usia produktif di wilayah ini mengalami gejala kecemasan atau depresi. Sayangnya, hanya sekitar 15% dari mereka yang benar-benar mengakses bantuan profesional. Fenomena ini menunjukkan bahwa stigma, budaya lokal, keterbatasan layanan dan minimnya edukasi menjadi penghalang utama dalam penanganan kesehatan mental perempuan di daerah ini.

Budaya lokal dan beban gender

Nilai-nilai tradisional seperti “nrimo ing pandum” (menerima apa yang sudah digariskan) dan “ewuh pekewuh” (sungkan atau enggan menolak) secara tidak langsung membentuk karakter perempuan untuk tetap diam dan tabah, bahkan ketika sedang mengalami tekanan emosional yang berat. Dalam masyarakat Jawa, ekspresi perasaan pribadi, terutama yang berkaitan dengan kesedihan, kecemasan, atau trauma, sering dianggap sebagai tanda kelemahan.

Hal ini diperparah dengan peran gender yang menempatkan perempuan sebagai figur penopang keluarga. Mereka dituntut untuk menjadi istri yang sabar, ibu yang kuat, anak yang patuh, dan perempuan yang tetap terlihat baik di mata sosial. Ketika beban tersebut tidak disertai ruang aman untuk mengungkapkan emosi, maka risiko terjadinya gangguan mental meningkat. Studi Antropologi UGM tahun 2023 mencatat bahwa 65% perempuan di pedesaan DIY tidak merasa nyaman menceritakan masalah psikologisnya kepada orang lain, termasuk kepada tenaga kesehatan.

BACA JUGA:

Seorang antropolog UGM Dr Siti Aisyah, menyebut bahwa banyak perempuan memendam luka batin yang tak terlihat. Menurutnya, banyak yang belajar untuk ‘tersenyum dalam derita,’ karena merasa bicara tentang emosi akan dianggap lemah atau tidak bersyukur.

Data Dinas Kesehatan DIY memperlihatkan rincian lebih spesifik tentang siapa saja yang terdampak dan bentuk gangguan yang dialami. Pertama, ibu rumah tangga (sekitar 40%) mengalami stres berat akibat beban ganda. Selain tanggung jawab domestik, banyak dari mereka turut bekerja demi membantu ekonomi rumah tangga. Namun, kerja-kerja domestik dan emosional ini sering kali tidak diakui secara sosial. Rasa lelah yang terus menerus tanpa penghargaan menimbulkan gejala burnout dan depresi ringan hingga berat.

Kedua, remaja perempuan (sekitar 25%) mengalami tekanan psikologis yang bersumber dari lingkungan akademik dan sosial. Tekanan ujian, target nilai tinggi, hingga perundungan di media sosial menyebabkan banyak remaja mengalami cemas berlebih dan rendahnya rasa percaya diri.

Ketiga, hanya sebagian kecil fasilitas kesehatan yang memiliki layanan kesehatan mental. Dari 18 Puskesmas di wilayah DIY, hanya 8 yang memiliki layanan konseling khusus untuk perempuan. Hal ini mencerminkan bahwa perhatian sistem kesehatan terhadap kebutuhan psikologis berbasis gender masih sangat minim.

Selain itu, banyak perempuan yang tidak mengetahui ke mana harus pergi ketika mengalami gangguan mental. Beberapa mengaku takut dicap ‘gila’ atau takut aib keluarga terbongkar. Ini membuktikan bahwa stigma sosial terhadap gangguan psikologis masih sangat tinggi.

Menurut dokter Rina Wijayanti dari Dinas Kesehatan DIY, lonjakan kasus gangguan kecemasan dan depresi terlihat meningkat pasca pandemi. Kenaikan signifikan terjadi di wilayah pinggiran seperti Gunungkidul dan Kulon Progo yang fasilitas mental health-nya masih minim.

Program, komunitas dan harapan baru

Meski tantangan cukup besar, harapan tetap tumbuh lewat inisiatif dari pemerintah maupun masyarakat sipil. Program “Jiwa Sehat, Perempuan Hebat” merupakan salah satu upaya dari Dinas Pemberdayaan Perempuan DIY yang bertujuan meningkatkan literasi kesehatan mental bagi perempuan.

Program ini mencakup beberapa hal, pertama, pelatihan kader Posyandu dan PKK agar bisa menjadi pendamping awal bagi perempuan yang mengalami tekanan psikologis. Mereka dilatih untuk mengenali tanda-tanda stres dan memberi pertolongan pertama psikologis sebelum dirujuk ke profesional.

Kedua, kemitraan dengan 10 Puskesmas yang menyediakan layanan konseling gratis dan ramah perempuan. Konseling ini diberikan oleh psikolog atau konselor yang dilatih secara khusus. Ketiga, workshop dan kelas edukasi kesehatan mental yang diberikan di sekolah menengah, dengan fokus pada manajemen stres, penguatan emosi, dan keberanian untuk berbicara tentang perasaan.

Selain program pemerintah, komunitas masyarakat juga turut andil membangun ekosistem yang lebih suportif. Beberapa di antaranya adalah Pulih Foundation Yogyakarta menyediakan hotline 24 jam dan konseling daring yang aman dan anonim. Mereka juga menyelenggarakan pelatihan dan diskusi publik seputar pemulihan trauma, kesehatan mental berbasis gender, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Selain itu, komunitas seni seperti Lintas Batas memanfaatkan ruang seni sebagai medium ekspresi. Mereka mengadakan pertunjukan monolog dan mural tentang perjuangan perempuan dalam menghadapi tekanan mental. Karya-karya tersebut dipamerkan di ruang publik sebagai bentuk edukasi sosial.

Kampanye digital seperti #NggakSalahBicara juga membantu mengubah persepsi publik. Kampanye ini menyebarkan informasi ringan, ilustrasi, serta testimoni penyintas secara anonim di media sosial. Banyak perempuan merasa lebih nyaman belajar dan memahami kondisi mereka lewat medium digital.

Stigma adalah bentuk kekerasan yang tak terlihat. Ia menutup mulut, menahan air mata, dan mengunci cerita di balik pintu rumah. Namun kini, kesadaran mulai tumbuh. Komunitas dan pemerintah mulai bergerak membuka ruang aman bagi perempuan untuk bicara, merasa, dan pulih.

Perubahan tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak. Perlu kolaborasi antara sistem kesehatan, institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat luas untuk menciptakan ekosistem yang ramah terhadap isu kesehatan mental. Penting juga untuk memastikan bahwa edukasi tidak berhenti di kota, tetapi menjangkau pelosok desa yang selama ini terpinggirkan.

Jika perempuan diberi ruang untuk sehat secara mental, maka ia akan tumbuh menjadi individu yang kuat, keluarga yang harmonis, dan masyarakat yang lebih tangguh. Seperti pepatah Jawa, “memayu hayuning bawana”-merawat keindahan dan keseimbangan dunia, dimulai dari merawat diri sendiri. (Rahma Hairunnisa Regita Putri, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *