Ketika Korban Dibungkam, Pelaku Dilindungi

Oleh: Sesa Malinda, Universitas Cendekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Setiap kali seorang penyintas kekerasan seksual memberanikan diri untuk berbicara, dunia seakan menoleh bukan untuk mendengarkan, tetapi untuk menghakimi. Alih-alih menerima empati dan perlindungan, korban justru disambut dengan serangkaian pertanyaan yang menyudutkan: “Kenapa tidak melawan?” “Kenapa pakai baju seperti itu?” “Apa kamu juga menikmatinya?”

Inilah wajah kelam dari budaya victim blaming, sebuah mekanisme sosial yang melanggengkan kekerasan dengan menggeser beban kesalahan kepada mereka yang seharusnya dilindungi.

Normalisasi dan stigmatisasi bukan hanya mempermalukan korban, tetapi juga menutup peluang bagi mereka untuk mencari keadilan. Ketika korban dianggap sebagai pembuat aib, bukan penyintas, maka laporan kekerasan seksual menjadi beban tambahan yang memperdalam luka. Dalam banyak kasus, korban memilih bungkam bukan karena tidak tahu haknya, tetapi karena tahu persis bahwa sistem dan masyarakat tidak berada di pihaknya.

Bila kita ingin memutus rantai impunitas ini, langkah pertama adalah berhenti menyalahkan korban. Sudah saatnya kita berpihak, bukan menghakimi. Karena diamnya korban bukan tanda lemahnya mereka, tetapi potret nyaring dari ketidakadilan yang belum kita ubah.

Korban diubah jdi tersangka sosial 

Ketika seorang perempuan berani melapor bahwa dirinya menjadi korban kekerasan seksual, dunia tidak serta merta memeluknya. Yang terjadi justru sebaliknya dimana ia dipelototi, diinterogasi, dan disidang oleh publik, bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk mencari-cari alasan agar dia tidak dipercaya, dimana korban diubah menjadi tersangka sosial.

BACA JUGA:

Dalam banyak kasus, masyarakat bertanya “kenapa dia tidak menolak?” bukan “kenapa pelaku melanggar?” Alih-alih fokus pada kekerasan, publik lebih tertarik membedah pakaian korban, jam kejadian atau riwayat pergaulannya.

Penelitian dari RAINN (Rape, Abuse & Incest National Network) mencatat bahwa 2 dari 3 kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan karena korban takut tidak akan dipercaya atau disalahkan. Di Indonesia, Laporan CATAHU Komnas Perempuan 2023 menunjukkan bahwa dari ribuan kasus kekerasan seksual yang diterima, hanya sebagian kecil yang dilaporkan dan lebih sedikit lagi yang berujung ke keadilan.

Ketakutan korban bukan irasional, mereka menyaksikan sendiri bagaimana korban kekerasan seksual kerap dipermalukan, bahkan diadili oleh media dan netizen. Emma Watson pernah berkata bahwa silence is a form of oppression. Dan memang benar bahwa diam bukan karena tidak memiliki suara, tetapi karena suara mereka selalu dibungkam. Di mata masyarakat, pelaku dapat ‘direhabilitasi’ citranya, tetapi korban harus menanggung beban aib seumur hidup.

Angelina Jolie, aktivis untuk hak-hak perempuan di wilayah konflik, menyoroti bahwa kekerasan seksual bukan hanya senjata perang, tetapi senjata sosial. Kita hidup dalam masyarakat yang lebih takut pada skandal daripada pada kekerasan itu sendiri. Itulah mengapa institusi sering menutup-nutupi kasus, dan korban malah dikeluarkan dari sekolah, kampus, atau pekerjaan.

Bila sistem hukum masih lambat dan masyarakat masih penuh stigma, maka kita semua, media, keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan institusi, memiliki tugas besar, yaitu berhenti menyalahkan korban dan mulai menyalahkan budaya yang membungkam mereka, sebab tidak ada keadilan jika korban terus menjadi tersangka sosial.

Stigma sebagai aib, bukan penyintas

Menjadi korban kekerasan seksual bukan hanya tentang menghadapi pelaku, tetapi juga menghadapi dunia yang memalingkan muka. Korban kerap tidak dipandang sebagai penyintas yang layak mendapat keadilan dan pemulihan, melainkan sebagai “aib” yang mencoreng keluarga, komunitas, bahkan lembaga tempatnya berada. Inilah wajah lain dari kekerasan yang jarang dibicarakan, stigma sosial yang membungkam dan melumpuhkan.

Di banyak kasus, korban justru menjadi pihak yang dikucilkan, alih-alih diberikan ruang aman untuk bersuara, ia dianggap membawa malu. Padahal kekerasan seksual adalah kejahatan, bukan kesalahan moral si korban. Riset oleh Indonesian Feminist Journal (Vol. 7, 2021) mencatat bahwa perempuan yang melaporkan kekerasan seksual sering dipaksa bungkam dengan alasan menjaga nama baik keluarga atau institusi. Bahkan, banyak yang dikeluarkan dari sekolah, kehilangan pekerjaan, atau dikucilkan oleh lingkungannya, seperti ditunjukkan oleh laporan Komnas Perempuan dalam CATAHU 2023.

Stigma ini tidak muncul dari ruang hampa, ia lahir dari budaya patriarkal yang lebih mementingkan kehormatan laki-laki dan institusi dibandingkan keselamatan perempuan. Dalam masyarakat seperti ini, perempuan yang bersuara justru dicurigai seperti “benarkah ia diperkosa?” atau “jangan-jangan dia menikmatinya?”. Pernyataan-pernyataan kejam seperti ini adalah bentuk lain dari kekerasan yang membungkam korban sebelum sempat berbicara.

Angelina Jolie dalam kampanyenya bersama UNHCR menegaskan bahwa stigma adalah perpanjangan dari kekerasan itu sendiri. Ia membuat korban tidak hanya merasa kotor, tetapi juga sendirian. Sementara Emma Watson melalui kampanye HeForShe mengingatkan bahwa selama masyarakat lebih fokus pada ‘apa yang dikenakan korban’ daripada ‘apa yang dilakukan pelaku’, maka keadilan akan terus tertunda.

Kita harus berani membalik narasi bahwa berbicara adalah keberanian, bukan aib, bahwa menjadi penyintas adalah bentuk perlawanan, bukan tanda kehancuran. Dan bahwa tugas kita sebagai masyarakat adalah bukan menutupi suara mereka, tapi memperkuatnya. Karena jika stigma tetap dibiarkan, maka luka akan diwariskan, bukan disembuhkan.

Ketika seorang korban kekerasan seksual memilih diam, publik sering terburu-buru menilai seperti “Kalau benar, kenapa baru bicara sekarang?”, “Kenapa gak teriak waktu itu?”, atau bahkan “Mungkin dia cuma cari perhatian.” Padahal, diamnya korban bukanlah bentuk kelemahan pribadi, tetapi akibat dari sistem yang secara kolektif mencabut hak mereka untuk bersuara. Diam itu dibentuk oleh rasa takut, trauma, stigma, dan kegagalan institusi.

Emma Watson pernah menyampaikan bahwa sistem yang tidak memihak akan selalu membuat perempuan merasa ragu untuk bersuara. Dan hal itu yang sering terjadi. Ketika korban ingin melapor, ia dihadapkan dengan aparat yang dingin, mekanisme hukum yang kaku, dan lingkungan yang menganggap peristiwa tersebut sebagai “masalah internal” atau “urusan keluarga”.

Laporan Komnas Perempuan dalam CATAHU 2023 menunjukkan bahwa banyak korban justru mengalami reviktimisasi saat melapor, diperiksa seperti pelaku, dipertanyakan niatnya, hingga dipaksa membuktikan bahwa ia benar-benar “tidak menikmati” kekerasan yang terjadi.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya implementasi UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Banyak aparat penegak hukum belum paham perspektif korban. Pendamping hukum, psikolog, dan layanan pemulihan pun belum merata. Menurut SAFEnet dan Lembaga Bantuan Hukum APIK, kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan secara digital justru kerap diabaikan atau ditolak karena dianggap “tidak cukup bukti fisik”.

Angelina Jolie dalam advokasinya untuk korban kekerasan seksual di zona konflik menyebutkan bahwa keberanian untuk bersuara membutuhkan lebih dari sekadar niat, ia membutuhkan sistem yang memelihara keberanian tersebut. Bila yang tersedia hanya pelecehan lanjutan, ketidakpercayaan, dan intimidasi, maka diam akan tampak sebagai pilihan yang paling aman.

BACA JUGA TULISAN LAINNYA:

Diamnya korban adalah suara yang terbungkam oleh kekuasaan, budaya patriarki, dan hukum yang masih pincang. Maka tugas kita bukan mendesak korban untuk bicara, tetapi membangun sistem yang layak untuk didengar. Kita tidak dapat menuntut korban melapor jika kita belum menjamin bahwa suara mereka akan dilindungi, bukan dihakimi.

Victim blaming adalah kekerasan lanjutan

Bayangkan luka yang belum sembuh, lalu dituding sebagai kesalahanmu sendiri, itulah yang dialami banyak korban kekerasan seksual. Ketika seharusnya mendapat perlindungan dan empati, yang mereka terima justru adalah pertanyaan penuh tuduhan seperti “Kenapa kamu pakai baju seperti itu?”, “Kenapa kamu ikut dia?”, “Kenapa baru cerita sekarang?” Inilah bentuk kekerasan lanjutan yang jauh lebih kejam karena tidak datang dari pelaku pertama, melainkan dari masyarakat yang seharusnya melindungi. Victim blaming bukan sekadar kata-kata yang menyakitkan, tetapi sebuah sistem pembungkaman yang terorganisir dan dilegalkan oleh norma sosial.

Emma Watson pernah menekankan bahwa selama kita masih menyalahkan korban atas kekerasan yang menimpanya, kita sedang memberi ruang aman bagi pelaku untuk mengulangi perbuatannya. Dan benar saja, dalam laporan Komnas Perempuan CATAHU 2023, banyak korban mengaku memilih diam karena takut disalahkan atau dianggap mempermalukan keluarga. Bahkan, menurut Indonesia Judicial Research Society, dalam banyak proses hukum, pertanyaan yang diajukan pada korban justru lebih menyerupai interogasi moral ketimbang upaya pencarian keadilan. Sementara itu, pelaku dengan mudah berlindung di balik status sosial, kekuasaan, atau reputasi institusi.

Angelina Jolie, dalam kampanyenya bersama Preventing Sexual Violence Initiative, menyoroti bahwa victim blaming adalah salah satu hambatan utama pemulihan trauma korban. Ia menyebutnya sebagai “a violence that continues in whispers, but wounds like screams.” Kita sedang melanggengkan siklus impunitas ketika setiap suara korban dianggap terlalu bising, terlalu mencurigakan, terlalu “bermasalah”.

Sudah saatnya kita akui bahwa victim blaming bukan reaksi spontan, tetapi refleksi dari budaya patriarki yang mendewakan kontrol laki-laki dan meremehkan otoritas tubuh perempuan. Setiap kali kita menyalahkan korban, kita sedang membela pelaku. Maka tugas kita bukan hanya mengutuk kekerasannya, tetapi mencabut akar budayanya. Kita butuh sistem hukum yang berpihak, ruang sosial yang aman, dan bahasa publik yang memanusiakan penyintas. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *