Sekolah Paksa Pakai Jilbab, Jaringan Masyarakat Sipil Desak Disdikpora DIY Beri Sanksi Tegas

beritabernas.com – Jaringan Masyarakat Sipil mendesak Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpor) DIY agar menerapkan sanksi yang berat dan tegas terhadap sekolah negeri yang terbukti memaksa siswa memakai jilbab.

Selain itu, Jaringan Msyarakat Sipil yang fokus pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan itu mendesak Disdikpora DIY untuk membuat aturan tegas tentang larangan pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah negeri.

Desakan itu disampaikan Jaringan Masyarakat Sipil terkait adanya dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul, DIY, terhadap seorang siswi baru yang mengakibatkan siswi tersebut mengalami depresi.

Jaringan Masyarakat Sipil yang terdiri dari lembaga dan individu yakni Youth, Interfaith and Peace (YIP) Center, Solidaritas Perempuan Kinasih, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta (AJI Yogyakarta), Yusnita Ike Christanti, Seknas Jaringan GUSDURian, Koalisi Lintas Isu DIY
Kulon Progo Bergerak, Jaringan Inklusi Kulon Progo (Jarik Rogo), Komunitas Dialog Damai (KDD)
Komunitas GUSDURian Yogyakarta dan Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius (PaPPIrus) menyampaikan pernyataan sikap yang dikirim kepada termasuk beritabernas.com.

Baca berita terkait:

Rahmat Al-Barawi, salah satu narahubung anggota Jaringan Masyarakat Sipil yang dihubungi beritabernas.com, Selasa 2 Agustus 2022, membenarkan pernyataan sikap Jaringan Masyarakat Sipil tersebut.

Dalam pernyataan yang berisi 9 poin itu,Jaringan Masyarakat Sipil juga mendesak Pemerintah DIY untuk menyediakan layanan pendampingan psikologi hingga pulih bagi siswa yang mengalami depresi.

Selain itu, Jaringan Masyarakat Sipil juga mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk turun tangan mengatasi pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri Yogyakarta. Mereka mengecam pemaksaan berjilbab di sekolah-sekolah negeri karena bertentangan dengan kedaulatan perempuan atas pikiran, tubuh, ruang gerak, ekspresi dan keyakinan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 28E dan pasal 29, Piagam Deklarasi HAM, Deklarasi HAM 1948, ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dan CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Against Women).

Mereka juga meminta agar menghentikan kontrol tubuh para siswa, khususnya perempuan, dengan dalih apa pun, termasuk dalih memperkuat moralitas serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan para siswa di sekolah-sekolah negeri.

Dinas Pendidikan juga diminta menghentikan surat edaran berisi kewajiban siswa mengenakan jilbab pada tahun ajaran baru. Sebab, surat edaran itu kerap dijadikan alasan oleh sekolah sebagai imbauan bukan pemaksaan.

Selain itu, mendorong sekolah ramah anak dan menghargai prinsip keberagaman dan inklusivitas. Mereka juga mendesak Balai Pendidikan Menengah untuk melakukan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap pegawai/ guru sekolah yang melakukan pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri.

Seperti diberitakan sebelumnya, peristiwa ini bermula dari guru bimbingan konseling, wali kelas dan guru agama yang diduga memaksa siswa memakai jilbab di ruangan guru BK pada Selasa 26 Juli 2022. Guru BK tersebut memakaikan jilbab kepada siswa saat menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah.

Setelah itu, siswa tersebut mengurung diri dan menangis di toilet selama satu jam. Kini, siswa itu depresi, lebih banyak mengurung diri di kamar dan tidak mau ke sekolah. Ia kemudian mengadukan masalah tersebut ke lembaga Ombusdman RI DIY.

Kasus terulang

Dalam catatan Jaringan Masyarakat Sipil, kasus pemaksaan memakai jilbab bagi siswi sekolah negeri di DIY berulang kali terjadi di semua tingkatan atau jenjang sekolah.

Pada 2017, menurut Jaringan Masyarakat Sipil, SMP 7 dan SMPN 11 mengeluarkan surat edaran yang mengharuskan siswi Muslim mengenakan jilbab dalam penerimaan siswa siswi baru. Tapi, mereka berdalih pemakaian jilbab itu hanya imbauan.

Selain itu, pemaksaan pemakaian jilbab di SD Negeri Karangtengah III Kabupaten Gunungkidul terjadi pada 2019. Sekolah tersebut mengeluarkan surat edaran yang berisi kewajiban siswa kelas I mengenakan seragam Muslim untuk tahun pelajaran 2019/2020.

Setelah mendapatkan protes dari masyarakat dan ditangani Ombudsman Republik Indonesia perwakilan DIY, surat edaran SD Negeri tersebut dicabut.

“Terulangnya peristiwa tersebut menggambarkan Pemerintah DIY tidak serius menangani praktek intoleransi di sekolah,” demikian antara lain isi pernyataan sikap Jaringan Masyarakat Sipil tersebut. (lip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *