Pemimpin Sekolah Katolik Perlu Menguasai Komunikasi, Struktur Paradigma dan Implementasinya

beritabernas.com – Komunikasi merupakan salah satu aspek penting yang harus dikuasai oleh pemimpin sekolah-sekolah Katolik, baik struktur paradigma maupun implementasinya. Selama ini komunikasi sering disepelekan padahal merupakan sesuatu yang sangat esensial.

Disebut esensial karena komunikasi ada pada setiap aspek pekerjaan dan pembelajaran, sementara disepelekan karena komunikasi kerap dianggap sebagai sebatas omong-omong.

Masalah komunikasi ini menjadi salah satu materi yang disampaikan dalam School Leadership Camp (SLC). batch 5 tahap 2 yang berlangsung di Semarang, Jawa Tengah, pada Jumat-Minggu, 3-5 Oktober 2025. SLC atau sekolah calon kepala sekolah Katolik ini diadakan oleh Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia (YKTI) dan Yayasan Insan Sekolah Kasih (YISK). Kali ini, SLC diikuti 33 guru dari 6 keuskupan di Indonesia dengan 3 fasilitator dari YKTI mendampingi pengolahan yakni HJ Sriyanto, Ignaz Kingkin dan AA Kunto A. Sementara Romo Singgih Guritno dan Ferdinand Hindiarto secara khusus melambari aspek spiritualitas pendidikan katolik dan spiritualitas pemimpin.

Peserta SLC melakukan praktek komunikasi seperti mendengarkan dengan seksama, menyampaikan dengan jelas dan mengamati dengan cermat. Foto: Dok panitia

Pada SLC batch 5 tahap 2 ini, peserta diajak untuk bersama-sama menguasai aspek komunikasi. Para calon kepala sekolah digodog betul tentang komunikasi, mulai dari komunikasi personal hingga kolegial. Jabarannya meliputi komunikasi efektif, komunikasi organisasi, supervisi dengan coaching, counseling, dan mentoring, hingga monitoring dan evaluasi. Topik komunikasi ini dihadirkan sebagai paradigma fundamental hingga alat kerja (tools) operasional.

Bauran materi tersebut diolah secara mendalam, terstruktur, dan terukur supaya sebagai “pemimpin penggerak”, peserta keluar dari pemahaman sempit bahwa komunikasi sekadar bagaimana pesan bisa sampai ke penerima pesan. Padahal itu tidak cukup. Komunikasi juga tidak sekadar dianggap berhasil ketika penerima pesan memberikan umpan balik kepada pemberi pesan. Itu juga tidak cukup.

Sebagai “pemimpin penggerak”, calon kepala sekolah perlu sampai kepada kedalaman komunikasi, yakni bagaimana penerima pesan mau menjadi bagian dalam keseluruhan dan keutuhan pesan. Ini esensi komunikasi yang berakar dari kata communicare (Latin).

Peserta SLC melakukan bedah dokumen dan selaraskan dengan paradigma pemimpin penggerak. Foto: Dok panitia

Mengapa harus sampai pada pemahaman dasar ini? Karena guru yang lebih-lebih calon kepala sekolah, bukan sekadar agen pengantar pesan, melainkan dirinya sendiri adalah pesan. Sebagai pesan yang hidup, guru diminta betul-betul hadir utuh lewat pikiran, ucapan, dan tindakan. Di tahap berikutnya, sebagai kepala sekolah, pikiran, ucapan, dan tindakan tersebut terwujudnyatakan dalam konsep (visi, misi, nilai dasar) dan laku organisasi yang dipimpinnya.

Mater-materi tersebut sudah diolah di tahap pertama, 5-7 September 2025, lalu. Peserta sudah dibekali materi pipa kepemimpinan (pipeline leadership) yang menghubungkan visi-misi dan nilai dasar lembaga dengan profil guru dan lulusannya. Materi ini penting supaya guru paham pentingnya menyamakan visi pribadi dengan Lembaga dan mampu mengambil keputusan yang tepat di waktu dan proses yang tepat pula.

Kompetensi

Menurut HJ Sriyanto, program yang dijalankan lembaga sekolah akan sangat berdampak apabila jabatan struktural didasarkan pada level kompetensi. Pernyataan ini berangkat dari temuan bahwa banyak kepala sekolah yang menjabat tanpa kompetensi organisasi. Biasanya kepala sekolah dipilih oleh yayasan atas dasar performa pribadi sebagai guru yang baik dan berprestasi. Padahal, tugas kepala sekolah dan guru bukan hanya berbeda melainkan menuntut pemahaman kepemimpinan dan manajerial yang tinggi.

Baca juga:

Untuk itu, HJ Sriyanto mengenalkan apa yang disebut kanvas tanggung jawab kerja. Isinya meliputi nama jabatan, fungsi utama jabatan, kewenangan strategis, hingga penentuan indikator keberhasilan. Sangat detail dengan ukuran-ukuran yang transparan dievaluasi.

Bagi lembaga, pipa kepemimpinan ini bukan hanya menguntungkan karena distribusi wewenang dan alur keputusan jelas, melainkan juga mempermudah memotret jalur suksesi kepemimpinan. Ini yang kerap bolong di lembaga sekolah: siapa yang meneruskan dan bagaimana menyiapkannya.

Dengan pemahaman dan kesadaran ini, tugas sebagai kepala sekolah tak semata dianggap sebagai pekerjaan namun lebih-lebih sebagai panggilan perutusan. Dokumen-dokumen yang disusun rapi dan detail juga kemudian tak dirasa sebagai beban administrasi yang memberatkan, melainkan justru dituntaskan untuk meringankan jalannya lembaga yang hadir untuk murid-muridnya.

Simulasi dengan bermain memudahkan peserta mempraktikkan konsep dan strategi. Foto: Dok panitia

SLC memang pelatihan yang spartan dengan durasi panjang, intensitas rapat, dan kualitas mendalam. Setiap batch dibagi dalam 3 tahap pertemuan tatap muka. Setiap tatap muka 3 hari. Sebelum tahap pertama, peserta menerima pra-wacana sebagai sumber belajar bersama. Mereka juga wajib mengirimkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Kedua tiket itu syarat mereka diperbolehkan hadir.

Pada setiap batch, mereka beroleh pembekalan materi. Pembekalan itu berangkat dari kebutuhan peserta yang ditangkap lewat tugas yang mereka kirimkan. Artinya, pelatihan ini empiris-kuratif, yakni perubahan berangkat dari aksi nyata.

Selepas pelatihan tiap tahap, peserta juga mendapatkan penugasan, terutama bagaimana perubahan diimplementasikan di sekolah. Kendala maupun kelancaran implementasi tersebut menjadi umpan balik untuk materi pada tahap tatap muka berikutnya. Begitu sampai tuntas. (AA Kunto A, Tim Fasilitator Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *