Oleh: Laurensius Bagus, Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
beritabernas.com – Pagi belum benar-benar terang di pedalaman Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari balik kabut yang menggantung di lembah, langkah-langkah kecil terdengar menyusuri jalan tanah. Sekelompok anak berbaris, membawa tas lusuh dan bekal seadanya. Mereka bukan sedang bermain, melainkan menuju sekolah yang letaknya beberapa kilometer dari rumah. Di pundak kecil mereka, tertanggung harapan keluarga dan masa depan yang sering terasa jauh.
Kisah seperti ini adalah kenyataan sehari-hari di banyak wilayah NTT, dari Manggarai hingga Sumba, dari Belu hingga Alor. Di daerah-daerah itu, jarak menjadi penghalang paling nyata dalam mewujudkan pendidikan. Jalan yang rusak, jembatan yang tak pernah dibangun, dan cuaca ekstrem yang sulit diprediksi membuat perjalanan ke sekolah menjadi ujian yang berat bagi anak-anak desa.
Masalah jarak ini bukan sekadar soal geografis. Ia adalah cermin dari ketimpangan pembangunan. Banyak desa di NTT tidak memiliki sekolah dasar sendiri. Satu sekolah sering kali harus melayani beberapa desa sekaligus. Akibatnya, anak-anak harus berjalan antara lima hingga tujuh kilometer bahkan lebih, setiap hari. Di musim hujan, jalan berubah menjadi kubangan lumpur. Di musim kemarau, panas terik membakar kulit mereka sepanjang perjalanan.
Secara administratif, pemerintah memang telah mencatat kemajuan: angka partisipasi sekolah dasar di NTT meningkat setiap tahun. Namun, di balik grafik itu tersembunyi fakta pahit. Ribuan anak masih berjuang hanya untuk bisa hadir di kelas. Tidak sedikit yang akhirnya berhenti sekolah karena jarak yang terlalu jauh, atau karena harus membantu orang tua bekerja di ladang. Dalam konteks keluarga miskin, pendidikan kerap menjadi pilihan yang dikalahkan oleh kebutuhan hidup sehari-hari.
Baca juga:
- Penyitaan Buku oleh Polisi Tanda Kekhawatiran Berlebihan terhadap Gerakan Sipil
- Agraria dan Demokrasi: Tanah untuk Rakyat atau Modal?
- Ketika Pemerintah Papua Selatan Menjual Hak Adat Demi Ambisi Pusat
Masalah jarak dan kemiskinan ini saling memperkuat. Ketika biaya transportasi tak terjangkau, ketika alas kaki pun kadang tak ada, anak-anak memilih menyerah. Banyak orang tua sebenarnya ingin anak mereka bersekolah, tetapi kenyataan ekonomi dan geografis tak memberi ruang. Maka, pendidikan di banyak tempat di NTT berhenti di jenjang dasar, bahkan sebelum itu.
Ironinya, di saat pemerintah pusat mendorong digitalisasi dan transformasi pendidikan, masih banyak sekolah di NTT yang bahkan kekurangan guru tetap. Di satu sisi, negeri ini bicara tentang kelas pintar dan kurikulum digital; di sisi lain, anak-anak di pedalaman NTT masih belajar di ruang tanpa papan tulis yang layak, tanpa listrik, bahkan tanpa kursi untuk duduk.
Pendidikan di NTT menghadapi tantangan struktural yang tak selesai hanya dengan pembangunan sekolah baru. Infrastruktur dasar adalah fondasi utama: jalan, jembatan, air bersih, dan listrik. Tanpa itu semua, akses pendidikan tetap sulit dijangkau. Di beberapa kecamatan terpencil, guru harus berjalan kaki berjam-jam untuk tiba di sekolah. Ada yang tinggal di bangunan sekolah selama berhari-hari karena jarak dari rumah terlalu jauh untuk pulang setiap hari.
Namun keterbatasan itu tidak memadamkan semangat. Banyak anak tetap datang ke sekolah meski dengan kaki telanjang, membawa buku yang hampir habis halamannya. Guru-guru di pedalaman tetap mengajar dengan gaji minim, kadang tanpa bayaran berbulan-bulan. Ketabahan mereka menjadi penopang pendidikan di wilayah yang dilupakan pembangunan. Tapi ketabahan bukan solusi.
Negara tidak boleh menyerahkan urusan pendidikan pada ketangguhan anak-anak atau pengabdian guru. Semangat tidak bisa menggantikan kebijakan yang lemah. Ketika anak harus menempuh kilometer panjang demi sekolah, itu bukan bukti keberanian-itu bukti bahwa negara belum hadir sepenuhnya. Pendidikan seharusnya menjadi hak yang mudah diakses, bukan perjuangan yang menguras tenaga setiap hari.
Pemerintah daerah semestinya berani meninjau ulang pola pembangunan sekolah. Pusat-pusat pendidikan tidak bisa hanya dibangun di lokasi yang mudah dijangkau oleh kendaraan dinas. Keadilan pendidikan berarti membangun justru di wilayah yang sulit. Sekolah satelit atau kelas jauh bisa menjadi solusi sementara, agar anak-anak tidak perlu menempuh jarak ekstrem.
Selain itu, insentif bagi guru di daerah terpencil perlu diperkuat. Guru yang bersedia bertugas di wilayah pedalaman harus mendapat jaminan karier dan kesejahteraan yang lebih pasti. Sebab tanpa guru yang mau bertahan, pembangunan sekolah tak akan berarti apa-apa. Pendidikan di NTT tidak kekurangan semangat, tapi kekurangan dukungan nyata dari sistem.
Lebih jauh, keberpihakan pemerintah harus tampak dalam anggaran. Selama ini, banyak program pendidikan berhenti pada proyek besar yang tidak menyentuh desa. Dana lebih banyak terserap untuk pengadaan fasilitas di kota, sementara sekolah di pelosok tetap berdinding papan. Padahal, ketimpangan pendidikan di NTT tidak akan berkurang tanpa distribusi sumber daya yang adil.
Pendidikan di wilayah seperti NTT seharusnya dilihat sebagai urusan kemanusiaan, bukan sekadar angka dalam laporan. Di balik setiap anak yang berjalan jauh ke sekolah, ada cerita tentang tekad, kemiskinan, dan ketidakadilan. Mereka tidak menuntut fasilitas mewah; mereka hanya ingin belajar tanpa harus menempuh perjalanan sejauh itu.
Negara punya kewajiban moral untuk memastikan itu terjadi. Karena ukuran kemajuan pendidikan bukan pada megahnya sekolah di kota, melainkan pada sejauh mana negara sanggup menghadirkan sekolah di setiap desa terpencil.
Di jalan-jalan tanah yang sepi itu, anak-anak NTT terus melangkah. Mereka tahu bahwa sekolah adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari kemiskinan. Tapi mereka juga tahu bahwa setiap langkah panjang menuju sekolah adalah pengingat: keadilan pendidikan di negeri ini masih harus diperjuangkan-selangkah demi selangkah. (*)
There is no ads to display, Please add some