Oleh: Maria Hildegardis Seran, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta
beritabernas.com – Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia selalu memperingati satu momen bersejarah yang menjadi tonggak lahirnya semangat kebangsaan yaitu Sumpah Pemuda. Pada tahun 1928, sekelompok pemuda dari berbagai suku, agama, dan daerah di Nusantara bersatu dalam satu ikrar monumental yakni bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.
Ikrar itu bukan sekadar simbol, melainkan pernyataan politis dan moral yang menegaskan lahirnya identitas nasional di tengah hegemoni kolonialisme dan keterpecahan etnis. Namun, hampir satu abad kemudian, pertanyaan kritis perlu diajukan: Masihkah kita memahami makna Sumpah Pemuda dalam konteks Indonesia hari ini di tengah gempuran budaya digital global yang tanpa batas?
Jika pada tahun 1928 Sumpah Pemuda menjadi pernyataan identitas melawan penjajahan, maka di zaman sekarang ini, penjajahan datang dalam bentuk baru yakni penjajahan budaya dan informasi. Era digital telah mengubah cara manusia berpikir, berinteraksi, bahkan memandang dirinya sendiri.
Identitas nasional yang dulu dibangun atas dasar solidaritas, sejarah, dan perjuangan kini perlahan terkikis oleh identitas digital yang cair dan konsumtif. Di media sosial, batas antara lokal dan global nyaris hilang. Seperti yang kita ketahui Pemuda Indonesia kini lebih mengenal budaya-budaya asing seperti budaya Korea, bahasa Inggris, atau tren gaya hidup Barat dibanding budaya bangsanya sendiri.
Fenomena ini bukanlah sekadar soal selera, melainkan persoalan arah identitas. Ketika pemuda lebih bangga meniru gaya bicara influencer asing daripada memahami sejarah perjuangan bangsanya, maka kita sedang menghadapi krisis identitas nasional. Nasionalisme yang dulu menjadi roh Sumpah Pemuda kini berisiko tergantikan oleh nasionalisme virtual yang lebih peduli pada citra diri di layar daripada realitas sosial di sekitarnya.
Dunia digital dan erosi nilai-nilai kebangsaan
Budaya digital membawa kemudahan luar biasa seperti akses informasi, peluang ekonomi, dan kebebasan berekspresi. Namun di sisi lain, ia juga membawa arus nilai-nilai baru yang tidak selalu selaras dengan karakter bangsa seperti komentar-komentar negatif di akun media sosial seseorang ( pembulian), penyebaran berita hoaks yang memecah belah antar pihak, misalnya penyebaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan golongan.Algoritma media sosial mendorong budaya instan, narsisme, dan ketergantungan pada validasi publik. Nilai-nilai seperti gotong royong, sopan santun, empati, dan solidaritas yang dulu menjadi jati diri bangsa perlahan mulai hilang.
Sumpah Pemuda 1928 lahir dari semangat bersama para pemuda yang mengesampingkan ego daerah demi cita-cita bersama. Sebaliknya, pemuda masa kini hidup dalam budaya self centered, di mana pengakuan personal atau pribadi lebih penting daripada kontribusi sosial.
Fenomena flexing, cancel culture, hingga hate speech di ruang digital menunjukkan bahwa nilai persaudaraan yang menjadi inti semangat Sumpah Pemuda kini semakin sulit ditemukan.
Baca juga:
- Psikologi Sosial dan Fenomena Intoleransi
- Psikologi Gen Z Memaknai Nilai Pancasila di Era Digital
- Tata Kelola Sumber Daya Manusia Indonesia Berbasis Talenta
Flexing merupakan suatu sikap atau perilaku yang memamerkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup mewah di media sosial untuk mendapatkan pujian, pengakuan dari publik. Perilaku ini bisa membuat munculnya rasa iri sehingga masing-masing sibuk membandingkan hidupnya satu sama lain, dan sering kali menjadi cara untuk menciptakan citra palsu di dunia maya sehingga diakui oleh publik tanpa melihat langsung di kehidupan nyata.
Sementara cancel culture adalah fenomena di mana seseorang dihapus secara sosial karena pandangannya dianggap salah atau menyinggung. Di satu sisi, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Namun di sisi lain, cancel culture sering berubah menjadi kekerasan simbolik dan intoleransi baru. Contohnya adalah jika terjadi suatu masalah orang tidak lagi berdialog untuk menanyakan sebab akibat terjadinya masalah tersebut melainkan langsung menghukum, kesalahan kecil diperbesar dan dihakimi tanpa ruang maaf, masyarakat terbelah antara pihak “yang benar” dan “yang salah,” tanpa jembatan adanya pemahaman.
Semangat Sumpah Pemuda lahir dari dialog antar perbedaan pemuda dari berbagai latar belakang yang bersatu karena mereka saling mendengar dan menerima perbedaan. Sedangkan Cancel cultur justru menolak nilai tersebut . Ia membunuh semangat musyawarah, mengganti empati dengan kebencian, dan menjadikan media sosial arena perpecahan moral. Akibatnya, nilai toleransi dan saling menghargai yang menjadi inti dari persaudaraan nasional semakin sulit dijumpai.
Hate speech atau ujaran kebencian kini menjadi salah satu penyakit terbesar di dunia digital. Berkedok kebebasan berpendapat, banyak orang menggunakan media sosial untuk saling menghina, merendahkan, bahkan menebar kebencian berdasarkan agama, etnis, dan pilihan politik. Hal ini secara langsung menghancurkan makna persaudaraan kebangsaan.
Jika pada tahun 1928 para pemuda berjuang untuk menghapus perpecahan antarsuku, maka zaman sekarang sebagian pemuda justru ikut memperuncing perpecahan baru bukan karena penjajah, tapi karena keyboard dan opini di layar digital.
Jika dulu para pemuda berjuang melawan penjajah yang kasat mata, tetapi zaman sekarang tantangannya lebih kompleks yakni melawan penjajahan algoritma, budaya konsumeristik, dan arus informasi yang membentuk kesadaran palsu.
Krisis representasi budaya dan bahasa
Salah satu pilar Sumpah Pemuda adalah pengakuan terhadap “bahasa persatuan, yakni Bahasa Indonesia.” Bahasa adalah identitas. Namun, di dunia digital, penggunaan Bahasa Indonesia kian terfragmentasi oleh campuran bahasa asing dan slang global yang populer di media sosial.
Zaman sekarang banyak anak muda lebih mahir menulis caption dalam bahasa Inggris ketimbang menulis opini kritis dalam bahasa Indonesia. Bahkan, sebagian menganggap penggunaan bahasa Indonesia yang baku sebagai sesuatu yang kaku atau tidak keren.
Fenomena ini mengindikasikan krisis representasi budaya ketika bahasa sebagai simbol persatuan kehilangan daya kohesifnya. Padahal, kekuatan bahasa Indonesia terletak pada kemampuannya menjadi jembatan lintas suku dan daerah, fondasi yang membuat bangsa ini berdiri sebagai satu kesatuan.
Jika pemuda kehilangan kebanggaan terhadap bahasanya, maka lambat laun akan hilang pula rasa kebanggaan terhadap bangsanya.
Dalam konteks dunia modern, bahasa Inggris sangat penting dan nyaris wajib dipelajari. Alasan sederhananya adalah bahasa Inggris merupakan bahasa internasional digunakan dalam perdagangan, pendidikan tinggi, teknologi, sains, dan diplomasi, dan lain sebagainya. Namun, kita sebagai warga Indonesia harus tetap menguasai bahasa kita yakni bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Selain itu, budaya lokal semakin tersingkir oleh dominasi budaya global. Seperti Musik tradisional, tarian daerah, dan sastra lokal sudah jarang ditampilkan dibandingkan dengan konten viral di TikTok, YouTube dan lain sebagainya. Padahal, identitas bangsa tidak dapat dipertahankan hanya dengan menghafal sejarah, tetapi harus dihidupi melalui ekspresi budaya yang hidup. Tanpa revitalisasi budaya lokal di ruang digital, Sumpah Pemuda hanya akan menjadi teks sejarah yang kehilangan makna aktualnya.
Era digital menumbuhkan fenomena yang disebut identitas cair yaitu identitas yang berubah-ubah tergantung pada platform, tren, dan komunitas daring yang diikuti seseorang. Dalam ruang virtual, setiap individu bebas membentuk persona digitalnya sendiri siapa pun bisa menjadi siapa saja.
Namun, kebebasan ini membawa konsekuensi serius, identitas kolektif sebagai bangsa perlahan menghilang. Kita hidup di era di mana “followers” lebih dihargai daripada kontribusi sosial, dan citra digital lebih penting daripada karakter moral.
Pemuda 1928 bersatu karena memiliki shared vision yaitu visi bersama tentang masa depan bangsa. Sementara pemuda zaman sekarang sering terjebak dalam shared distraction yaitu kesibukan yang seragam, tetapi tanpa arah. Mereka sibuk menanggapi tren, tetapi melupakan esensi peran historisnya sebagai agen perubahan sosial.
Krisis identitas bangsa di era digital bukanlah soal kehilangan budaya tradisional semata, tetapi hilangnya arah moral dan orientasi sosial. Kita menyaksikan generasi muda yang cerdas, kreatif, dan terkoneksi global, tetapi sering kali kehilangan makna ke Indonesiaan dalam kesehariannya.
Ironi terbesar pasca Sumpah Pemuda adalah ketika persatuan yang dulu diperjuangkan kini terpecah oleh politik identitas dan media digital menjadi alat penyebarannya yang paling efektif. Media sosial telah menjadi arena pertempuran ideologi, agama, dan etnis. Polarisasi politik beberapa tahun terakhir menunjukkan betapa mudahnya masyarakat Indonesia terbelah oleh narasi kebencian.
Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya identitas kebangsaan kita. Sumpah Pemuda menegaskan semangat “satu bangsa” di atas perbedaan, namun algoritma media sosial justru memperkuat segregasi yakni hanya berinteraksi dengan orang yang sepemikiran, menolak yang berbeda, dan menuding pihak lain sebagai musuh. Ruang digital yang seharusnya memperluas wawasan justru mempersempit empati.
Persatuan nasional tidak akan lahir dari ruang yang dipenuhi kebencian, fake news, dan ujaran kebencian. Maka, memperingati Sumpah Pemuda di era digital berarti melawan disinformasi dan menegakkan etika digital sebagai bentuk baru dari perjuangan kebangsaan.
Salah satu kunci untuk keluar dari krisis identitas bangsa di era digital adalah pendidikan karakter dan literasi digital yang kuat. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih terjebak dalam paradigma lama yakni mengajarkan Sumpah Pemuda sebagai hafalan, bukan sebagai nilai yang harus diinternalisasi. Kaum muda perlu diajak memahami makna Sumpah Pemuda bukan hanya dalam konteks sejarah, tetapi juga dalam konteks tantangan zaman yakni bagaimana menjadi pemuda Indonesia di dunia tanpa batas, tanpa kehilangan akar kebangsaannya.
Pendidikan nasional seharusnya menumbuhkan digital citizenship yakni kesadaran bahwa menjadi warga digital juga berarti menjadi bagian dari bangsa yang memiliki nilai, etika, dan tanggung jawab sosial.
Nasionalisme digital bukan berarti menolak globalisasi, tetapi menggunakannya untuk memperkuat posisi bangsa dalam pergaulan dunia. Kaum muda harus belajar menjadi global citizens with local roots yakni warga dunia yang tetap berakar pada nilai-nilai keindonesiaan.
Jalan menuju rekonstruksi identitas bangsa
Krisis identitas bangsa tidak dapat diselesaikan hanya dengan retorika, tetapi juga diperlukan langkah-langkah konkret untuk merevitalisasi semangat Sumpah Pemuda di tengah arus digitalisasi. Beberapa hal penting yang bisa dilakukan antara lain:
- Mendorong literasi budaya digital di kalangan pemuda, agar mereka mampu menyaring informasi dan menolak pengaruh budaya yang merusak nilai-nilai lokal.
- Mengintegrasikan nilai-nilai Sumpah Pemuda dalam kurikulum pendidikan modern tidak hanya sebagai materi sejarah, tetapi sebagai model kepemimpinan kolaboratif dan solidaritas sosial.
- Mendigitalisasi warisan budaya lokal melalui platform kreatif seperti musik, film, game, dan media sosial yang menampilkan kebanggaan terhadap budaya Indonesia.
- Menumbuhkan komunitas digital yang sehat, di mana dialog lintas identitas dan toleransi menjadi praktik nyata, bukan sekadar jargon.
- Membangun ekosistem media nasional yang berdaya saing, agar narasi kebangsaan tidak tertelan oleh dominasi budaya luar.
Langkah-langkah ini sangat penting agar Sumpah Pemuda tidak berhenti menjadi ritual seremonial, melainkan menjadi fondasi baru bagi pembentukan identitas bangsa di era digital.
Sumpah Pemuda adalah pernyataan eksistensial bahwa bangsa Indonesia lahir dari kesadaran kolektif untuk bersatu di tengah perbedaan. Kini, kesadaran itu diuji kembali bukan oleh senjata kolonial, melainkan oleh klik, algoritma, dan budaya global yang mengaburkan batas identitas.
Menjadi pemuda Indonesia di abad digital berarti berani bersikap kritis, kreatif, dan tetap berakar. Persatuan di masa kini tidak lagi diukur dari kesamaan bahasa atau wilayah, tetapi dari kesamaan nilai dan komitmen terhadap kemanusiaan dan kebangsaan.
Maka, memperingati Sumpah Pemuda di era digital bukan sekadar mengulang sejarah, melainkan menulis ulang maknanya dalam konteks zaman yang berubah. Kita membutuhkan generasi yang tidak hanya bangga menjadi bagian dari dunia global, tetapi juga sadar bahwa tanpa akar budaya dan jati diri, mereka hanyalah daun yang hanyut dalam arus.
Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa persatuan adalah kekuatan, dan identitas adalah harga diri bangsa. Kini, tugas kita adalah menjaga agar sumpah itu tidak hanya diucapkan, tetapi juga dihidupi di dunia nyata maupun di ruang digital. Karena di tengah segala gempuran budaya global, satu hal harus tetap kita yakini yakni selama pemuda Indonesia masih setia pada jati dirinya, Sumpah Pemuda tidak akan pernah mati. (*)
There is no ads to display, Please add some