Kita Berjuang Melawan Lupa, Bukan Lagi Mengangkat Senjata

Oleh: Maria Sertiana Naus, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta

beritabernas.com – Peringatan Hari Pahlawan 10 November sering datang dan pergi seperti ritual tahunan tanpa makna yang mendalam. Upacara baik di sekolah, kantor dan jalanan, digelar dengan khidmat.

Lagu “Gugur Bunga” berkumandang, doa-doa dipanjatkan dan karangan bunga diletakkan di taman makam pahlawan. Namun di balik seremonial itu, terselip pertanyaan sederhana, yaitu apakah kita masih benar-benar memahami makna menjadi pahlawan di zaman ini?

Perjuangan dahulu begitu nyata wujudnya. Para pejuang mengangkat senjata, menukar napas mereka dengan seonggok harapan bernama kemerdekaan. Mereka bertarung melawan penjajahan yang jelas kasat mata. Kini, tujuh puluh sembilan tahun sudah kita merdeka dan musuh itu tak lagi terlihat. Kita tidak lagi berperang melawan kolonialisme berseragam, melainkan melawan sesuatu yang jauh lebih halus, yaitu kelalaian, ketidakpedulian dan lupa.

Lupa pada sejarah, pada nilai perjuangan dan pada tanggung jawab untuk menjaga negeri ini tetap bermartabat. Lupa bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah abadi, melainkan amanah yang harus dijaga.

Sosiolog Benedict Anderson pernah menulis bahwa bangsa terbentuk dari imagined community yaitu sebuah kesadaran kolektif yang lahir dari ingatan bersama. Jika ingatan itu pudar, maka kebangsaan pun kehilangan maknanya.

Baca juga:

Di era serba cepat dan digital ini, banyak di antara kita terjebak dalam euforia dunia maya. Nasionalisme sering diukur dari seberapa sering seseorang mengunggah foto bendera, bukan dari sejauh mana ia peduli terhadap sesama. Kita hidup di zaman yang sibuk dengan dirinya sendiri zaman di mana kepedulian sering dikalahkan oleh kenyamanan pribadi.

Padahal, pahlawan masa kini tak selalu berperang di medan laga. Mereka bisa jadi guru di pelosok yang tetap mengajar dengan semangat meski gaji tak seberapa. Mereka bisa jadi tenaga kesehatan yang bertugas di daerah terpencil, relawan bencana yang bekerja tanpa sorotan kamera, atau petani yang terus menanam di tengah ancaman alih fungsi lahan.

Seperti kata Soe Hok Gie, “Nasionalisme bukanlah kata-kata besar, melainkan kerja-kerja kecil yang dilakukan dengan hati bersih.”

Kepahlawanan hari ini tidak diukur dari seragam atau medali, tetapi dari keberanian menjaga kejujuran di tengah godaan, dan kesetiaan berbuat baik di tengah sinisme sosial. Namun semangat itu perlahan memudar, terkikis oleh budaya instan dan haus pengakuan. Banyak orang lebih tergoda menjadi “viral” daripada menjadi bermanfaat. Media sosial yang seharusnya menjadi alat perjuangan justru menjelma panggung pencitraan. Maka pertanyaan itu kembali mengemuka, yaitu siapa sebenarnya yang kita perjuangkan hari ini? Diri sendiri, atau bangsa ini?

Hari Pahlawan seharusnya menjadi pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Kita memang tidak lagi melawan penjajah dari luar, tetapi kita masih harus berjuang melawan penjajahan dari dalam, seperti korupsi yang menular, intoleransi yang tumbuh diam-diam, dan ketidakadilan yang terus mengakar.

Melawan semua itu membutuhkan keberanian, kejujuran, dan empati nilai-nilai yang dulu diperjuangkan para pendiri bangsa, dan kini perlahan terkikis oleh pragmatisme zaman. Menjadi pahlawan hari ini mungkin tak lagi memerlukan darah, tetapi tetap membutuhkan keberanian hati, yaitu berani menolak suap, berani bersuara untuk kebenaran, berani memihak pada keadilan, dan berani peduli pada lingkungan serta sesama manusia.

Sejarawan Taufik Abdullah pernah mengatakan, “Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling banyak memiliki pahlawan, tetapi bangsa yang terus melahirkan semangat kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari.”

Pahlawan sejati tak hidup di masa lalu. Mereka hidup di antara kita di ruang kelas, di ladang, di rumah sakit, di media, dan di jalanan. Mereka hadir dalam wujud orang-orang yang menolak diam ketika melihat ketidakadilan. Tugas kita hanyalah satu, yaitu menjaga agar ingatan tentang mereka tidak padam. Sebab bangsa yang lupa pada nilai perjuangan akan kehilangan arah, seperti kapal yang berlayar tanpa kompas.

Maka pada peringatan Hari Pahlawan ini, mari berhenti sejenak dari hiruk pikuk layar dan menunduk dalam kehenigan. Bukan untuk sekadar mengenang, tetapi untuk meneladani. Karena perjuangan tidak pernah benar-benar usai, tapi hanya berganti wajah. Dan di tengah zaman yang kian sibuk dengan dirinya sendiri, barangkali perjuangan terbesar kita hari ini adalah menjaga agar tidak lupa menjadi manusia yang berjiwa pahlawan. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *