Kualitas Air Sungai Brantas Menurun, Rakernis Pusdal LH Jawa Bahas Penanganan Terpadu

beritabernas.com – Kualitas air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas terus menurun dan semakin mengkhawatirkan. Analisis berdasarkan hasil Online Monitoring (ONLIMO) tahun 2024-2025 yang dilakukan Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup (Pusdal LH) Jawa menunjukkan kenaikan sejumlah parameter pencemar seperti BOD, COD, TSS dan amonia. Analisis spasial berbasis citra satelit tersebut turut memperlihatkan meluasnya area tercemar dari hulu hingga hilir.

Merespons temuan tersebut, Pusdal LH Jawa menggelar Rapat Kerja Teknis Perlindungan dan Pengelolaan Sungai Brantas di Surabaya, Selasa 9 Desember 2025. Pertemuan yang berlangsung secara luring dan daring ini diikuti hampir 100 peserta dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, BBWS Brantas, Perum Jasa Tirta I, BP DAS Brantas–Sampean, akademisi dan pemerintah daerah dari 22 kabupaten/kota. Forum ini menjadi ruang sinkronisasi kebijakan serta perumusan langkah cepat pengendalian pencemaran.

Baca juga:

Dalam sambutan virtualnya, Kepala Pusdal LH Jawa Eduward Hutapea mengingatkan bahwa tekanan lingkungan di sejumlah wilayah Jawa kian mengkhawatirkan. “Terjadinya perubahan tata guna lahan atau alih fungsi lahan di banyak lokasi mengakibatkan menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga menjadi rawan bencana apabila terjadi cuaca ekstrim,” ujar Eduward.

Eduward menekankan pentingnya menjaga DAS Brantas yang ditetapkan sebagai wilayah strategis swasembada pangan, air dan energi dalam Perpres Nomor 12/2025. “Perencanaan provinsi dan kabupaten/kota harus sinkron dengan perencanaan nasional, agar tidak terjadi tumpang tindih program,” katanya.

Kabid Wilayah III Pusdal LH Jawa Gatut Panggah Prasetyo, menjelaskan lonjakan beban pencemar Sungai Brantas berasal dari limbah domestik, pertanian intensif, dan industri yang belum memiliki pengolahan limbah memadai. Foto: Dok Pusdal LH Jawa

Ia menyoroti dua ancaman besar di DAS Brantas yakni bencana hidrologis dan pencemaran akumulatif. “Kerusakan terlihat langsung, tetapi pencemaran adalah silent killer, pelan-pelan tapi berdampak besar terhadap kesehatan manusia,” kata Eduward.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa lemahnya pengelolaan lingkungan memperbesar risiko bencana hidrologis seperti banjir. Untuk itu, pengelolaan daerah aliran sungai harus diperkuat dengan pendekatan berbasis ekosistem, rehabilitasi kawasan hulu, dan penegakan aturan terhadap alih fungsi lahan harus diprioritaskan.

Sementara Kabid Wilayah III Pusdal LH Jawa Gatut Panggah Prasetyo menjelaskan lonjakan beban pencemar Sungai Brantas berasal dari limbah domestik, pertanian intensif dan industri yang belum memiliki pengolahan limbah memadai. Demikian pula dengan perubahan tutupan lahan di areal hulu, yang memicu sedimentasi yang berperan dalam meningkatnya ambang batas baku mutu air.

Kepala Pusdal LH Jawa Eduward Hutapea. Foto: Dok Pusdal LH Jawa

Data ONLIMO menunjukkan peningkatan signifikan beban organik dan kimia (BOD–COD), tekanan sedimen (TSS), dan tingginya amonia yang mencerminkan banyaknya permasalahan yang harus segera ditangani di areal DAS Brantas.

Pakar Teknik Lingkungan ITS Prof Eddy S Soedjono menjelaskan bahwa WS Brantas menghadapi tekanan berlapis dari sumber pencemar titik dan nontitik. Ia menyoroti eutrofikasi di Bendungan Sutami, akumulasi mikroplastik di dasar waduk, dan melimpahnya sampah permukaan akibat infrastruktur persampahan yang tidak memadai.

“Air limbah non-tinja memiliki beban pencemar lebih tinggi. Saat musim hujan, septic tank yang tidak dikelola dengan benar bisa meluap dan memicu penyakit seperti leptospirosis,” ujarnya.

Selain Eddy, hadir sebagai pemateri Isni Arliyani dari Laboratorium Teknologi Pengelolaan Air ITS dan Catur Arik Kurniawati dari Dinas PU SDA Provinsi Jawa Timur yang memperkuat analisis teknis pengelolaan air dan infrastruktur pengendalian banjir.

Dalam sesi diskusi, pemangku kepentingan menekankan pentingnya penanganan terkoordinasi untuk menekan laju pencemaran. Isu strategis mencakup penegakan hukum terhadap pembuangan limbah tanpa izin, revitalisasi IPAL komunal, pengendalian limbah pertanian, peningkatan pengawasan industri, serta edukasi masyarakat mengenai sanitasi, PHBS, pemilahan sampah, dan bahaya mikroplastik.

Pakar Teknik Lingkungan ITS Prof Eddy S Soedjono menjelaskan bahwa WS Brantas menghadapi tekanan berlapis dari sumber pencemar titik dan nontitik. Foto: Dok Pusdal LH Jawa

Secara administratif, WS Brantas meliputi 16 kabupaten dan 6 kota, termasuk Batu, Malang, Blitar, Kediri, Jombang, Mojokerto, Nganjuk, Tulungagung, hingga Surabaya dan Gresik. Kompleksitas aktivitas ekonomi di sepanjang aliran sungai menjadikan pengelolaannya membutuhkan strategi jangka panjang dan kerja sama berkelanjutan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya Didik Irianto, menyampaikan bahwa Surabaya menjadi salah satu wilayah yang paling merasakan dampak pencemaran Brantas, terutama terkait banjir dan limpahan sampah kiriman. “Forum ini sangat bagus. Tinggal kita butuh komitmen bersama untuk melaksanakannya,” ujarnya.

Pertemuan ditutup dengan komitmen memperkuat koordinasi lintas sektor dan percepatan langkah penanganan di lapangan demi pemulihan Sungai Brantas. (Yus Ade, Pusdal Lingkungan Hidup Jawa)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *