beritabernas.com – Hanya dalam waktu 3 hari, 5 Dosen UII menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Profesor atau Guru Besar dari berbagai disiplin ilmu yang ditekuni. Pada Selasa 16 Desember 2025 di Auditorium KH Abdul kahar Muzakkir Kampus Terpadu UII, dua Profesor menyampaikan pidato pengukuhan yakni Prof Ir Eko Siswoyo ST MSc.ES PhD IPU, Profesor bidang Rekayasa Pengolahan Air dan Limbah dari FTSP dan Prof Dr Drs Yusdani MAg, Profesor didang Hukum Perdata Islam, FH UII.
Sementara dua hari kemudian yakni pada Kamis 18 Desember 2025 di tempat yang sama, 3 Dosen UII juga menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Profesor/Guru Besar yakni Prof Dr.apt.Vitarani Dwi Ananda Ningrum S.Si MSi, Profesor bidang Farmasi Klinis dan Farmakoterapi dan Prof.apt.Suci Hanifah SF MSi PhD, Profesor bidang Farmasi Klinis, keduanya dari Jurusan Farmasi, FMIPA UII dan Prof Dr Sri Kusumadewi S.Si MT, Profesor bidang Sistem Pendukung Keputusan Klinis, dari Jurusan Informatika, FTI UII.
Baca juga:
- Prof Eko Siswoyo: Teknik Adsorpsi Mampu Menurunkan Logam Berat Dalam Hingga Lebih dari 90 Persen
- Islam, Konstitusi dan Mentalitas Luar Pagar
Prof Suci Hanifah dalam pidato pengukuhan berjudul Apoteker dan Keamanan Terapi Parenteral pada Perawatan Kritis mengatakan bahwa terapi parenteral merupakan fondasi utama perawatan pasien kritis di unit perawatan intensif (ICU). Hampir seluruh intervensi farmakologis pada pasien dengan kondisi mengancam nyawa diberikan melalui jalur ini yakni cepat, invasif dan tanpa toleransi terhadap kesalahan.
Namun ironisnya, kata Prof Suci Hanifah, di balik perannya yang sentral, terapi parenteral masih menyimpan risiko sistemik yang kerap luput dari perhatian, bahkan oleh tenaga kesehatan itu sendiri. ICU sering dipersepsikan sebagai ruang dengan teknologi tertinggi dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Ventilator, pompa infus dan monitor canggih menjadi simbol kemajuan.
Akan tetapi, fakta global menunjukkan bahwa kegagalan keselamatan pasien di ICU justru lebih sering bersumber dari aspek yang tampak sederhana yakni pemilihan obat injeksi, penyiapan larutan, inkompatibilitas dan kesalahan serta risiko pemberian.
Laporan kematian bayi akibat kombinasi seftriakson dan kalsium, serta peringatan berulang dari organisasi keselamatan obat dunia, menegaskan bahwa terapi parenteral bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan etik dan sistemik.

Sebagai disiplin ilmu, farmasi klinik berada pada irisan antara sains, praktik klinik, dan keselamatan manusia. Dalam konteks ICU, irisan ini menjadi semakin tajam. Pasien kritis mengalami perubahan fisiologis ekstrem yang menggeser logika farmasetika, farmakologi, farmakokinetik dan farmakodinamik pada pasien normal. Obat yang aman pada pasien stabil dapat berubah menjadi lebih berbahaya pada pasien kritis. Dalam kondisi inilah, apoteker tidak lagi cukup berperan sebagai penyedia obat, tetapi harus hadir sebagai penjaga rasionalitas terapi dan keamanan sistem.
Keamanan terapi parenteral melalui proses yang lebih panjang dari peresepan, penyiapan hingga pemberian. Ia adalah sebuah spektrum yang mencakup ketepatan pemilihan obat, dosis, cara dan kecepatan pemberian, kompatibilitas fisikokimia, hingga mutu penyiapan sediaan steril. Kompleksitas ini meningkat secara eksponensial di ICU, karena satu pasien menerima banyak obat intravena secara simultan, sehingga sering kali harus melalui satu atau dua jalur vaskular yang terbatas. Dalam situasi tersebut, kesalahan farmakoterapi, inkompatibilitas obat, flebitis, kontaminasi partikel, dan degradasi obat bukanlah kejadian langka, melainkan risiko mengancam.
Di sinilah urgensi kehadiran apoteker pelayanan intensif menjadi tidak terelakkan. Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa keterlibatan apoteker dalam tim ICU secara konsisten menurunkan kejadian efek obat yang tidak dikehendaki, memperpendek lama rawat, menurunkan biaya, dan yang paling penting, menyelamatkan nyawa.
Menurut Prof Prof Suci Hanifah, konsensus internasional telah menempatkan apoteker ICU sebagai bagian integral dari praktik perawatan kritis modern, dengan peran yang mencakup pelayanan pasien langsung, penjaminan mutu sistem, serta pengembangan ilmu dan pendidikan. Namun, realitas di banyak negara berkembang. (phj)
There is no ads to display, Please add some