Ketika Perahu Kekuasaan Dikemudikan oleh Kapten-Kapten yang Korup

Oleh: Andreas Chandra, Pemerhati Kebijakan Publik, Hak Asasi Manusia, Pendidikan dan Lingkungan Hidup

beritabernas.com – Di tengah samudra politik yang ganas, perahu kekuasaan berlayar dengan angkuh, membawa para elit yang haus akan kendali. Namun, di balik kemegahan lambungnya yang berkilauan, tersembunyi lubang-lubang korupsi yang tak terlihat mata.

Perahu ini bukan sekadar kendaraan. Ia adalah mesin penghancur, di mana korban berjatuhan satu per satu, tenggelam dalam gelombang ketidakadilan. Kritik tajam saya ini ingin mengungkap bagaimana kekuasaan, seperti perahu yang bocor, akhirnya tenggelam bersama penumpangnya, tetapi bukan tanpa meninggalkan jejak darah dan air mata rakyat.

Bayangkanlah, perahu kekuasaan ini dikemudikan oleh kapten-kapten yang korup, yang mengisi ruang bawah kapal dengan harta haram. Mereka berjanji stabilitas, tetapi sebenarnya mereka menjarah sumber daya negara.

Di Indonesia, misalnya, skandal-skandal seperti korupsi yang ditangani KPK atau pengelolaan dana publik menunjukkan bagaimana perahu ini bocor dari dalam. Para korban? Rakyat miskin yang kehilangan akses ke pendidikan, kesehatan dan pekerjaan layak. Mereka jatuh ke laut, tenggelam dalam kemiskinan struktural, sementara elit di atas dek menikmati pesta pora.

Baca juga:

Kekuasaan ini tajam seperti pisau. Ia memotong hak-hak warga, mengorbankan demokrasi demi kepentingan pribadi. Di era digital, perahu ini dilengkapi dengan mesin propaganda, menyebarkan hoaks dan manipulasi untuk menjaga keseimbangan.

Kritik terhadap ini bukan sekadar retorika belaka. Ini adalah panggilan untuk bangun. Lihat bagaimana pemimpin-pemimpin otoriter, seperti di beberapa negara Asia Tenggara, menggunakan kekuasaan untuk menindas oposisi. Korban berjatuhan dimana- mana, aktivis yang hilang, jurnalis yang dibungkam dan masyarakat sipil yang terpecah.

Namun, perahu ini tidak abadi. Sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan yang korup selalu menemui akhir tragis. Revolusi Perancis, Arab Spring atau gerakan reformasi 1998 di Indonesia sendiri menunjukkan bagaimana rakyat akhirnya membalikkan kapal. Kritik tajam saya ini menuntut: jangan biarkan korban terus berjatuhan. Perahu kekuasaan harus diperbaiki, bukan ditenggelamkan oleh keserakahan. Rakyat harus menjadi nahkoda baru, mengarahkan kapal menuju keadilan sejati.

Tapi, siapa yang berani? Di tengah arus kuat oligarki, banyak yang takut. Kritik ini mengingatkan bahwa diam adalah bentuk kolaborasi. Perahu kekuasaan ini, dengan korban berjatuhannya, adalah cermin masyarakat kita: indah di permukaan, busuk di dalam.

Mari kita tajamkan pisau kritik, potong rantai korupsi, dan selamatkan mereka yang tenggelam. Jika tidak, perahu ini akan tenggelam bersama kita semua. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *