beritabernas.com – Secara umum penegakkan hukum di Indonesia selama tahun 2025 tidak memuaskan. Hal ini disebabkan karena berbagai hal, di antaranya sumber daya manusia (SDM) yang kurang kompeten dan aturan maupun proredur yang birokratis.
Hal itu disampaikan Fathan Qorib, salah satu narasumber dalam acara Evaluasi dan Refleksi Penegakan Hukum 2025 sebagai Strategi dan Agenda Penegakan Hukum yang Berkeadilan di Masa Depan FH UII di Ruang Auditorium Lantai 4 Kampus FH UII, Rabu 24 Desember 2025.
Dalam materi bertajuk Perkembangan Teknologi dalam Penegakan Hukum, Fathan Qorib menyebut 6 penyebab utama penegakan hukum 2025 di Indonesia tidak memuaskan, yakni SDM yang kurang kompeten, aturan dan prosedur yang birokratis, rendahnya moralitas dan integritas seperti dalam kasus korupsi, proses rekrutmen yang bermasalah, kurang akases keadilan bagi masyarakat dan adanya intervensi politik.
Baca juga:
- Refleksi Akhir Tahun 2025 FH UII: Krisis Lingkungan Hidup Akibat Kebijakan yang Salah dan Gagal
- Bangun Ekosistem Hukum Terintegrasi Berbasis Teknologi, FH UII Meluncurkan Law UII App
Terkait SDM yang kurang kompeten, Fathan Qorib mendorong untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM dalam bidang penegakkan hukum. Sementara terkait aturan dan prosedur yang birokratis perlu dilakukan efiensi kerja dengan teknologi. “Perlu dilakukan transformasi digital dalam penegakan hukum di Indonesia karena teknologi bisa mengubah lanskap penegakan hukum Indonesia,” kata Fathan Qorib.
Sedangkan terkait rendahnya moralitas dan integritas seperti maraknya kasu korupsi, Fathan Qorib meminta agar para pelaku dihukum berat untuk memberi efek jera.
Dr Jamaludin Ghafur SH MH, Ketua Panitia Refleksi Akhir Tahun 2025 Fakultas Hukum UII, mengungkapkan, sepanjang tahun 2025, berbagai langkah dan keputusan strategis telah diambil oleh pemerintah dalam rangka penguatan penegakan hukum. Beberapa di antaranya adalah penguatan komitmen dalam pemberantasan korupsi, kenaikan gaji hakim sebagai upaya memperkuat integritas peradilan dan pembentukan Tim Reformasi Polri untuk mendorong tata kelola kepolisian yang lebih akuntabel.

Meski demikian, dinamika dan realitas di lapangan menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum masih besar. Berdasarkan data World Justice Project, skor Indeks Negara Hukum Indonesia menurun dari 0,53 pada tahun 2024 menjadi 0,52 pada tahun 2025 (skala 0-1). Indikator yang menjadi penyebab utama regresi tersebut adalah menurunnya pembatasan kekuasaan pemerintahan, pemenuhan hak-hak fundamental dan sistem peradilan pidana. (Kompas.id, 2025).
Sementara beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum di tahun 2025 antara lain yaitu adanya inkonsistensi regulasi, faktor kelembagaan, keterbatasan sumber daya, intervensi politik, lemahnya integritas lembaga peradilan, serta kesenjangan dalam penguasaan teknologi. Hal tersebut mengakibatkan hukum belum sepenuhnya mampu memenuhi tujuan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Isu hukum krusial lain yang terjadi pada tahun 2025 adalah disahkannya RUU KUHAP pada 18 November 2025 yang hingga saat ini masih mengundang pro kontra dari berbagai kalangan. Selain itu, banyak kasus korupsi yang mengundang perhatian masyarakat luas, seperti kasus Harvey Moeis, Nadiem Makarim, Immanuel Ebenezer hingga Riza Chalid.
“Kasus-kasus korupsi tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum belum mampu menciptakan efek jera dan belum mampu menutup ruang penyalahgunaan wewenang,” kata Jamaludin Ghafur. (phj)

