Bandit Peradilan: Ketika Hakim Berkhianat pada Hukum

Oleh: Rahma Hairunnisa Regita Putri, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Gedung pengadilan semestinya menjadi lambang keadilan yang tak bercela. Namun, di balik jubah toga yang tampak berwibawa, tersembunyi praktik kelam yang perlahan menggerogoti martabat hukum Indonesia.

Pada awal 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membongkar kasus suap yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta. Oknum hakim tersebut tertangkap tangan menerima Rp 1,5 miliar dari seorang pengacara terdakwa kasus korupsi demi memuluskan vonis bebas.

Kasus ini bukan sekadar peristiwa yang berdiri sendiri. Data Komisi Yudisial (KY) mencatat, sebanyak 30 hakim telah dipecat sepanjang lima tahun terakhir (2019–2024) akibat terlibat suap. Ironisnya, di tengah gencarnya kampanye reformasi peradilan yang digaungkan Mahkamah Agung (MA), praktik jual-beli putusan justru semakin terstruktur dan membudaya.

Pertanyaannya, mengapa hingga kini hakim tetap menjadi aktor sentral dalam lingkaran bandit peradilan?

Bisnis palu yang tak pernah padam

Praktik suap di lingkungan pengadilan telah melampaui batas pelanggaran individu. Ia berubah menjadi sistem gelap yang berurat akar. Modus yang digunakan beragam: dari “tarif standar” suap antara Rp 500 juta hingga Rp 2 miliar untuk meringankan vonis, pungutan liar untuk mempercepat administrasi hingga makelar kasus yang menjembatani komunikasi antara hakim dan pihak berperkara.

Kisah serupa terjadi pada 2022, ketika seorang hakim PN Surabaya menerima Rp 1,2 miliar dari keluarga terdakwa kasus narkoba untuk meringankan hukuman. Pada Februari 2024, seorang hakim di PN Jakarta kembali terciduk setelah menerima suap Rp 1,5 miliar dalam sengketa tanah bernilai Rp 200 miliar.

Lebih mengejutkan lagi akhir-akhir ini ditemukan sejumlah uang, dalam penggeledahan rumah hakim tersebut, KPK menemukan uang tunai sebesar Rp 5,5 miliar disembunyikan di kolong kasur. Temuan ini mempertegas bahwa praktik jual-beli keadilan bukan sekadar asumsi, melainkan realitas yang brutal dan terang-terangan.

Fenomena ini tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Seorang mantan hakim Pengadilan Negeri Bandung yang enggan disebut namanya mengungkapkan, praktik suap telah menjadi “warisan turun-temurun”. “Jika hakim junior menolak terlibat, kariernya akan disabotase, atau lebih buruk lagi, diasingkan,” ujarnya.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2023 juga memperkuat sinyal ini: hanya 34% masyarakat masih percaya pada integritas hakim. Selebihnya, pengadilan dianggap telah bertransformasi menjadi “pasar gelap”, tempat di mana keadilan diperdagangkan seperti barang di pelelangan.

Kerapuhan pengawasan dan mandulnya sanksi

Kondisi ini juga diperparah oleh lemahnya sistem pengawasan internal. Komisi Yudisial (KY) yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kehormatan profesi hakim, hanya diberi wewenang sebatas memberikan rekomendasi. Dalam praktiknya, hanya sekitar 40% rekomendasi KY yang ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung.

Sistem pelaporan dugaan pelanggaran pun tidak transparan. Banyak pelapor yang justru mengalami intimidasi atau mendapat respons minim, sementara para hakim nakal kerap lolos dengan hukuman administratif.

BACA JUGA:

Dari 30 hakim yang dipecat dalam lima tahun terakhir, hanya 12 yang benar-benar diproses secara pidana. Selebihnya, cukup “dibersihkan” dengan surat pemecatan, seperti dalam kasus hakim PN Medan yang menerima suap Rp 800 juta pada 2021 tetapi hanya diberhentikan tanpa proses hukum lanjutan.

Memutus rantai bandit peradilan tidak akan tercapai dengan langkah kosmetik. Dibutuhkan tindakan radikal dan menyeluruh. Pertama, transparansi total wajib diterapkan. Seluruh proses peradilan, dari pendaftaran perkara hingga putusan akhir, harus tersedia secara daring dan dapat diakses publik.

Inisiatif “Satu Data Peradilan” yang dirintis MA perlu diperluas secara menyeluruh. Teknologi blockchain pun patut dipertimbangkan untuk membangun sistem pelaporan suap yang aman dan anonim.

Kedua, pembentukan lembaga pengawasan eksternal independen menjadi kebutuhan mendesak. Lembaga ini harus diisi oleh akademisi, aktivis, dan praktisi hukum non-hakim, serta diberikan wewenang penuh untuk mengaudit rekening dan komunikasi hakim tanpa intervensi politik.

Ketiga, revolusi dalam proses rekrutmen hakim mutlak diperlukan. Seleksi harus mengutamakan integritas, dengan audit latar belakang keuangan, tes psikologi, serta pelatihan anti-korupsi sejak masa kuliah hukum. Integritas bukan hanya diuji di awal, melainkan harus dipantau ketat sepanjang karier.

Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK mungkin bisa membungkam satu atau dua hakim rakus, tetapi tanpa reformasi sistemik, bandit peradilan hanya akan berganti wajah. Mereka akan terus berkamuflase, memanfaatkan toga sebagai tameng untuk memperdagangkan hukum.

Selama Mahkamah Agung enggan membersihkan tubuhnya sendiri dan membongkar budaya korupsi yang telah mengakar, reformasi peradilan tidak akan pernah lebih dari sekadar ilusi belaka. Maka kini, pertanyaan yang mesti kita ajukan bukan sekadar “siapa yang bersalah”, melainkan: Apakah para pemimpin lembaga peradilan masih memiliki keberanian untuk mengembalikan toga sebagai simbol keadilan bukan sebagai kain kafan bagi harapan rakyat? (*)


There is no ads to display, Please add some