Mengenai Hijrahnya Kaum Intelektual Kampus

Oleh: Ben Senang Galus, Dosen dan Penulis Buku, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Akhir-akhir ini banyak kaum intelektual kampus (baca dosen) meninggalkan profesinya sebagai dosen dan lebih memilih sebagai politisi, bohemians atau gelandangan politik. Banyak juga yang hobinya membuat tiktok, tidak lebih sekadar numpang wajah atau ocehan yang tidak bernalar.

Tidak sedikit juga yang keluar masuk gang, berteriak di perempatan jalan berdemo, entah apa yang mau disampaikan tidak jelas. Sesungguhnya intelektual seperti ini telah gagal mengemban misi sejatinya sebagai dosen, peneliti atau penulis buku. Mereka lebih memilih menjadi politisi kacangan atau intelektual tukang yang teriak di jalan, ketimbang menjadi intelektual organik murni.

Maka kita sebenarnya masuk ke suatu periode yang paling berbahaya dari tahap perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran. Karena pada titik ini mereka tidak saja berhadapan dengan romantisme idealistis sebagai pemangku intelektual, tapi kini mereka juga berhadapan dengan insentif-insentif pribadi yang bisa menyelewengkan mereka.

Ketika negara sedang mengalami kemerosotan dalam segala dimensi kehidupan, sesungguhnya kehadiran intelektual kampus sangat dibutuhkan. Namun ketika kaum intelektual kampus beralih profesi, perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran akan lenyap pula. Di samping itu, akan menimbulkan kesan jelek di kalangan sesama kaum intelektual tentang kemurnian intelektual mereka.

Pandangan ini akan sangat menentukan keberlangsungan kampus sebagai sebuah lembaga perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran. Pertanyaannya, apakah dengan hijrahnya kaum intelektual kampus, negara ini akan menjadi lebih baik? Kenyataannya memang tidak demikian. Sebab mereka akan berhadapan dengan realitas bahwa politisi tidak steril dari korupsi dan kemudahan-kemudahan lain yang tanpa jerih payah mereka peroleh seperti fasilitas-fasilitas yang diberikan negara kepadanya.

Hijrahnya kaum intelektual kampus kita pun akan segera mengatakan mereka akan menjadi tiran juga dan teman sejawatnya secara sinis akan menilai mereka sebagai orang-orang yang hanya mencari kedudukan.

Bertanggungjawab

Memilih pekerjaan sebagai dosen adalah sebuah pilihan yang bertanggunjawab. Pilihan ini terkait pula dengan tuntutan menghasilkan karya ilmiah, melakukan penelitian, menulis buku. Seorang dosen adalah seorang intelektual yang bermutu, non plagiat, non pelecehan seksual. Intelektual yang bermutu senantiasa menggerakkan orang yang memilikinya untuk bertindak dan tindakan intelektual yang bermutu senantiasa terarah kepada pemecahan persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. Sementara menjadi anggota parlemen tidak dituntut menghasilkan karya-karya ilmiah.

BACA JUGA:

Lebih dari itu seorang intelektual kampus harus mampu menggerakkan pengetahuan dan kehidupan manusia ke arah yang lebih maju, berkembang, dan beradab. Kemajuan dan perkembangan pengetahuan itu terjadi ketika manusia sanggup memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapinya. Persoalan adalah penghalang tetapi sekaligus juga kriteria kemajuan dan perkembangan kehidupan manusia. Keengganan untuk memecahkan persoalan dengan berani dan kritis adalah sama dengan sikap membiarkan diri dihalangi dalam proses perkembangan pengetahuan kehidupan.

Persoalan yang tidak pernah terpecahkan akan menghentikan pergerakan hidup manusia dan akhirnya kehidupan itu “disampahkan” pada satu titik. Sebaliknya keberhasilan dalam memecahkan persoalan adalah moment progresivitas peradaban darinya terpancar cahaya yang menerangi setiap generai manusia dalam dinamika kehidupan menuju kedekatan dengan kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kesejahteraan.

Di sinilah letak standar mutu intelektual. Intelektual yang bermutu tidak hanya memiliki akumulasi pengetahuan yang berlimpah ruah dan “tertumpah ruah” dalam berbagai macam gelar yang dinotasikan secara panjang lebar dalam aneka publikasi tetapi ia mempunyai daya gerak untuk menggerakkan diri dan orang lain untuk memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.

Untuk itu, intelektual yang bermutu senantiasa terlibat dalam berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dimana ia hidup. Bila kecendrungan ini dibiarkan maka mustahil seorang intelektual bisa melihat dan memecahkan persoalan secara jernih dan obyektif sebab ia berhadapan dengan berbagai kepentingan politik. Kejernihan seorang intelektual itu hanya dapat dicapai  kalau ia sungguh memiliki komitmen untuk memecahkan persoalan sosial dan karena itu  bebas dari kecendrungan oportunisme untuk memperalat obesrvasi menjadi proyek untuk mendapatkan keuntungan diri.

Pengkianat moral

Ketika kaum intelektual kampus beramai-ramai beralih profesi sebagai politisi maka mereka sebenarnya telah mengingkari kebenaran dan keadilan. Cendekiawan atau intelektual yang mengingkari kebenaran dan keadilan demi kepentingan primordial dan politik menurut Julian Benda (La Trahison des Clercs, 1927), tidak lebih sebagai pengkianat moral.

Pada hakekatnya cendekiawan atau intelektual tidaklah memiliki tujuan-tujuan praktis. Motif kegairahan mereka adalah berbakti kepada kebenaran atau bukan untuk memperoleh keuntungan sosial, politik, dan kebendaan. “Kerajaanku bukanlah di dunia ini”, itulah seharusnya kata hati setiap cendekiawan atau ilmuwan, demikian tulis Benda.

La Trahison des Clercs memang sebuah kritik terhadap kecenderungan dan kegairahan para intelektual atau cendekiwan Perancis awal abad XX untuk masuk dalam kancah politik. Kritik itu masih relevan untuk kita hubungkan kepada kaum intelektual kita saat ini. Sebab kaum intelektual kita saat ini sudah keluar dari dasar profesi keilmuan dan menyerahkan diri pada golongan yang berkuasa demi pemenuhan kepentingan sosial dan kebendaan semata. Maka kaum intelektual seperti ini bisa diklasifikasikan sebagai “cendekiawan pengecut”. Mereka hanya mau menciptakan sesuatu yang serba gampang, tanpa melalui suatu kerja keras.   

Cendekiwan Indonesia setidak-tidaknya seperti Socrates. Socrates, diakhir hidupnya sangat tragis. Ia mati oleh hukuman masyarakatnya. Menjelang kematiannya ia menyebut dirinya “lalat liar”. Ia mengatakan “… mungkin kedengarannya lucu, saya seperti seekor lalat liar di tengkuk seekor kuda”.

Kuda adalah pemerintah atau masyarakat yang lelap terlena dalam berbagai kebusukan karena pengabaian nilai-nilai luhur manusiawi. Ia berjuang untuk menegakkan nilai-nilai itu. Ia adalah penggugah hidup masyarakat atau penguasa. Penguasa/masyarakat merasa terganggu dalam tidurnya dan tanpa pikir panjang memukul lalat liar (baca: Socrates) agar pules lagi dalam gelimang dosa. Socrates mati namun kematiannya tidak dapat begitu saja membuat penguasa/ masyarakat tetap tenang melanjutkan tidurnya. Dalam keadaan mata terpejam penguasa/masyarakat berpikir tentang pikiran dan sikap hidup Socrates.

Jelasnya Socrates ingin mewariskan kepada kaum intelektual kita tidak boleh hidup  aman dalam ketentraman  palsu dan stabilitas semu. Kaum intelektual harus berperan sebagai “lalat liar”. Kehadirannya di tengah publik tidak membuat lagi yang terlena dalam kebusukan tetapi mengganggunya agar terbangun dari tidurnya. Ini peran kaum intelektual harus memberi kesaksian agar kehidupan ini terjaga. Seorang cendekiawan harus harus merasa tidak dapat hidup lebih lanjut kalau tidak menjalankan perannya itu.

Dewasa ini kehadiran kaum intelektual harus bersuara kuat seperti Socrates. Sebab negara kita ini terlalu riuh oleh aneka kejahatan yang melembaga, dan didukung oleh banyak orang. Lagi pula tidak mengutamakan tujuan-tujuan praktis. Bila kaum intelektual tidak kuat dan tidak jujur ia akan beralih profesi, tidur bersama penguasa dan banyak orang dalam  pengabaian nilai-nilai luhur manusiawi. Kita harap kehadiran kaum intelektual tampak semakin jelas dalam latar belakang negara yang makin gelap, merosotnya moralitas pemimpin kita.

Untuk itu perlu ketangguhan moral dan pribadi kaum intelektual, karena jika tidak demikian, peristiwa Socrates terjadi lagi “lalat liar” dipukul mati di negeri ini. Seperti Socrates, pada saatnya kaum intelektual mengambil sikap bahwa kehadiran fisiknya tidak penting lagi, yang penting kehadiran “gangguan” itu. Gangguan itu membuat penguasa tidak tenang dalam melanjutkan tidurnya. Saya yakin hal itu bukan sesuatu yang sia-sia. Karena sang intelektual bukan memasukan sesuatu yang asing, yang berasal dari luar, ke dalam diri sesama melainkan menyadarkan sesama apa yang terlekat dalam martabatnya sebagai manusia.

Karena itu, kini kaum intelektual dituntut kembali kepada habitusnya, berjuang menegakkan moral, kejujuran, kebenaran, keadilan. Bukan hijrah, lalu menjadi selebritis murahan. Jual tampang di televisi. Perjuangan intelektual harus murni tanpa ada embel-embel. Ini semua hanya bisa diperjuangkan di dalam kampus sekaligus menjadi pihak yang selalu berjuang tanpa lelah menegakkan nilai-nilai luhur manusiawi, agar tidak menjadi GBHN (Guru Besar Hanya Nama). (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *