Bendera One Piece, Simbol Ekspresi Rakyat

Oleh: Dr Raden Stevanus Christian Handoko S.Kom MM, Anggota DPRD DIY

beritabernas.com – Dari sudut kota hingga media sosial, pengibaran bendera One Piece oleh rakyat telah menghebohkan panggung nasional, membelah opini publik antara pro dan kontra. Di balik keramaian itu, tersembunyi dilema mendalam: apakah pelarangan ini adalah wujud gesekan kebebasan berekspresi atau justru kita salah membaca niat rakyat yang sebenarnya ingin menyuarakan aspirasi, bukan memecah belah?

Pelarangan oleh pemerintah, cerminan dari gesekan antara kebebasan berekspresi dan cara pandang terhadap simbol kebangsaan.

Konstitusi Indonesia, UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) secara gamblang menyatakan, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Senada dengan itu, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 23 Ayat (2), juga menggarisbawahi hak setiap individu untuk menyebarluaskan pendapatnya.

BACA JUGA:

Apakah sebuah gambar tengkorak dengan topi jerami merah dari cerita fiksi, yang jelas berbeda konteksnya, benar-benar bisa menodai keagungan Bendera Merah Putih kita? Serapuh itukah semangat kebangsaan kita saat ini? Hanya dengan Bendera One Piece Rakyat dicap sebagai pemecah persatuan? Masyarakat dan pemangku kebijakan harus lebih bijak dalam membedakan antara simbol negara yang sakral dengan ekspresi budaya populer.

Mungkin komunitas penggemar One Piece di Indonesia mencapai jutaan orang, yang sebagian besar adalah generasi muda. Namun, pengibaran bendera one piece oleh mereka bukanlah bentuk ketidakcintaan pada Tanah Air atau upaya memecah belah persatuan.

Seringkali itu adalah ungkapan aspirasi. Ungkapan harapan untuk kebebasan yang sama seperti yang dicari tokoh Luffy, harapan akan keadilan di tengah rumitnya birokras, atau simbol mimpi besar yang terasa jauh dari jangkauan.

Dr Raden Stevanus Christian Handoko S.Kom MM. Foto: Dok pribadi

Melabeli mereka sebagai anti-NKRI adalah kesalahpahaman yang sempit dan menunjukkan kurangnya kepekaan pemerintah dalam membaca bahasa hati rakyatnya. Karena itu, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dapat lebih terbuka, peka dan menerima kritik serta saran dari rakyatnya, bahkan yang disampaikan melalui medium budaya pop sekalipun.

Daripada sibuk membatasi ekspresi yang tidak mengancam, mari kita fokus pada ancaman nyata: korupsi, pengangguran, sulitnya akses pendidikan, ketidakadilan, hingga kemiskinan.

Semua pihak perlu menciptakan ruang di mana kreativitas bisa bernapas lega, ekspresi dihargai dan pemerintah benar-benar menjadi pelabuhan aspirasi rakyat, yang mampu membedakan antara simbol fiksi, simbol negara, dan suara hati yang perlu didengar. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *