Bu Panggih Menekuni Produksi Tempe sebagai Usaha Warisan Mertua

beritabernas.com –Tempe adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari bahan utama fermentasi kedelai. Tempe merupakan salah satu makanan yang kaya protein nabati dan digandrungi oleh masyarakat di penjuru nusantara bahkan sudah mendunia.

Bu Panggih atau yang sering disapa Mbah Cantik ini merupakan wanita pengusaha tempe yang sudah sejak 1980 berkecimpung dalam produksi tempe hingga saat ini. Bu Panggih yang memiliki rumah produksi tempe di Sampangan Jalan Rukun Bakti Nomor 285, RT 02 Mantup, Baturetno, Kecamatan Banguntapan, Bantul kini berumur 60 tahun. Usahanya ini diturunkan dari mertuanya yang sudah berpuluh-puluh tahun memproduksi tempe.

Kedelai sebagai bahan baku tempe. Foto: agus susanto

Bu Panggih juga sering dipanggil Mbah Cantik karena menurut para pelanggannya ia awet muda. Selain awet muda, tempe buatan Mbah Cantik ini masih menggunakan unsur tradisional yaitu pembungkus tempe dari daun pisang, sementara sekarang kebanyakan sudah digantikan dengan bahan lain yang dinilai lebih praktis.

Pembuatan tempe

Ada berbagai metode pembuatan tempe. Namun, teknik pembuatan tempe di rumah produksi tempe Bu Pangih cantik ini dilakukan dengan beberapa tahap mula dari perebusan, pengupasan, perendaman dan pengasaman, pencucian, peragian pembungkusan dan fermentasi.

Pada tahap awal pembuatan tempe, biji kedelai direbus. Tahap perebusan ini berfungsi sebagai proses hidrasi agar biji kedelai menyerap air sebanyak mungkin. Perebusan juga dimaksudkan untuk melunakkan biji kedelai supaya dapat menyerap asam pada tahap perendaman.

Kulit biji kedelai dikupas pada tahap pengupasan agar ragi dapat menembus biji kedelai selama proses fermentasi. Pengupasan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Setelah dikupas, biji kedelai direndam agar biji kedelai bisa difermentasi dengan sempurna atau fermentasi asam laktat.

Fermentasi asam laktat terjadi dengan ciri-ciri munculnya bau asam dan buih pada air rendaman akibat pertumbuhan bakteri Lactobacillus. Bila pertumbuhan bakteri asam laktat tidak optimum (misalnya di negara-negara subtropiss, asam perlu ditambahkan pada air rendaman. Fermentasi asam laktat dan pengasaman ini ternyata juga bermanfaat untuk meningkatkan nilai gizi dan menghilangkan bakteri-bakteri beracun.

Tempe dibungkus daun pisang. Foto: agus susanto

Sementara proses pencucian akhir dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang mungkin dibentuk oleh bakteri asam laktat dan agar biji kedelai tidak terlalu asam. Bakteri dan kotorannya dapat menghambat pertumbuhan fungi.

Setelah dicuci dan didiamkan sementara, biji-biji kedelai dibungkus atau ditempatkan dalam wadah untuk fermentasi. Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan (misalnya daun pisang, daun waru, daun jati, plastik, gelas, kayu, dan baja), asalkan memungkinkan masuknya udara karena kapang tempe membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Bahan pembungkus dari daun atau plastik biasanya diberi lubang-lubang dengan cara ditusuk-tusuk sebelum dijadikan produk.

Biji-biji kedelai yang sudah dibungkus dibiarkan untuk mengalami proses fermentasi. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan menembus biji-biji kedelai, menyatukannya menjadi tempe. Fermentasi dapat dilakukan pada suhu 20 °C–37 °C selama 18–36 jam. Waktu fermentasi yang lebih singkat biasanya untuk tempe yang menggunakan banyak inokulum dan suhu yang lebih tinggi, sementara proses tradisional menggunakan laru dari daun biasanya membutuhkan waktu fermentasi sampai 36 jam.

Proses pencucian kedelai untuk membuat tempe. Foto: agus susanto

Selain dapat belajar membuat tempe, ketika kita berkunjung ke rumah produksi Bu Panggih, kita akan disambut dengan ramah oleh Bu Panggih dan anak-anaknya. Bu Panggih juga jugai guyonan/ becanda. Ia memiliki jiwa humor yang membuat kita tidak akan bosan ketika berkunjung ke sana.

Seiring berjalannya waktu, selama memproduksi tempe, ia sering dihadapkan dengan kenaikan bahan pokok kedelai untuk membuat tempe. Ia berharap anak-anaknya dapat meneruskan dan mengembangkan usahanya memproduksi tempe. (Ari Susanto, Mahasiswa Akademi Komunikasi Radya Binatama (AKRB) Yogyakarta).


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *