Oleh: Muhammad Heri Tomi, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta
beritabernas.com – Dunia tengah menyaksikan pergeseran besar dalam paradigma ekonomi global. Setelah puluhan tahun didominasi oleh sistem ekonomi serakah yang mengejar pertumbuhan tanpa batas dan eksploitasi sumber daya alam, kini semakin banyak negara dan korporasi beralih ke ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan.
Ekonomi serakah, yang selama ini menjadi tulang punggung industrialisasi, dituding sebagai penyebab utama krisis iklim, polusi, dan ketimpangan sosial. Model ini mendorong konsumsi berlebihan, penggunaan energi fosil, dan produksi massal tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang.
Namun, laporan terbaru dari Environmental Chemistry Letters menunjukkan bahwa strategi ekonomi sirkular dan hijau dapat memangkas emisi karbon global hingga 45% pada tahun 2030. Studi tersebut menekankan pentingnya daur ulang, efisiensi energi, dan pengurangan limbah sebagai langkah konkret menuju netralitas karbon.
Di Indonesia, sejumlah inisiatif mulai bermunculan. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong penggunaan energi terbarukan dan pengelolaan limbah berbasis komunitas. Sementara itu, startup lokal seperti Energi Hijau Nusantara mulai mengembangkan panel surya murah untuk desa-desa terpencil.
“Ekonomi hijau bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal keadilan sosial. Jika tidak inklusif, transisi ini bisa memperparah ketimpangan, seperti yang terjadi dalam Revolusi Hijau di India beberapa dekade lalu,” ujar Dr Rina Kartika (2023), peneliti ekonomi lingkungan dari UGM.
Baca juga:
- Politik Pengelolaan SDA di Papua Selatan, dari Food Estate, Ekspansi Perkebunan hingga Perampasan Ruang Hidup Rakyat
- Kekayaan Alam Papua Menjadi Sumber Ketidakadilan, Penindasan dan Eksploitasi
Jurnal Circular Economy and Sustainability juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, dan pelaku bisnis untuk mempercepat transformasi ini.
Dunia mulai bergerak
Dunia tengah menyaksikan pergeseran besar dalam paradigma ekonomi global. Setelah puluhan tahun didominasi oleh sistem ekonomi yang serakah model pertumbuhan yang menekankan eksploitasi sumber daya alam tanpa batas kini semakin banyak negara dan korporasi mulai beralih ke ekonomi hijau yang lebih adil, efisien, dan berkelanjutan.
Ekonomi serakah telah lama dianggap sebagai tulang punggung industrialisasi dan kemajuan. Namun, ia juga menjadi penyebab utama krisis iklim, polusi, dan ketimpangan sosial. Model ini mendorong konsumsi berlebihan, ketergantungan pada energi fosil, dan produksi massal yang mengabaikan keseimbangan ekologis.
“Jika tidak diubah, model ekonomi lama ini akan menjerumuskan kita ke krisis ekologis yang tak terelakkan. Ekonomi hijau bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal keadilan sosial,” ujar Dr Rina Kartika (2023), peneliti ekonomi lingkungan dari UGM, ketika diwawancarai di sela seminar Green Future Forum di Yogyakarta.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2023) menegaskan bahwa 40% hingga 50% emisi global berasal dari pola produksi dan konsumsi yang tidak efisien. Sistem ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas telah mendorong peningkatan suhu global hingga 1,2°C di atas masa pra-industri.
Sementara itu, penelitian terbaru dalam Environmental Chemistry Letters (2024) menunjukkan bahwa penerapan strategi ekonomi sirkular dan hijau dapat memangkas emisi karbon global hingga 45% pada tahun 2030. Pendekatan ini menekankan daur ulang bahan, efisiensi energi, serta pengurangan limbah sebagai langkah konkret menuju netralitas karbon.
Temuan serupa juga disampaikan dalam UNEP Green Economy Report yang menegaskan bahwa investasi sekitar 2% PDB global per tahun dalam sektor hijau mampu menciptakan jutaan lapangan kerja baru serta menstabilkan iklim jangka panjang.
Indonesia, yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, memiliki potensi besar dalam transisi ini. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mulai memperkuat kebijakan energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan konservasi hutan.
Di tingkat lokal, muncul berbagai inovasi seperti Energi Hijau Nusantara, sebuah startup yang mengembangkan panel surya murah untuk desa terpencil di Sulawesi dan Nusa Tenggara. “Teknologi hijau tidak harus mahal. Yang penting adalah kemauan untuk mengubah pola pikir dari konsumsi ke keberlanjutan,” ujar Aditya Ramadhan, CEO sebuah perusahaan,
Selain sektor swasta, komunitas masyarakat juga terlibat. Program Bank Sampah Berdaya Hijau di Yogyakarta, misalnya, telah berhasil mengubah ribuan ton limbah rumah tangga menjadi bahan daur ulang bernilai ekonomi tinggi, sembari menciptakan lapangan kerja bagi ibu rumah tangga.
Jalan menuju ekonomi hijau
Menurut World Bank (2022), green growth atau pertumbuhan hijau tidak berarti menolak pertumbuhan ekonomi, melainkan menyeimbangkannya dengan efisiensi sumber daya dan keadilan sosial. Sementara itu, kalangan akademisi juga memperdebatkan konsep degrowth, yaitu gagasan untuk menurunkan tingkat konsumsi demi menjaga batas ekologis bumi.
Kedua pendekatan ini green growth dan degrowth menyepakati satu hal penting: ekonomi tidak boleh lagi mengorbankan bumi untuk keuntungan jangka pendek.
Penelitian dalam Circular Economy and Sustainability Journal (2024) menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, bisnis, dan masyarakat. Tanpa koordinasi yang kuat, transisi hijau hanya akan menjadi jargon tanpa hasil nyata.
Meski arah perubahan sudah jelas, tantangan tetap besar. Banyak industri lama masih resisten terhadap perubahan, sementara kebijakan hijau belum memiliki kekuatan hukum yang tegas di banyak negara berkembang.
Namun, menurut laporan UN Environment Programme (UNEP, 2023), peluang ekonomi hijau terus meningkat. Sektor energi terbarukan tumbuh rata-rata 12% per tahun, pasar kendaraan listrik meningkat hingga 40% pada 2024 dan investasi global dalam ekonomi hijau telah menembus USD 1,8 triliun pada 2025.
Bagi negara seperti Indonesia, yang memiliki potensi energi matahari, angin, dan biomassa melimpah, transformasi ini bukan sekadar tren, tetapi kesempatan untuk membangun ekonomi baru yang lebih tangguh dan berkeadilan.
Transisi dari ekonomi serakah ke ekonomi hijau bukan sekadar perubahan teknologi, melainkan perubahan nilai. Ini adalah perjalanan dari eksploitasi menuju harmoni, dari keserakahan menuju keseimbangan.
Seperti disampaikan Dr. Rina Kartika bahwa ekonomi hijau bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal keadilan sosial. Dan dunia kini tampaknya sudah mulai bergerak ke arah itu. (*)
There is no ads to display, Please add some