Deklarasi Komasdeling Papsel, Jalan Panjang Perjuangan Demokrasi dan Keadilan Lingkungan di Tanah Papua

Oleh: Laurensius Ndunggoma, Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta dan Ketua PMKRI Komisariat Kampus APMD

beritabernas.com – Demokrasi sering dipandang sebagai fondasi utama bagi terwujudnya masyarakat yang adil, setara dan sejahtera. Ini bukan hanya sekadar prosedur politik dalam pemilu lima tahunan, melainkan sebuah sistem nilai yang mengatur bagaimana rakyat terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan, bagaimana negara menghormati hak asasi manusia, dan bagaimana keadilan dapat dirasakan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Di atas kertas, demokrasi menjamin kebebasan untuk berpendapat, berkumpul, dan berserikat tanpa rasa takut. Demokrasi memastikan bahwa warga negara tidak hanya menjadi objek kebijakan, melainkan subjek aktif yang suaranya didengar dan dipertimbangkan. Demokrasi, pada hakikatnya adalah sebuah mekanisme sosial yang memberi ruang bagi setiap individu dan kelompok untuk dihargai, diakui, serta dilibatkan dalam menentukan arah perjalanan bangsa.

Namun, idealisme ini jauh dari kenyataan. Demokrasi menjadi rapuh ketika kekuasaan ini justru digunakan untuk membungkam rakyat. Demokrasi kehilangan jiwanya ketika aspirasi masyarakat Papua Selatan yang menjadi berbeda diperlakukan sebagai ancaman. Dan demokrasi mati ketika suara rakyat yang sah tidak dihiraukan, bahkan dibalas dengan represi dan kekerasan di Papua Selatan.

Potret buram demokrasi di Papua Selatan

Papua adalah salah satu wilayah di Indonesia yang paling sering menjadi saksi bisu bagaimana prinsip-prinsip demokrasi dilanggar secara sistematis. Di Papua Selatan, praktik demokrasi justru ditandai oleh pengabaian hak-hak dasar masyarakat adat. Aspirasi rakyat Papua Selatan kerap dipatahkan dengan pendekatan kekerasan, bukan dialog. Pemerintah lebih banyak mengambil keputusan secara sepihak, tanpa konsultasi yang bermakna dengan masyarakat lokal yang terdampak langsung.

Situasi ini tidak hanya melahirkan frustrasi politik, tetapi juga menciptakan luka sosial yang dalam. Tanah adat yang menjadi sumber kehidupan masyarakat papua selatan mala dirampas atas nama pembangunan dan investasi. Hutan yang selama berabad-abad dijaga oleh leluhur, kini dibabat habis-habisan untuk kepentingan korporasi. Laut yang menjadi sumber pangan tercemar oleh aktivitas industri. Ironisnya ini  semua kebijakan ini dijalankan tanpa partisipasi nyata dari masyarakat adat Papua Selatan.

Lebih parah lagi, kita yang berani bersuara justru sering menghadapi stigmatisasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan aparat. Sebenarnya kita juga sebagai warga negara yang sah dengan hak untuk menyampaikan pendapat, namun justru dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas negara. Inilah wajah buram demokrasi di Papua Selatan: sebuah sistem yang seharusnya melindungi rakyat, tetapi justru menjadi alat untuk membungkam dan mengontrol mereka.

Ketika berbicara tentang demokrasi di Papua Selatan, kita tidak bisa memisahkannya dari persoalan lingkungan hidup. Bagi masyarakat adat Papua, tanah, hutan, laut, dan rawah bukan sekadar sumber daya ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan keberadaan kita. Kehilangan tanah sama artinya dengan kehilangan sejarah dan masa depan generasi papua selatan.

Sayangnya, demokrasi yang pincang justru membuka jalan bagi eksploitasi lingkungan yang masif. Ketika suara rakyat diabaikan, maka izin-izin tambang, perkebunan, dan proyek infrastruktur besar dapat keluar dengan mudah, tanpa persetujuan masyarakat adat. Ketika hak masyarakat untuk menolak tidak dihormati, maka lingkungan menjadi korban pertama.

Di Papua Selatan, kita menyaksikan bagaimana ribuan hektar hutan ditebangi untuk perkebunan sawit, bagaimana sungai-sungai tercemar, dan bagaimana habitat satwa endemik hancur demi kepentingan segelintir pihak. Semua ini terjadi karena demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jika rakyat diberi ruang untuk berpartisipasi secara bermakna, tentu keputusan yang merusak lingkungan ini bisa dicegah.

Oleh karena itu, memperjuangkan demokrasi di Papua Selatan berarti juga memperjuangkan keberlanjutan lingkungan. Demokrasi sejati bukan hanya tentang hak memilih dalam pemilu, tetapi juga tentang hak masyarakat untuk menentukan bagaimana tanah, hutan, dan laut mereka dikelola.

Komadeling Papsel

Dalam konteks inilah, lahir Komite Aksi Selamatkan Demokrasi dan Lingkungan Papua Selatan (Komadeling Papsel). Komite ini hadir bukan sekadar sebagai dokumen politik, melainkan sebagai sebuah alarm moral yang membunyikan tanda bahaya: demokrasi di Papua sedang berada dalam titik kritis.

Komasdeling Papsel menjadi wadah bagi suara-suara rakyat Papua Selatan yang selama ini dibungkam. Ia menegaskan bahwa demokrasi sejati harus kembali pada akar: mendengarkan aspirasi rakyat, menghormati hak asasi manusia dan melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik sah tanah dan ruang hidup mereka. Deklarasi ini juga menegaskan bahwa penyelamatan lingkungan hidup adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan demokrasi.

Baca juga:

Melalui deklarasi ini, rakyat Papua Selatan menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak segala bentuk perampasan tanah, eksploitasi sumber daya alam yang merusak, serta tindakan represif terhadap warga yang memperjuangkan haknya. Deklarasi ini adalah perlawanan damai terhadap praktik-praktik antidemokrasi, sekaligus seruan solidaritas kepada seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia untuk melihat krisis demokrasi di Papua Selatan.

Ada tiga alasan utama mengapa deklarasi Komasdeling Papsel menjadi sangat penting. Pertama, menyuarakan yang dibungkam. Suara masyarakat Papua Selatan seringkali tidak terdengar dalam ruang-ruang resmi politik nasional. Deklarasi ini hadir untuk mengisi kekosongan itu, menjadi corong bagi mereka yang haknya diabaikan.

Kedua, menghubungkan demokrasi dengan lingkungan. Deklarasi ini menekankan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di Papua Selatan tidak bisa dilepaskan dari krisis demokrasi. Hanya dengan demokrasi sejati, kelestarian lingkungan bisa dijaga.

Ketiga, membangun solidaritas. Deklarasi ini bukan hanya untuk Papua Selatan, tetapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia. Ketika demokrasi dilanggar di satu wilayah, maka sesungguhnya demokrasi bangsa ini secara keseluruhan sedang terancam.

Sejak awal 1960-an, rakyat Papua tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam penentuan masa depan politiknya. Perjanjian New York (1962) yang disepakati antara Amerika Serikat dan Belanda, dengan restu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta dilanjutkan dengan Perjanjian Roma, secara sepihak menentukan nasib Papua. Padahal, dalam proses itu, tidak ada perwakilan sah dari orang Papua yang duduk sebagai pihak penentu. Sejak saat itu, Papua seakan menjadi obyek politik global, bukan subyek yang berdaulat atas dirinya sendiri.

Kebijakan sepihak dari negara kemudian terus berlanjut. Otonomi Khusus (Otsus) yang diberlakukan sejak tahun 2001 awalnya diklaim sebagai jalan menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat Papua. Namun dalam praktiknya, Otsus lebih banyak dipakai untuk memperkuat kontrol negara atas tanah dan sumber daya Papua. Alih-alih menjadi solusi, Otsus menciptakan kesenjangan baru: segelintir elit politik dan birokrasi menikmati keuntungan, sementara mayoritas rakyat Papua tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan, diskriminasi, dan kekerasan struktural.

Ketika Otsus jilid II dipaksakan pada 2021, penolakan rakyat Papua semakin meluas. Demonstrasi dan pernyataan sikap datang dari berbagai elemen masyarakat, baik mahasiswa, gereja, maupun organisasi masyarakat sipil. Namun, aspirasi itu lagi-lagi diabaikan. Pemerintah pusat tetap menutup telinga, dan bahkan merespons kritik dengan pendekatan keamanan.

Hal yang sama juga terlihat dalam kebijakan pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua. Pemekaran itu dilakukan tanpa mendengar suara rakyat, tanpa konsultasi publik yang transparan dan partisipatif. Alih-alih menghadirkan pelayanan publik yang lebih baik, pemekaran justru membuka jalan bagi semakin derasnya arus investasi, eksploitasi sumber daya alam, serta memperkuat militerisasi di wilayah Papua. Hutan, tanah, dan gunung yang menjadi ruang hidup orang Papua semakin terancam, sementara hak-hak masyarakat adat diabaikan.

Sejarah panjang ini menunjukkan satu pola yang konsisten: demokrasi di Papua sering kali hanya hadir di atas kertas, tertulis dalam undang-undang dan perjanjian resmi, tetapi tidak pernah sungguh-sungguh mewujud dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Rakyat Papua lebih sering ditempatkan sebagai obyek kebijakan daripada sebagai subyek yang berdaulat atas dirinya. Demokrasi yang seharusnya memberi ruang partisipasi dan penghormatan terhadap hak-hak rakyat, di Papua justru dipersempit menjadi formalitas belaka.

Pada akhirnya, selama negara masih menutup mata terhadap aspirasi rakyat Papua, dan selama kebijakan tetap dibuat tanpa keterlibatan penuh masyarakat asli Papua, maka gagasan tentang demokrasi dan keadilan tidak akan pernah menemukan wujud sejatinya di Tanah Papua.

Demokrasi yang dibungkam

Hak kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat dijamin oleh UUD 1945, UU Nomor 9 tahun 1998 serta konvensi internasional yang sudah diratifikasi Indonesia. Namun, di Papua, realitasnya berbeda jauh.

Demonstrasi damai sering dibubarkan dengan gas air mata, peluru karet, bahkan peluru tajam. Aktivis ditangkap tanpa prosedur hukum yang jelas, sementara rakyat sipil kerap dituduh separatis hanya karena menyampaikan pendapat berbeda.

Dominasi aparat militer memperburuk situasi. Alih-alih memberi rasa aman, keberadaan militer justru menciptakan ketakutan kolektif. Rakyat Papua seakan menjadi tamu di tanahnya sendiri, dengan hak yang bisa dicabut sewaktu-waktu atas nama stabilitas nasional.

Selain demokrasi, rakyat Papua juga kehilangan hak atas tanah, hutan, dan lingkungan. Investasi besar di sektor pertambangan, perkebunan sawit, serta proyek strategis nasional (PSN) dijalankan tanpa persetujuan masyarakat adat.

Program PSN di Papua Selatan, yang merampas jutaan hektar tanah adat Marind, adalah contoh nyata perampasan ruang hidup. Hutan, rawa, dan gambut yang menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan identitas budaya, terancam hilang.

Bagi masyarakat Marind, kehilangan tanah berarti kehilangan segalanya: pangan, mata pencaharian, situs ritual, pengetahuan adat, hingga identitas kolektif. Apa yang disebut pembangunan oleh negara, bagi mereka adalah pemusnahan sistematis.

Hal serupa terjadi pada ekspansi sawit di Muting, Eligobel, Ulilin, dan sekitarnya. Sawit mungkin menambah angka pertumbuhan ekonomi versi pemerintah, tetapi bagi rakyat adat, ia menciptakan kemiskinan struktural.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua bukan fenomena baru. Sejak awal integrasi Papua ke Indonesia, masyarakat Papua sering menghadapi praktik kekerasan sistematis, mulai dari penangkapan sewenang-wenang, penembakan warga sipil, hingga kriminalisasi aktivis yang menuntut keadilan dan hak politik mereka. Pola ini menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah peristiwa insidental, tetapi bagian dari praktik struktural yang terus berulang.

Kasus penembakan Tobias Silak dan Viktor Deal hanyalah dua dari sekian banyak korban yang menjadi simbol ketidakadilan di Papua. Tobias Silak, seorang staf Bawaslu di Yahukimo, ditembak mati oleh aparat keamanan pada tahun 2024. Penembakan ini dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Sementara Viktor Deal, warga Yahukimo lainnya, juga menjadi korban kekerasan aparat, menimbulkan reaksi luas dari masyarakat yang menuntut keadilan.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), negara berkewajiban melindungi hak asasi setiap warga negara. Pasal 28A–J UUD 1945 menjamin hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, kebebasan berpikir dan berpendapat, serta hak atas keadilan hukum.

Pasal 28G menegaskan hak setiap warga negara atas perlindungan diri secara pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda. Dan Pasal 28I ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak atas keadilan hukum, dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Pelanggaran HAM di Papua, termasuk penembakan, penangkapan sewenang-wenang, dan kriminalisasi aktivis, jelas bertentangan dengan konstitusi ini. Hukum yang seharusnya melindungi warga Papua malah digunakan sebagai alat represi, sehingga prinsip negara hukum tidak berjalan dengan semestinya.

Tahanan politik Papua, termasuk empat orang dari NFRPB, menjadi bukti bahwa hukum sering disalahgunakan untuk membungkam suara perlawanan. Alih-alih melindungi hak warga, aparat menuduh aktivis melakukan makar atau mengganggu keamanan negara, padahal mereka menjalankan hak konstitusional untuk berpendapat, berkumpul, dan berserikat secara damai.

Kriminalisasi ini menimbulkan iklim ketakutan yang menghambat ruang partisipasi masyarakat Papua dalam kehidupan politik dan sosial. Pembubaran paksa pertemuan, intimidasi, hingga ancaman kekerasan terhadap aktivis merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28E UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, dan menyampaikan pendapat.

Pembatasan akses jurnalis independen ke Papua memperparah kondisi pelanggaran HAM. Hak warga untuk mendapatkan informasi yang benar, sesuai Pasal 28F UUD 1945, terhambat. Banyak jurnalis mengalami intimidasi dan kekerasan saat meliput, sehingga informasi tentang pelanggaran HAM tidak tersebar luas.

Dominasi narasi resmi negara menghalangi masyarakat internasional dan nasional untuk mengetahui fakta di lapangan. Kondisi ini menciptakan kesenjangan informasi dan memperkuat impunitas pelanggar HAM.

Pelanggaran HAM yang terus berlangsung di Papua berdampak luas terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Anak-anak dan perempuan menjadi kelompok paling rentan terhadap kekerasan fisik dan psikologis. Ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan dan pemerintah pusat semakin tinggi, menghambat pembangunan dan menciptakan konflik sosial yang berkepanjangan.

Solusi atas pelanggaran HAM di Papua harus berlandaskan konstitusi dan prinsip negara hukum. Penyelesaian Kasus Kekerasan – Mengusut tuntas kasus penembakan dan kekerasan, serta memastikan pelaku diadili sesuai hukum. Hal ini selaras dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tentang perlindungan hak hidup dan keamanan warga.

Pembebasan Tahanan Politik – Meninjau kembali status tahanan politik, menghormati hak berpendapat dan kebebasan politik sesuai Pasal 28E UUD 1945. Kebebasan Pers dan Informasi – Memberikan akses jurnalis independen untuk meliput Papua secara aman, sesuai Pasal 28F UUD 1945. Dialog dan Rekonsiliasi – Membangun dialog inklusif antara pemerintah, masyarakat Papua, dan organisasi masyarakat sipil, sesuai prinsip musyawarah dan keadilan sosial.

Peningkatan perlindungan HAM, memperkuat lembaga independen yang dapat menindaklanjuti pelanggaran HAM secara efektif, selaras dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Dampak sosial budaya

Tanah adat bagi orang Papua jauh melampaui fungsi ekonomi semata. Ia merupakan pusat identitas, sejarah, dan spiritualitas komunitas. Setiap bukit, sungai, dan hutan memiliki makna sakral; banyak tempat yang menjadi situs ritual dan pengingat leluhur. Ketika tanah ini dirampas untuk proyek strategis nasional (PSN), perkebunan sawit, atau kegiatan pertambangan, yang hilang bukan sekadar sumber pangan atau mata pencaharian, tetapi juga warisan budaya yang menegaskan eksistensi masyarakat Papua. Kehilangan tanah berarti kehilangan ruang untuk melaksanakan upacara adat, menjaga tradisi, dan menurunkan nilai-nilai leluhur ke generasi berikutnya.

Kebijakan transmigrasi yang terus digalakkan menambah dimensi konflik dan marginalisasi. Orang asli Papua kerap tersingkir dari ruang ekonomi yang strategis, kehilangan akses ke pasar tenaga kerja, dan kesulitan bersaing dalam sistem ekonomi formal yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena ini menyebabkan pergeseran demografis: komunitas pendatang tumbuh pesat, sementara orang Papua secara perlahan menjadi minoritas di tanah leluhurnya sendiri. Akibatnya, hak atas tanah adat tidak hanya menjadi persoalan ekonomi, tetapi juga politik dan sosial, karena melemahkan kapasitas komunitas untuk mempertahankan identitas, kedaulatan lokal, dan hak-hak dasar mereka.

Dengan demikian, perampasan tanah adat bukan sekadar persoalan material, tetapi serangan terhadap eksistensi budaya dan spiritual orang Papua. Kebijakan pembangunan yang tidak mempertimbangkan hak masyarakat adat berpotensi menciptakan alienasi, konflik sosial, dan kerusakan lingkungan yang mengancam keseimbangan hidup jangka panjang masyarakat Papua..

Dalam kondisi sosial-politik Papua Selatan yang sarat tantangan dan ketidakadilan, Komasdeling Papsel hadir sebagai jawaban kolektif atas kebutuhan rakyat untuk bersuara. Ia bukan sekadar organisasi biasa, melainkan wadah perjuangan bersama yang menyatukan berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap nasib tanah dan rakyatnya.

Tujuan Komadeling Papsel jelas dan tegas: membela demokrasi yang sejati, melindungi lingkungan hidup yang terancam, serta memperjuangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat adat yang sering terpinggirkan.

Keberadaan KOMASDELING PAPSEL lebih dari sekadar simbol perlawanan; ia menjadi ruang persatuan strategis bagi organisasi mahasiswa, komunitas masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan individu-individu yang menaruh perhatian pada keadilan sosial. Melalui wadah ini, setiap suara, aspirasi, dan upaya kolektif diakui dan dihargai, sehingga tindakan perlawanan tidak dilakukan secara parsial, melainkan sebagai gerakan yang terkoordinasi dan terarah.

Lebih jauh, Komasdeling Papsel mempraktikkan prinsip perjuangan sipil yang sah: dialog terbuka, kampanye kesadaran, dan aksi kolektif yang tetap menghormati hukum serta nilai-nilai kemanusiaan. Kehadirannya menegaskan keyakinan bahwa perubahan tidak lahir dari individu semata, melainkan dari solidaritas masyarakat yang bersatu untuk menuntut keadilan.

Dengan demikian, organisasi ini tidak hanya berfungsi sebagai pelindung hak-hak rakyat Papua Selatan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan politik dan sosial, membangun kesadaran kolektif akan pentingnya demokrasi, lingkungan yang lestari, dan penghormatan terhadap budaya lokal.

Komasdeling Papsel membuktikan bahwa ketika komunitas bersatu dalam perjuangan yang sah dan terencana, rakyat dapat menjadi agen perubahan yang nyata. Ia adalah wujud dari kepercayaan bahwa masa depan Papua Selatan-yang lebih adil, berkelanjutan, dan merdeka secara budaya dapat diraih melalui kekuatan kolektif, persatuan, dan aksi yang berintegritas.

Deklarasi Komasdeling Papsel memuat daftar tuntutan luas yang menyentuh aspek demokrasi, HAM, lingkungan, ekonomi, hingga sosial budaya.

Perjuangan Komasdeling Papsel menegaskan satu hal yang tak bisa diabaikan: rakyat Papua tidak akan tinggal diam. Mereka terus bersuara, meski sering kali suara itu dibungkam melalui intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi. Sejarah panjang konflik Papua telah menunjukkan bahwa represi dan kebijakan sepihak hanya memperburuk situasi, memperpanjang penderitaan, dan mengikis kepercayaan rakyat terhadap negara. Jalan perjuangan ini memang panjang, berliku, dan penuh risiko, namun inilah jalan satu-satunya untuk mencapai demokrasi yang sejati—demokrasi yang menghormati martabat manusia, hak-hak masyarakat adat, dan kebebasan berpendapat.

Sejak masa kolonial hingga pasca integrasi Papua ke Indonesia, rakyat Papua kerap diabaikan dalam menentukan nasibnya sendiri. Perjanjian New York (1962) dan mekanisme penentuan pendapat rakyat yang dikenal dengan Pepera (1969) banyak dikritik karena prosesnya tidak sepenuhnya demokratis dan kurang melibatkan representasi sah dari masyarakat adat. Akibatnya, banyak kelompok merasa suara mereka tidak pernah dihargai, dan ketidakadilan itu terus diwariskan hingga generasi kini. Komasdeling Papsel muncul di tengah sejarah panjang ini sebagai bukti nyata bahwa rakyat Papua Selatan masih percaya pada kekuatan kolektif untuk menuntut keadilan.

Negara Indonesia harus belajar mendengar, bukan membungkam. Kebijakan sepihak, tanpa melibatkan rakyat Papua dalam setiap keputusan yang menyangkut kehidupan mereka, hanya memperpanjang luka dan konflik. Rezim yang mengedepankan kekerasan sebagai solusi akan selalu menghadapi resistensi. Sebaliknya, dialog yang tulus, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, penghentian kekerasan, dan implementasi kebijakan yang adil adalah prasyarat bagi terciptanya Papua yang damai, bermartabat, dan berkeadilan. Kesadaran ini penting, karena setiap tindakan represif terhadap rakyat yang menuntut haknya tidak hanya menimbulkan trauma, tetapi juga merusak kepercayaan rakyat terhadap institusi negara.

Komassdeling Papsel adalah lentera kecil di tengah gelapnya demokrasi hari ini. Ia menyalakan harapan bagi mereka yang telah lama mengalami marginalisasi dan ketidakadilan. Deklarasi yang dikeluarkan bukan sekadar dokumen politik formal, melainkan jeritan hati rakyat Papua Selatan. Deklarasi ini menyuarakan penderitaan mereka sekaligus menegaskan harapan: menolak perampasan tanah, menentang pembungkaman, dan menuntut keadilan yang selama ini terasa jauh dari jangkauan.

Perjuangan rakyat Papua Selatan tidak berdiri sendiri. Ia sejalan dengan perjuangan komunitas adat di seluruh dunia yang menghadapi ancaman serupa: hilangnya tanah, budaya, dan ruang demokrasi akibat kerakusan modal, dominasi negara, dan kepentingan bisnis yang tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas, budaya, dan sejarah kolektif mereka. Kehilangan tanah berarti hilangnya warisan, hilangnya mata pencaharian, bahkan hilangnya cara hidup yang telah dijaga turun-temurun.

Dukungan terhadap Komasdeling Papsel berarti dukungan terhadap demokrasi yang sejati, keadilan yang konkret, dan kemanusiaan yang hakiki. Demokrasi hanya bisa hidup bila setiap suara rakyat, sekecil apa pun, didengar dan dihargai. Setiap langkah, setiap aksi, dan setiap deklarasi rakyat Papua Selatan adalah pengingat bahwa keadilan tidak bisa ditunda, dan kebebasan tidak bisa dikompromikan. Mereka memperjuangkan bukan hanya masa kini, tetapi juga masa depan anak-anak Papua, agar hak atas tanah, budaya, dan demokrasi tetap terjaga.

Perjuangan ini juga mencerminkan pentingnya pengakuan hukum internasional terhadap hak masyarakat adat. Berbagai instrumen global, seperti Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP), menekankan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk mengendalikan tanah, sumber daya alam, dan kehidupan sosial-budayanya. Komasdeling Papsel bergerak selaras dengan prinsip-prinsip ini: menuntut hak yang telah lama diabaikan dan menolak segala bentuk marginalisasi.

Selain aspek hukum dan politik, perjuangan Komasdeling Papsel juga menekankan pentingnya solidaritas sosial. Kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi tidak boleh menjadi penghalang bagi rakyat untuk bersatu dan menyuarakan aspirasi mereka. Solidaritas antar komunitas adat, dukungan organisasi masyarakat sipil, hingga perhatian dunia internasional menjadi faktor penting agar suara rakyat Papua tidak hilang ditelan kepentingan politik atau ekonomi.

Deklarasi Komasdeling Papsel adalah panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk membuka telinga, hati, dan pikiran. Negara, masyarakat, dan dunia harus menyadari bahwa keadilan bukan sekadar slogan, melainkan tanggung jawab kolektif. Mendukung mereka berarti menegakkan prinsip dasar kemanusiaan: setiap rakyat berhak hidup aman, bermartabat, dan bebas mengekspresikan diri tanpa takut dibungkam.

Rakyat Papua Selatan, melalui Komasdeling Papsel, mengingatkan kita semua bahwa perjuangan demokrasi tidak hanya terjadi di parlemen atau kantor pemerintah, tetapi juga di jalan-jalan desa, di lembah pegunungan, dan di hutan-hutan yang menjadi saksi bisu keteguhan mereka. Perjuangan ini menuntut pengakuan terhadap hak mereka, perlindungan atas tanah dan budaya, serta jaminan bahwa suara mereka dihormati dalam setiap kebijakan.

Dengan menegakkan hak-hak ini, Indonesia bukan hanya menghormati Papua, tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi nasional. Demokrasi sejati tidak bisa dibangun dengan memaksakan kehendak mayoritas atau kekuasaan negara semata, tetapi melalui penghormatan pada hak-hak minoritas, pengakuan terhadap perbedaan, dan keadilan yang merata bagi seluruh rakyat. Komasdeling Papsel menjadi simbol bahwa perubahan itu mungkin, bila rakyat berani bersuara, bersatu, dan menuntut haknya dengan tegas namun damai. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *