Oleh: Adinda Nurwita Oktavia
beritabernas.com – Yogyakarta sebagai kota pelajar dan budaya telah mengalami perubahan gaya hidup yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu fenomena yang menonjol adalah menjamurnya coffee shop di berbagai sudut kota.
Tren nongkrong di coffee shop bukan lagi sekadar kebutuhan akan secangkir kopi, melainkan telah menjadi bagian dari gaya hidup, terutama di kalangan mahasiswa. Namun, di balik suasana nyaman dan estetika yang ditawarkan, terdapat dampak finansial yang tidak bisa diabaikan, terutama bagi para mahasiswa.
Seiring dengan pertumbuhan jumlah perguruan tinggi dan mahasiswa yang datang dari berbagai daerah, muncul pula kebutuhan akan tempat-tempat berkumpul yang nyaman dan mendukung aktivitas belajar. Coffee shop hadir sebagai jawaban atas kebutuhan tersebut. Tidak hanya sebagai tempat minum kopi, coffee shop di Yogyakarta menawarkan suasana yang nyaman, Wi-Fi gratis dan lingkungan yang cocok untuk berdiskusi, belajar, atau sekadar bersantai.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah coffee shop di Yogyakarta meningkat pesat. Banyak di antaranya menawarkan konsep unik dan desain interior yang Instagramable, menarik minat para mahasiswa untuk berkunjung dan menghabiskan waktu di sana. Tak jarang, coffee shop menjadi tempat favorit untuk mengerjakan tugas, rapat kelompok, atau bahkan mengadakan acara kecil.
Gaya hidup mahasiswa
Bagi banyak mahasiswa, nongkrong di coffee shop telah menjadi bagian dari rutinitas harian. Dengan harga secangkir kopi yang bervariasi, mulai dari belasan hingga puluhan ribu rupiah, pengeluaran ini bisa menjadi beban tersendiri bagi keuangan mahasiswa. Seringkali, kebutuhan akan suasana nyaman dan tren gaya hidup mengalahkan pertimbangan finansial.
BACA JUGA:
- Menelusuri Jejak Kopi Arabika di Perbukitan Manggarai Flores
- Dinamika Pasar Properti di Yogyakarta, Antara Investasi atau Hunian
- Menyelami Potensi Wisata Rowo JomborĀ
Jika diasumsikan seorang mahasiswa menghabiskan Rp 25.000 untuk satu kali kunjungan ke coffee shop dan melakukan ini sebanyak tiga kali dalam seminggu, maka dalam sebulan pengeluaran tersebut bisa mencapai Rp 300.000. Bagi mahasiswa yang mengandalkan uang saku atau beasiswa, jumlah ini cukup signifikan dan bisa berdampak pada pengelolaan keuangan secara keseluruhan.
Pengeluaran rutin untuk nongkrong di coffee shop dapat menyebabkan mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengatur keuangan. Uang yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain seperti buku, alat tulis atau kegiatan akademis lainnya, justru habis untuk memenuhi gaya hidup. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat mempengaruhi pola pengelolaan keuangan mahasiswa dan mempengaruhi kebiasaan finansial mereka di masa depan.
Selain itu, tren ini juga dapat memicu perilaku konsumtif. Mahasiswa mungkin merasa perlu mengikuti tren untuk tetap dianggap di lingkungan sosial mereka. Perilaku konsumtif ini bisa berlanjut hingga mereka memasuki dunia kerja, di mana pengeluaran untuk kebutuhan non-esensial bisa terus meningkat jika tidak diimbangi dengan kesadaran finansial yang baik.
Mencari keseimbangan
Meski demikian, tidak ada salahnya menikmati secangkir kopi di coffee shop sesekali. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mahasiswa dapat mengatur keuangan mereka dengan bijak, sehingga gaya hidup tersebut tidak mengorbankan kebutuhan lain yang lebih penting.
Membuat anggaran bulanan dan menetapkan batas pengeluaran untuk nongkrong di coffee shop dapat menjadi langkah awal yang baik. Selain itu, mahasiswa juga bisa mencari alternatif tempat belajar atau berkumpul yang lebih ekonomis, seperti perpustakaan kampus atau ruang terbuka. (Adinda Nurwita Oktavia, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Universitas Sanata Dharma. Sumber referensi: Kompas. (2023, Maret 10) dan Detik. (2023, Februari 20).
There is no ads to display, Please add some