Oleh: Sesa Malinda, Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta
beritabernas.com – Pelecehan tidak selalu meninggalkan bekas fisik, namun selalu terukir dalam ingatan korban, berulang-ulang, penuh rasa sakit dan semakin berat seiring waktu. Ironisnya, masyarakat sering menilai perempuan lebih cepat daripada mendengarkan pengalaman mereka.
Ketika seorang perempuan berani berbicara, ia dianggap berlebihan. Ketika ia menangis, ia dilabeli mencari perhatian. Ketika ia mengungkapkan kebenaran, pertanyaan yang muncul adalah “Mengapa kamu berada di sana?” atau “Apa yang kamu kenakan saat itu?” seolah logika patriarki merasa berhak menentukan siapa yang pantas disebut korban.
Ketenangan yang muncul dari situasi seperti ini bukanlah kelemahan. Itu adalah ketenangan yang dipaksakan oleh sistem sosial yang mendistorsi realitas. Ketenangan ini muncul karena setiap kata bisa menjadi senjata untuk menyalahkan. Dan di balik ketenangan ini, ada seorang wanita yang belajar menahan air mata, menyembunyikan luka batin, dan berpura-pura kuat untuk bertahan hidup di dunia yang enggan mendengarkan.
Kita harus berhenti menormalisasi keheningan yang muncul dari ketidakadilan. Setiap kali seorang wanita dipaksa untuk diam, dunia sebenarnya memperluas kekerasan dengan menyamar sebagai “moralitas” dan “kesopanan”.
Dunia lebih pandai menyalahkan daripada mendengar
Dalam masyarakat yang sering mengabaikan penderitaan perempuan, kita perlu bertanya, sampai kapan perempuan akan terus menanggung rasa bersalah atas tindakan orang lain?
Data global menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidup mereka, yang jumlahnya sekitar 736 juta perempuan di seluruh dunia (WHO, 2021). Namun, di balik angka-angka ini tersembunyi kesepian yang mendalam, bukan karena luka yang tak terlihat, tetapi karena dipaksa untuk diam telah menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa.
Ketika wanita berani bersuara untuk berbagi pengalaman mereka, masyarakat sering terburu-buru menghakimi daripada memahami. Alih-alih bertanya, “bagaimana perasaanmu?”, pertanyaan yang muncul justru “mengapa kamu sendirian?”, “apa yang kamu kenakan?”, seolah-olah korban yang menciptakan situasi kekerasan itu. Di sisi lain, wanita terus-menerus menghidupkan kembali pengalaman absurd tersebut dalam pikiran mereka, bukan karena pelaku mengingatnya, tetapi karena tubuh dan jiwa mereka terus mengingatnya.
Mengapa kita membiarkan budaya menyalahkan korban menjadi hal yang normal? Penelitian menunjukkan bahwa di tempat kerja, 8% wanita yang berpartisipasi dalam survei global melaporkan mengalami intimidasi atau pelecehan seksual, dan ini hanya mencakup ‘kasus yang dilaporkan’ (Gallup.com, 2022).
Ini berarti banyak yang tidak pernah memiliki kesempatan untuk menceritakan kisah mereka, dan banyak yang memilih untuk tetap diam bukan karena mereka tidak merasa terluka, tetapi karena mereka menyadari bahwa ketika mereka berbicara, yang diharapkan bukanlah keadilan, tetapi keraguan dan pelecehan yang terus berlanjut dalam bentuk lain.
Oleh karena itu, ketika kita membahas ketidakberdayaan yang disebabkan oleh ketidakadilan sosial, kita tidak hanya berbicara tentang keheningan, kita sedang membahas sebuah sistem yang membuat perempuan merasa harus menahan diri agar menjadi “lebih nyaman” bagi masyarakat. Setiap kali suara ditekan, kita semua kehilangan sebagian dari kisah kebenaran yang seharusnya didengar.
Sebagai seorang wanita yang benar-benar memahami bahwa keberanian tidak hanya terletak pada menyampaikan pendapat tetapi juga dalam menyampaikan kebenaran yang terhalang oleh norma sosial, saya ingin menekankan pemahaman bahwa diam seorang wanita bukanlah tanda kelemahan, melainkan reaksi yang muncul dari sistem yang tidak mampu mendengarkan.
Ketika seorang wanita mengalami pelecehan atau kekerasan, dampaknya sering kali tidak muncul secara fisik, tetapi tersimpan di dalam pikirannya, berulang-ulang seperti pita yang tidak pernah berhenti. Dia tidak memilih untuk tetap diam karena tidak merasakan sakit, tetapi karena dia menyadari bahwa ketika dia bersuara, dunia memiliki caranya sendiri dalam menilai, ‘Kenapa kamu pulang sendiri?’ ‘Apa yang kamu kenakan?’
Realitas ini lebih cenderung menyalahkan daripada memberikan perhatian yang layak dia terima. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hampir satu dari tiga wanita di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidup mereka.
Dengan data ini, jelas bahwa kesunyian perempuan bukan karena mereka tidak merasakan sakit, melainkan karena rasa sakit itu sering diabaikan atau asal-usulnya dipertanyakan. Memilih untuk tetap diam menjadi keputusan yang dibentuk oleh keadaan, ketika suara kita tidak dianggap penting, kita secara alami belajar untuk menahannya. Struktur sosial yang menekankan norma patriarki dan moralitas mengasumsikan bahwa mengungkapkan pengalaman berarti seseorang harus bertanggung jawab, padahal beban tanggung jawab seharusnya ada pada pelaku, bukan korban.
Oleh karena itu, ketika kita membahas perempuan yang dipaksa untuk memilih diam, marilah kita menelusuri penyebab utamanya, diam mungkin merupakan pilihan rasional bagi mereka yang tahu bahwa berbicara dapat membuka pintu untuk disalahkan, dipermalukan, atau dipertanyakan, seolah-olah luka mereka harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum menerima empati.
Baca juga:
- Otentisitas Kebudayaan Daerah Semakin Punah
- Psikologi Sosial dan Fenomena Intoleransi
- DPR: Wakil Rakyat atau Musuh Rakyat? Sebuah Ironi Bangsa
- Kekerasan yang Melekat Sejak Lahir: Nasib Anak dari Perkawinan Paksa dan Pemerkosaan
Dengan kata lain, diam bukanlah tanda ketidakberdayaan, melainkan respons kritis terhadap ketidakadilan yang ada. Sebagai masyarakat yang bertujuan untuk adil, kita perlu berhenti menolak kenyataan bahwa keputusan seorang perempuan untuk tidak berbicara dapat menjadi sinyal bahwa sistem kita telah gagal.
Normalisasi kebisuan adalah wajah kekerasan baru
Sebagai seorang wanita yang menolak untuk terus-menerus membungkam suaranya demi ‘kenyamanan’ orang lain, saya menekankan bahwa normalisasi keheningan adalah bentuk kekerasan sosial yang baru. Ketika wanita memilih untuk tidak berbicara setelah mengalami pelecehan atau kekerasan, itu bukan tanda bahwa mereka kalah atau tidak merasakan sakit, tetapi karena sistem sosial menganggap diam sebagai satu-satunya respons yang dapat diterima.
Data global menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga wanita pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidup mereka. Namun, banyak dari kasus ini tidak pernah dilaporkan, tidak pernah diungkapkan, dan seringkali ketika cerita itu mulai muncul, ia bertemu dengan respons seperti ‘Anda bereaksi berlebihan,’ padahal yang seharusnya dipertanyakan adalah pelaku dan struktur yang memungkinkan luka-luka ini tetap tersembunyi.
Mari kita pikirkan logika di balik ini: jika seseorang terluka akibat tindakan orang lain, dan sosial, keluarga, teman, atau institusi lebih memilih untuk membungkam daripada mendengarkan, maka memilih untuk diam menjadi strategi bertahan hidup. Seringkali perempuan dipaksa untuk memilih antara berbicara atau akan menghadapi tuduhan balik, “Apa yang kamu kenakan?”, “Mengapa kamu pulang sendiri? “, “Mengapa tidak meminta bantuan?”.
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya tidak masuk akal, hal tersebut juga merupakan bentuk kekerasan tambahan yang menormalisasi kebisuan. Penelitian kualitatif mengenai gerakan #WhyIDidntReport menunjukkan bahwa banyak korban cenderung tidak melapor karena takut dianggap “berdrama”, “berlebihan” atau malah disalahkan.
Menghadapi kenyataan ini, kita tidak bisa hanya meminta perempuan untuk berbicara, kita harus mengubah lingkungan yang memaksa mereka untuk diam. Jika diam dianggap sebagai norma, luka-luka itu akan tetap tidak tertangani, trauma akan tetap terkubur dalam kesunyian, dan para korban akan terus membawa beban yang tak terlihat. Diam yang dipaksakan bukanlah tanda pengecut. Sebaliknya, itu adalah bentuk adaptasi terhadap ketidakadilan yang lebih besar. Oleh karena itu, membongkar budaya diam adalah langkah penting menuju keadilan dan penyembuhan.
Diam tidak pernah netral. Diam bisa menjadi bentuk perlawanan, tetapi lebih sering itu adalah tanda bahwa sistem gagal menyediakan ruang aman bagi perempuan untuk berbicara. Di Indonesia, sepanjang tahun 2023, terdapat lebih dari 400.000 laporan kekerasan terhadap perempuan, 57% di antaranya adalah kekerasan seksual, dan angka ini hanya mencakup kasus yang secara resmi terdaftar (Komnas Perempuan, 2024). Statistik ini bukan sekadar angka, ini mencerminkan masyarakat yang lebih cepat menilai daripada mencoba memahami, dan lebih fokus pada melindungi reputasi daripada mengejar kebenaran.
Jika dunia terus mengharapkan perempuan untuk tetap diam demi menjaga perdamaian sosial, maka kita justru memperkuat kekerasan dengan cara yang lebih halus. Diam yang dipaksakan bukanlah bentuk kedamaian, itu adalah bentuk ketidakadilan yang dibungkus rapi dalam budaya patriarki. Sudah saatnya berhenti mendorong perempuan untuk menahan diri dalam diam dan mulai membangun sistem yang responsif terhadap suara mereka. Keadilan sejati tidak diukur dari seberapa diam korban menanggung penderitaan, tetapi dari seberapa serius masyarakat merespons suara mereka.
Kita tidak membutuhkan dunia yang nyaman bagi para pelaku, tetapi dunia yang aman bagi perempuan untuk berkata, ‘Saya tidak baik-baik saja, dan kali ini, saya tidak akan tetap diam.’ (*)
There is no ads to display, Please add some