beritabernas.com – Sejumlah lembaga hukum seperti PUSHAM UII, PSHK FH UII, Departemen HTN FH UII, PK2P UMY dan APHTN-HAN DIY mendesak DPR RI untuk membatalkan pencopotan Prof Aswanto dari Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus menganulir pengangkatan Prof Guntur Hamzah menjadi Hakim MK.
Jika DPR tetap bersikukuh dengan sikapnya, maka Presiden Joko Widodo harus menganulir pengangkatan Prof Guntur Hamzah dengan tidak menerbitkan atau menolak mengeluarkan Keppres Pemberhentian Prof Aswanto sebagai Hakim Konstitusi dan Keppres pengangkatan Prof Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi.
“Dalam jangka panjang, masing-masing lembaga baik DPR, pemerintah dan MA perlu merumuskan model serta format seleksi Hakim Konstitusi sesuai prinsip transparan, partisipatif, objektif dan akuntabel sesuai yang telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU MK,” kata Eko Riyadi SH MH, Direktur Pusham UII, membacakan tuntutan lembaga-lembaga tersebut dalam jumpa pers di Kampus FH UII, Kamis 6 Oktober 2022.
Baca juga:
- PSHI UII Kaji Kerangka Hukum Perkawinan Beda Agama dan Kepercayaan di Indonesia
- Perlu Upaya Serius dan Sistemik untuk Pembaharuan Paradigma Sistem Pengampuan
Menurut Prof Dr Ni’Matul Huda SH M.Hum, Ketua APHTN-HAN DIY, tuntutan itu disampaikan karena alaasan pencopotan Prof Aswanto sebagai Hakim Konstitusi tidak jelas, sementara pengangkatan Prof Guntur Hamzah tidak sesuai prosedur dan mekanisme yang benar sesuai yang diatur dalam UU MK.
Dikatakan, mekanisme penggantian Hakim Mahkamah Konstitusi seharusnya dilakukan secara transparan, partisipatif, objektif dan akuntabel sesuai Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU MK. Sementara kewenangan DPR untuk memilih calon hakim MK bukanlah kewenangan mutlak yang tidak terikat pada asas dan norma perundang-undangan.
Selain soal mekanisme pencalonan, menurut Prof Ni’Matul, ada norma tentang masa jabatan yang harus dihormati dan diikuti. “Proses pemberhentian Prof Aswanto dan pengangkatan Prof Guntur Hamzah telah menciderai prinsip dan mekanisme pemilihan hakim MK. Oleh karenanya harus dinyatakan cacat hukum,” tegas Prof Ni’Matul.
Sementara Dr Sri Hastuti Puspitasari SH MH, Dosen Hukum Tata Negara FH UII, mengatakan pengangkatan Prof Guntur Hamzah menjadi Hakim MK tanpa melalui proses seleksi telah menghilangkan ruang bagi publik untuk memberikan masukan terkait rekam jejaknya.
Selain itu, publik tidak memiliki akses terhadap gagasan-gagasannya terkait masa depan kelembagaan MK. Pengangkatan tanpa seleksi juga menutup peluang dan kemungkinan warga negara lain yang memenuhi syarat untuk menjadi hakim MK.
“Tindakan demikian menciderai semangat untuk menjunjung tinggi kesamaan hak di depan hukum dan pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi,” tegas Dr Sri Hastuti Puspitasari.
Dr Idul Rishan SH LLM, Dosen Hukum Tata Negara FH UII, menambahkan, apa yang dilakukan DPR di luar batas kewenangan atau telah melampaui batas. “MK adalah Lembaga Negara yang eksistensinya diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK bersifat independen, tidak ada hubungan dan bukan merupakan bagian dari DPR. Argumentasi bahwa hakim MK harus mewakili kepentingan lembaga pengusul, dalam hal ini DPR, adalah argumentasi yang keliru bahkan sesat,” tegas Dr Idul Rishan.
Dikatakan, sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa setiap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan, termasuk DPR dan Presiden, wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
“Keputusan dan tindakan DPR mencopot Prof Aswanto merupakan bentuk dan tindakan yang melampaui kewenangan karena bertentangan dengan UU MK,” tegas Dr Idul Rishan. (lip)
There is no ads to display, Please add some