DPR: Wakil Rakyat atau Musuh Rakyat? Sebuah Ironi Bangsa

Oleh: Rahma Hairunnisa Regita Putri, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Di tengah hiruk pikuk pasar tradisional, di antara desahan para ibu yang sibuk membandingkan harga minyak goreng dan telur dan cerita para bapak yang bingung mencari cara agar uang belanja cukup untuk kebutuhan sekolah anak, berdiri sebuah ironi besar bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga yang konon katanya mewakili suara rakyat itu, kini justru lebih mirip menara gading: tinggi, megah dan berkilau dari jauh, tapi dingin, jauh dan asing bagi mereka yang lapar di bawahnya.

Pertanyaan yang menggantung di udara dan semakin sulit dijawab adalah: apakah mereka masih pantas disebut wakil rakyat, atau sebenarnya sudah menjelma menjadi musuh rakyat? Sebab apa gunanya disebut wakil, kalau lebih sibuk mewakili isi dompetnya sendiri ketimbang jeritan konstituennya?

Kenyataan yang terpampang sungguh menampar. Gaji dan tunjangan anggota DPR bukan sekadar cukup, tapi lebih pantas disebut “fantastis”. Tunjangan komunikasi, tunjangan konstituen, tunjangan kehormatan bahkan namanya saja sudah terdengar seperti judul novel satir. Jangan lupakan mobil dinas, rumah dinas, hingga akomodasi kelas satu yang membuat rakyat bertanya: “Apa mereka bekerja sebagai wakil rakyat, atau hanya menikmati uang pajak hasil keringat rakyat?”

Ratusan juta rupiah mengalir setiap bulan ke rekening mereka, sementara di sisi lain BPS mencatat garis kemiskinan yang masih panjang. Guru honorer masih mengais rupiah, perawat berjibaku dengan minim insentif, petani menjerit harga gabah murah, nelayan tercekik biaya solar. Ironinya, rakyat harus berhemat setengah mati demi bertahan hidup, sementara wakil mereka asyik berpesta tunjangan.

Kinerja nol besar, rakyat membayar mahal

Masalahnya bukan hanya pada angka yang fantastis, melainkan jurang yang lebar antara bayaran dan kinerja. Rakyat sudah rela membayar mahal, berharap kebijakan berpihak. Tapi yang tampak di layar televisi justru ruang sidang kosong, kursi melompong, atau anggota dewan yang sibuk scroll ponsel dan menguap di jam kerja. Jika malas ini bisa diuangkan, mungkin DPR sudah jadi lembaga terkaya di dunia.

Undang-undang yang dibutuhkan rakyat seringkali mandek, tertunda, atau justru disusun secara terburu-buru dengan pasal-pasal bermasalah. Alih-alih menjadi benteng demokrasi, DPR kerap berubah jadi arena tawar-menawar kepentingan politik. Skandal korupsi? Jangan ditanya, jumlahnya sudah cukup untuk membuat serial panjang di Netflix.

Baca juga:

Ketika kata-kata tidak lagi didengar, rakyat memilih bahasa terakhir: demonstrasi, kericuhan, bahkan amarah yang meledak dalam bentuk pembakaran gedung DPR. Simbol yang seharusnya menjadi rumah rakyat, kini hangus dilalap api kekecewaan. Lebih menyakitkan lagi, rumah-rumah pribadi anggota dewan ikut dijarah. Ini bukan sekadar kericuhan, melainkan pesan paling telanjang: rakyat sudah muak, dan mereka tidak lagi melihat DPR sebagai pelindung, melainkan musuh.

Bahwa gedung megah bisa dibakar, dan rumah mewah bisa dijarah, adalah alarm paling keras. Sebuah bangsa yang dibiarkan frustrasi pada akhirnya akan mencari cara ekstrem untuk didengar. Dan jika DPR masih berpura-pura tuli, jangan salahkan rakyat ketika kata “wakil” berubah makna menjadi “pengkhianat”.

Memutus mata rantai ironi

Apakah semua ini masih bisa diselamatkan? Tentu. Tapi itu butuh keberanian, bukan basa-basi. Transparansi total, biarkan rakyat tahu berapa sepeser uang yang mereka makan dari pajak. Kemudian juga kinerja terukur: tidak kerja, tidak gaji. Sederhana. Turun ke lapangan bukan hanya saat kampanye, tapi setiap saat. Dengarkan rakyat, rasakan debu jalanan, hirup udara pasar, dan singkirkan parfum gedung ber-AC. Dan reformasi total gaji dan tunjangan harus dipangkas. Solidaritas bukan slogan, tapi tindakan nyata.

Pada akhirnya, persoalan ini bukan sekadar angka gaji atau tunjangan. Ini soal legitimasi moral. Gedung DPR yang terbakar adalah cermin retak dari demokrasi kita. Sebuah pesan pahit bahwa kesabaran rakyat ada batasnya.

Jika anggota DPR masih ingin disebut wakil rakyat, saatnya mereka turun dari singgasana, menanggalkan kemewahan, dan bekerja sungguh-sungguh. Jika tidak, sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai wakil, tapi sebagai tuan feodal baru yang kenyang makan dari keringat rakyat, lalu mati ditelan amarah rakyat itu sendiri.

Bangsa ini tidak butuh wakil yang berpesta di atas penderitaan. Bangsa ini butuh pemimpin yang rendah hati, yang mau kotor tangannya, yang telinganya terbuka, dan yang hatinya masih berpihak. Karena kalau tidak, pertanyaan ini akan tetap menghantui: DPR itu wakil kami, atau musuh kami? (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *