beritabernas.com – Kepala Pusat Studi Forensika Digital UII Dr Yudi Prayudi M.Kom mengatakan, Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU yang memanfaatkan teknologi Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Mark Recognition (OMR) untuk mengonversi gambar menjadi data teks dapat mengalami kesalahan pembacaan data.
Menurut Dr Yudi Prayudi, hal ini bisa disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, kualitas gambar yang rendah. Kualitas gambar yang buruk seperti gambar yang buram, terlalu gelap atau terang atau memiliki resolusi yang rendah dapat menyulitkan sistem OCR dan OMR dalam mengenali teks atau marka dengan akurat.
Kedua, sudut pengambilan gambar. Gambar yang diambil dari sudut yang tidak tepat dapat menyebabkan distorsi teks atau marka, sehingga sistem kesulitan untuk melakukan pengenalan dengan benar.
Ketiga, format teks atau marka. Variasi dalam format teks (seperti jenis font, ukuran dan gaya) atau cara marka dibuat (misalnya, tanda silang atau bulatan yang tidak jelas) dapat mengganggu proses pengenalan oleh sistem OCR dan OMR.
Keempat, kesalahan manusia saat pengunggahan. Kesalahan manusia, seperti memilih file yang salah atau memotong bagian penting dari gambar, juga dapat mempengaruhi hasil pembacaan data. Kelima, interferensi atau noise pada gambar. Kehadiran noise seperti bercak, lipatan kertas atau objek asing lainnya pada gambar dapat mengganggu proses pengenalan karakter atau marka.
Keenam, limitasi teknologi OCR dan OMR. Meskipun teknologi OCR dan OMR telah berkembang pesat, masih terdapat batasan dalam akurasi dan kemampuannya untuk mengenali teks atau marka dalam kondisi tertentu.
BACA JUGA:
Ketujuh, variabilitas dalam C Plano. Perbedaan dalam cara C Plano diisi atau ditandatangani (misalnya, tinta yang luntur atau tanda tangan yang menutupi teks) bisa menyulitkan sistem untuk menginterpretasi informasi dengan akurat.
Kedelapan, kesalahan dalam algoritma pengolahan data. Kesalahan dalam desain algoritma yang digunakan untuk memproses data dari gambar ke teks atau marka dapat menyebabkan kesalahan dalam interpretasi hasil. Karena itu, bila kejanggalan yang terjadi pada hasil Sirekap disebabkan oleh dua faktor kesalahan yaitu aspek human error pengisian data dan akurasi dalam hal pembacaan hasil OCR/OMR
Formulir C Hasil, kesalahan tersebut tidak dimaknai sebagai bentuk kecurangan dalam proses rekapitulasi hasil Pemilu.
Menurut Yudi Prayudi, proses verifikasi dan validasi data berjenjang dari mulai tingkat kecamatan hingga nasional menjadi kontrol terhadap adanya ketidaksesuaian data yang muncul di webite rekapitulasi KPU. Petugas Validator dan Supervisor di setiap jenjang rekapitulasi seharusnya dapat melakukan perbaikan data apabila ditemukan adanya kesalahan tersebut dan kemudian melakukan perbaikan data sesuai dengan fakta yang sesungguhnya.
Selain kejanggalan data karena aspek human error dan teknis dari SirekapP, kejanggalan data sangat dimungkinkan terjadi karena aktivitas yang mengarah pada kecurangan. Kecurangan dalam pengisian data pada sistem seperti Sirekap, yang digunakan untuk melaporkan hasil perhitungan suara pemilu, dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan dapat dilakukan baik oleh individu maupun melalui manipulasi sistem.
Potensi kecurangan tersebut, menurut Yudi Prayudi, meliputi, pertama, manipulasi foto C Plano. Dalam hal ini individu dapat mengubah atau memanipulasi foto C Plano sebelum diunggah ke Sirekap, misalnya dengan mengedit gambar untuk mengubah jumlah suara atau dengan mengambil gambar C Plano yang tidak sesuai (misalnya yang belum ditandatangani atau belum diisi dengan benar).
Kedua, pengunggahan data palsu. Pelaku dapat mengunggah data yang sepenuhnya palsu atau yang telah dimanipulasi, yang tidak mencerminkan hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari TPS. Ketiga, penggunaan teknologi untuk menggagalkan proses validasi. Teknologi canggih seperti AI atau software editing bisa digunakan untuk menghasilkan foto C Plano yang terlihat sah tapi sebenarnya telah dimanipulasi, hal ini dapat mengelabui sistem validasi Sirekap.
Keempat, akses ilegal ke sistem. Individu atau kelompok dengan akses ilegal ke sistem Sirekap dapat mengubah hasil yang telah diunggah, baik dengan menambah, mengurangi atau mengubah jumlah suara untuk paslon tertentu.
Kelima, kesalahan sistem atau bug. Sistem Sirekap sendiri mungkin memiliki kelemahan atau bug yang dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi hasil, baik secara sengaja oleh pengembang dengan niat buruk atau secara tidak sengaja yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lain.
Keenam, serangan siber. Sistem yang terhubung ke internet dapat menjadi sasaran serangan siber, seperti serangan denial-of-service (DoS) yang dapat mengganggu akses ke sistem atau serangan lain yang bertujuan untuk mengubah data.
Ketujuh, kolusi. Kolusi antara petugas yang bertanggung jawab mengelola Sirekap dengan pihak tertentu dapat memfasilitasi manipulasi data, baik selama proses pengumpulan, pengiriman atau pengolahan data di sistem.
Untuk mengatasi potensi kecurangan ini, menurut Yudi Prayudi, penting untuk menerapkan langkah-langkah keamanan yang ketat, termasuk verifikasi independen terhadap data yang diunggah, audit
keamanan sistem, enkripsi data serta memiliki sistem pelaporan dan pemantauan yang efektif untuk mendeteksi dan mengatasi setiap upaya untuk melakukan manipulasi data.
“Melakukan kecurangan dalam hasil rekapitulasi pemilu melalui sistem seperti Sirekap membutuhkan langkah-langkah yang terorganisir dan masif, yang melibatkan koordinasi antara berbagai pihak serta eksploitasi celah dalam sistem. Kecurangan semacam ini bila memang terjadi maka akan berdampak pada rusaknya integritas pemilu dan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi,” kata Yudi.
Karena itu, menurut Yudi Prayudi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemilik dan pengelola Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan integritas dan kepercayaan terhadap proses pemilu.
Untuk menghadapi laporan yang mengarah pada dugaan kecurangan dalam rekapitulasi hasil pemilu melalui Sirekap, menurut Yudi, KPU perlu mengambil langkah-langkah strategis dan komprehensif. Pertama, penghentian sementara sistem (jika diperlukan). Jika ada indikasi serius kecurangan yang dapat mempengaruhi integritas sistem, KPU dapat mempertimbangkan untuk menghentikan sementara penggunaan Sirekap sambil melakukan investigasi.
Kedua, penginvestigasian laporan kecurangan dengan melakukan investigasi yang cepat, transparan dan menyeluruh terhadap semua laporan kecurangan. Hal ini mungkin melibatkan pihak ketiga independen untuk memastikan objektivitas.
Ketiga, Audit Sistem. Melakukan audit komprehensif pada sistem Sirekap, termasuk keamanan siber, prosedur pengunggahan data dan proses validasi OCR dan OMR. Audit ini dapat dilakukan oleh lembaga independen untuk memastikan akurasi dan integritas sistem.
Keempat, Transparansi dan Komunikasi Publik. Menyediakan informasi yang transparan tentang langkah-langkah yang telah diambil untuk mengatasi laporan kecurangan serta perkembangan investigasi kepada publik. Transparansi ini penting untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap sistem pemilu.
“Langkah-langkah ini harus dijalankan dengan komitmen penuh untuk memastikan proses pemilu yang adil, transparan, dan dapat dipercaya oleh semua pihak. Integritas pemilu adalah fondasi demokrasi, dan KPU memiliki peran kritis dalam menjaga fondasi tersebut,” kata Yudi Prayudi yang dikutip beritabernas.com dari tulisan Yudi Prayudi berjudul Analisa Kejanggalan Hasil SIREKAP Pemilu 2024. (lip)
There is no ads to display, Please add some