Oleh: Ali Mansur Monesa, Alumni UPY
beritabernas.com – Politik dan pendidikan adalah dua elemen yang terlihat berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling mengisi, antara yang satu dengan yang lain. Pendidikan seringkali dipengaruhi oleh politik, begitu pula sebaliknya sistem politik yang ada dapat mempengaruhi jalannya pendidikan.
Pendidikan dan politik tidak dapat dipisahkan, seperti halnya ketika Plato menggambarkan hubungan antara politik dan pendidikan. Plato menjelaskan bahwa setiap budaya terus berupaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok elite yang secara terus menerus menguasai politik, ekonomi, agama dan pendidikan (Sirozi, 2005:7).
Artinya bahwa dunia pendidikan tidak bisa lepas dari politik, karena untuk mempertahankan kontrol pendidikan sendiri dibutuhkan sebuah keputusan politik dari negara. Tidak hanya itu saja, pendidikan juga dapat menjadi sebuah alat kontrol negara dalam mempertahankan kekuasaannya dan membangun citranya.
Paulo Freire, seorang pedagog kritis asal Brazil adalah orang pertama yang secara kritis mencetuskan konsep politik pendidikan. Freire memiliki konsep “pendidikan untuk kaum tertindas” dan “pendidikan kemerdekaan.”
Dari penggabungan keduanya, akhirnya lahir sebuah konsep cemerlang yaitu, politik pendidikan. Politik pendidikan yakni ketika pendidikan dijadikan penguasa untuk kepentingan mereka, sehingga segala kebijakan pendidikan diarahkan untuk kepentingan penguasa. Freire menjelaskan bahwa sistem pendidikan menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah ke arah perubahan dan pembaharuan (Freire, 2007: xii).
BACA JUGA:
Berdasarkan argumentasi Freire maka dapat dikatakan pendidikan politik merupakan sebuah kebijakan pendidikan yang diambil dari adanya keputusan politik dalam rangka untuk mempertahankan kekuasaan, mentransformasi sebuah ideologi melalui pendidikan, dan urusan politik lainnya yang melalui pendidikan.
Guru sebagai aparatus negara
Sosiologi pendidikan merupakan sebuah sosiologi terapan yang membahas tentang fenomena sosial yang terjadi dalam pendidikan. Pendekatan sosiologis terdiri dari konsep, variabel, teori, dan metode yang digunakan dalam sosiologi untuk memahami kenyataan sosial, termasuk di dalamnya kompleksitas aktivitas yang berkaitan dengan pendidikan (Damsar 2012:11).
Jika menggunakan pendekatan ini maka harus menggunakan konsep, teori, dan metode untuk melihat kenyataan sosial di dalam fenomena pendidikan. Sosiologi pendidikan mencakup permasalahan pendidikan seperti guru, sistem pendidikan, dan permasalahan pendidikan yang lainnya. Sosiologi sendiri memiliki sumbangsih pada pendidikan seperti sistem sosial atau sistem pendidikan yang ada, kelas sosial dalam ruang kelas, stratifikasi sosial dalam pendidikan, dan kelompok sosial anak dalam kelas.
Dalam melihat permasalahan ini penulis akan menggunakan sumbangsih pemikiran Louis Althusser. Ia memandang negara sebagai sebuah mesin penindasan, memungkinkan kelas-kelas berkuasa menjamin dominasi mereka atas kelas buruh. Althusser menegaskan hal ini dapat terjadi karena negara menggunakan “aparat represif” seperti pendidikan, keluarga, dan media massa (Damsar: 2012:48).
Ia berpendapat bahwa pendidikan diatur oleh sebuah negara, maka negara tersebut dapat menjadikan pendidikan seperti apa yang diinginkannya. Hal ini erat kaitannya dengan konsep Althusser yaitu aparatus. Sejalan dengan aparatus politik ini adalah ideologi-aparat ideologi-negara yang terdiri dari institusi pendidikan, media, agama, dan kebudayaan (Pip Jones, 2016: 80).
Konsep “aparatus” dari Althusser terbagi menjadi dua yaitu Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari cara kerja utamanya yaitu dengan ideologi dan represif.
Dalam pandangan penulis berkaitan dengan konsep politik pendidikan dari Freire, maka pendidikan itu sendiri menjadi sebuah ISA bagi negara untuk mempertahankan kekuasaan. Pendidikan yang di dalamnya terdapat sebuah ideologi negara, maka dengan itu pendidikan dijadikan sebuah alat oleh penguasa. Kepentingan paling menonjol dari negara terhadap pendidikan adalah digunakannya sekolah dan universitas sebagai agen reproduksi dan sosialisasi ideologi (Escobar, 1998:32).
Pada RSA yang menjalankan adalah guru. Para guru berperan sebagai aktor dari aparatus negara dalam menjalankan ideologi negara melalui pendidikan. Maka guru merupakan aparatus negara yang juga terlibat untuk mempertahankan kekuasaan dan penyebaran ideologi. (*)
There is no ads to display, Please add some