Indonesia Kekurangan 103.353 Apoteker

beritabernas.com – Secara nasional pada tahun 2024, Indonesia kekurangan Apoteker secara signifikan. Dari total kebutuhan 173.140 apoteker, hanya bisa dipenuhi sebanyak 69.787 apoter atau mengalami kekurangan 103.353 apoteker.

Meski setiap tahun ada peningkatan tenaga apoteker karena ada peningkatan pertambahan lulusan, namun belum cukup memenuhi kebutuhan.

“Gap kebutuhan apoteker cukup tinggi dan baru dapat terpenuhi pada tahun 2031. Karena itu, perlu dilakukan kajian untuk memperbanyak produksi apoteker dan strategi pemenuhan apoteker,” kata Prof Dr apt.Yandi Syukri MSi, Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) yang juga Ketua Jurusan Farmasi UII dalam Ekspos Riset dan Peluncuran Policy Brief di Mini Auditorium Lantai 4 Kampus FH UII, Kamis, 15 Mei 2025.

Mengutip data LAMPTKes April 2025, jumlah PTF (Perguruan Tinggi Farmasi) di Indonesia yang menyelenggarakan Program S1 Farmasi sebanyak 275 PTF, namun baru 91 PTF yang memiliki PSPPA atau program studi profesi Apoteker. Sementara dari 91 PSPPA tersebut, baru 69 prodi yang sudah meluluskan tenaga apoteker per Februari 2025.

BACA JUGA:

Padahal, menurut Yandi Syukri, layanan keapotekeran merupakan bagian penting dari sistem pelayanan kesehatan dengan tujuan utama adalah untuk memastikan masyarakat mendapatkan obat yang aman, tepat dan sesuai kebutuhan. Selain itu, melakukan edukasi penggunaan obat, pengawasan terapi dan konsultasi farmasi

Yandi Syukri mengingatkan betapa pentingnya aksesibilitas layanan keapotekeran untuk membantu masyarakat mendapatkan obat berkualitas, memberikan informasi penggunaan obat yang tepat, mencegah kesalahan penggunaan obat dan efek samping serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan terapi farmasi.

Sementara jenis layanan keapotekeran, menurut Prof Yandi Syukri, adalah konsultasi obat, pemeriksaan kesehatan sederhana seperti pengukuran tekanan darah, gula darah, edukasi penggunaan obat yang benar dan layanan farmasi klinis di rumah sakit atau puskesmas.

Yandi Syukri mengatakan bahwa dampak dari kurangnya akses masyarakat mendapatkan layanan keapotekeran adalah penggunaan obat secara tidak tepat, risiko kesehatan meningkat.,resistensi antibiotik dan efek samping obat yang tidak diinginkan serta kesehatan masyarakat terganggu.

Faktor penghambat akses

Menurut Yandi, faktor penghambat akses layanan keapotekeran karena keterbatasan geografis di daerah terpencil, kurangnya fasilitas farmasi di wilayah tertentu dan biaya layanan yang tinggi. Selain itu, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya konsultasi dan keterbatasan jumlah tenaga apoteker.

Sementara upaya yang dilakukan untuk meningkatkan akses layanan keapotekeran adalah pengembangan fasilitas farmasi di daerah terpencil, pelayanan farmasi keliling dan program mobile pharmacy, peningkatan kapasitas tenaga apoteker, kerja sama lintas sektor (pemerintah, swasta, masyarakat) dan pemanfaatan teknologi digital (telepharmacy, konsultasi daring).

Menurut Yandi, peran pemerintah dan institusi kesehatan adalah meningkatkan jumlah apoteker di daerah terpencil melalui program penempatan khusus dan mengintegrasikan layanan apoteker dalam program BPJS Kesehatan serta sosialisasi peran apoteker melalui media massa dan komunitas.

Sementara peran apoteker dan lembaga farmasi adalah menyediakan layanan konsultasi gratis atau terjangkau, mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan di masyarakat dan memanfaatkan teknologi (telefarmasi/ konsultasi online) untuk menjangkau lebih banyak pasien.

Moderator Rahmadina (kanan) bersama narasumber acara Ekspos Riset dan Peluncuran Policy Brief di Mini Auditorium FH UII, Kamis 15 Mei 2025. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Sedangkan peran masyarakat adalah aktif mencari informasi tentang layanan kefarmasian di apotek, puskesmas atau rumah sakit, memahami hak sebagai pasien untuk mendapatkan konsultasi obat dari apoteker, memanfaatkan program kesehatan seperti posyandu atau gerakan masyarakat sehat (Germas) yang melibatkan apoteker.

Yandi Syukri mengatakan, dampak hambatan geografis terhadap akses dan layanan farmasi adalah masyarakat aktif mencari informasi tentang layanan kefarmasian di apotek, puskesmas atau rumah sakit, memahami hak sebagai pasien untuk mendapatkan konsultasi obat dari apoteker dan memanfaatkan program kesehatan seperti posyandu atau gerakan masyarakat sehat (Germas) yang melibatkan apoteker.

Di era kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, menurut Yandi Syukri, peran platform digital dalam meningkatkan aksesibilitas layanan farmasi sangat penting. Platform digital secara signifikan meningkatkan aksesibilitas layanan farmasi profesional dengan memungkinkan konsultasi jarak jauh, menyederhanakan proses resep, dan memastikan keamanan data. Namun, tantangan seperti tingkat adopsi dan masalah privasi perlu ditangani.

“Akses layanan keapotekeran yang baik adalah fondasi kesehatan masyarakat. Karena itu, upaya meningkatkan layanan perlu terus dilakukan untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat sehat dan sadar akan pengelolaan terapi farmasi yang aman dan efektif,” kata Yandi Syukri. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *