Genderuwo Ekologi Mengancam Indonesia

Oleh Ben Senang Galus, Dosen, penulis buku/esais, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Hutan tropis Indonesia sebagai paru-paru dunia tinggal separoh. Sementara separohnya telah dimakan oleh rayap-rayap kaum imperialisme, kaum neokolonialisme yang bergentayangan. Para kaum tersebut saya menyebutnya sebagai genderuwo ekologi.

Genderuwo, makhluk halus atau jin dalam mitologi Jawa berwujud manusia besar mirip kera, berkulit hitam kemerahan, berbulu lebat, suka tempat lembap (pohon besar, bangunan tua), seringkali jail, menggoda perempuan, tetapi bisa juga memakan sesama manusia. Makhluk tersebut kini sudah berubah menjadi kaum berdasai, berjas, memakai emas berkilauan, menggunakan mobil mewah, makanannya dari hasil jarahan dari bumi nusantara. Mereka tidak segan-segan meminum darah anak kandung bangsanya sendiri, merusak alam. Itulah yang disebut sebagai genderuwo ekologi.

Genderuwo Jawa dengan genderuwo ekologi, bedanya tipis. Gendrowo Jawa tidak pernah merusak alam, sebab dia berumah di alam, tidak rakus. Dia beroperasi pada malam hari, tidak punya kantor. Dia selalu menjaga ekosistem alam, tidak punya pengawal. Sementara genderuwo ekologi atau berdasi bekerja merusak ekosistem alam. Alam dijadikan musuh. Genderowo ekologi punya kantor, punya jabatan baik di partai, birokrasi, aparat berseragam, legislatif dan eksekutif. Genderuwo ekologi atau berdasi selalu bekerja dengan slow violence.

Istilah slow violonce diperkenalkan oleh Rob Nixon, dalam bukunnya Slow Violence and the Environmentalism of the Poor (2011), yang menjelaskan sebagai bentuk kekerasan oleh negara yang bekerja perlahan, tetapi mematikan dalam jangka panjang.

Munculnya praktik imperialisme, neokolonialisme ekologi sekarang, sedang menghantui Indonesia yang memiliki Sumber Daya Alam cukup besar di dunia, karena praktik slow violonce. Praktik imperialisme dan neokolonialisme ini ditandai dengan berlangsungnya perampasan sumber daya alam secara masif oleh kekuatan dominan genderuwo ekologi yang lahir dari anak kandung negeri, mengubah secara drastis keseluruhan ekosistem di mana rakyat kita itu bergantung.

State cupture

Praktik imperialisme dan neokolonialisme ekologi ini dijalankan oleh perusahaan-perusahaan transnasional maupun nasional, agar dapat leluasa melakukan eksploitasi terhadap Sumber Daya Alam, dan mereka berselingkuh dengan pemerintah lokal dan nasional.  Untuk kemudian turut mendikte aturan-aturan yang berlaku di negara atau daerah melalui bantuan kekuatan-kekuatan kapitalis global. Yang dilanjutkan melalui deal-deal politik tertentu dengan elit-elit politik untuk diberi jalan kemudahan dan keamanan di dalam menjalankan misi imperialisme dan neokolonialisme ekologinya melalui cara kerja manipulasi kebijakan.

Baca juga:

Praktik seperti ini dikenal dengan apa yang disebut state cupture di mana sekelompok elit bisnis, eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik memanipulasi kebijakan, hukum, dan peraturan perundang-undangan demi keuntungan pribadi atau kelompok mereka sendiri, bukan untuk kepentingan public (bonum commune), sering kali melalui kolusi dengan pejabat publik. Ini melibatkan pembajakan institusi negara untuk melayani kepentingan swasta, yang merusak keadilan, ekonomi, dan ekologi, demokrasi negara secara keseluruhan. Contohnya adalah deforestasi hutan besar-besaran untuk kepentingan ekonomi jangka pendek, tetapi merugikan masa depan.

Menurut Mansour Fakih (2001), dalam konteks negara-negara dunia ketiga, pembangunan sebagai salah satu paradigma dan teori perubahan sosial pada dewasa ini telah mengalami kegagalan dan tengah berada pada masa krisis. Kegagalan dan krisis tersebut terjadi akibat dari tidak pernah tercapainya fungsi dan tujuan dari pembangunan tersebut, yaitu untuk dapat menciptakan kesejahtraan, pemerataan dan keadilan. Sedangkan yang sering terjadi dari pembangunan tersebut malahan peningkatan kemiskinan, semakin melebarnya ketimpangan, ketidakmerataan dan kerusakan lingkungan.

Di Indonesia, kata “pembangunan” seolah lebih dieratkan dengan sebuah rezim Orde Baru. Kata pembangunan dalam konteks Orba, sangat erat kaitannya dengan discourse development yang dikembangkan oleh Negara Kapitalis Barat. Sehingga pembangunan pada era Soeharto merupakan bagian dari ideologi “pertumbuhan”, yang di mana poin pertumbuhan ekonomi digenjot setinggi mungkin, tetapi dengan harga kerusakan sumber daya alam dan kesenjangan sosial yang terus dibiarkan, hingga akhirnya justru berbalik menghancurkan hasil-hasil pertumbuhan itu sendiri. Model pembangunan tersebutlah, pada era pasca-reformasi masih tetap digunakan oleh para pemeritah.  

Dalam konteks meningkatkan pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerinatah berupaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan menghadirkan perusahaan perkebunan sawit dan tambang di mana-mana, namun tanpa memerhitungkan kerusakan ekologi yang ditimbulkan. Hal tersebut tak lain akibat dari kesalahan penafsiran tentang pertumbuhan itu sendiri, di mana keberhasilan hanya dimaknai ketika pertumbuhan ekonomi tinggi. Akhirnya muncul tendensi para pengambil kebijakan. melakukan pemaksaan-pemaksaan pembangunan tertentu atas nama keningkatan pertumbuhan ekonomi dan mitos kesejahtraan yang dihadirkannya.

Adanya pemaksaan di dalam pembangunan, selain dipengaruhi oleh kesalahpenafsiran tentang pertumbuhan, juga dikarenakan adanya faktor persekongkolan gelap yang dapat memberikan keuntungan terhadap pemerintah pusat dan pemerintah daerah beserta kroninya. Yaitu melalui deal-deal politik tertentu dengan para pengusaha dan investor untuk mendapat jalan kemudahan akses terhadap ijin usaha.

Timbal-baliknya pasti menguntungkan para pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pengusaha/ investor, sedangkan rakyat yang menanggung besarnya kerugian yang harus mereka terima, yaitu kerusakan ekologi hutan. Apalagi didorong dengan mahalnya biaya di dalam mengarungi setiap ajang kontestasi politik sekarang ini, yang semakin memiliki tendensi kuat munculnya perselingkuhan antara penguasa, pengusaha dan koroptor.

Buah dari pembangunan pertambangan atau kebun sawit tersebut yang terjadi malahan menciptakan bencana dengan rakyat menjadi korbannya, sedangkan hanya segelintir orang yang menikmati manfaatnya. Itu memperlihatkan praktik pembangunan yang mudarat.

Keadaan tersebutlah yang pelak membuat terjadinya berbagai mobilisasi gerakan sosial (gerakan anti tambang oleh masyarakat dan gerakan anti deforestasi oleh walhi maupun para kelompok cerdik pandai dengan tujuan melakukan penolakan terhadap pembangunan yang berusaha dihadirkan oleh pemerintah pusat maupun pemda di tanah Sumatra amupun daerah lain di Indonesia.  

Revolusi rkologi

Munculnya praktik imperialisme ekologi sekarang sedang menghantui negara-negara Dunia ketiga yang memiliki Sumber Daya Alam cukup besar, seperti Sumatra, Papua, dan Kalimantan. Menurut Foster (2010) praktik imperialisme ini ditandai dengan berlangsungnya perampasan (perampokan dan pencurian) sumber daya alam oleh kekuatan dominan (dari negeri-negeri kapitalis maju) terhadap negeri-negeri yang terkebelakang dan mengubah secara drastis keseluruhan ekosistem di mana negara dan bangsa-bangsa itu bergantung. Gejala demikian disebutnya sebagai the Ecological Revolution.

Akibat yang ditimbulkan Ecological Revolution ialah munculnya pemiskinan secara bertahap terhadap para petani atau masyarakat lokal di area pertambangan atau perkebunan. Yaitu sebuah gejala di mana terjadi suatu perampasan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar terhadap tanah-tanah milik suku melalui relasi jual-beli di bawah bayang-bayang tekanan dan represi dengan nilai yang dibawah rata-rata.

Ketiadaan lahan pertanian, telah membuat para petani tersebut harus beralih menjadi buruh tani atau pekerja kasar di industri pertambangan atau perkebunan dengan upah rendah, dan pada saatnya mereka akan meratapi kemiskinannya. Keadaan tersebutlah yang membuat perlahan kehidupan para petani yang kehilangan lahan pertaniannya akan semakin terpuruk.

Itu terjadi akibat besarnya dampak lingkungan dan sosial yang mengalir ke dampak ekonomi yang harus dihadapi oleh para petani yang telah diciptakan oleh perusahaan pertambangan atau perkebunan sawit di Sumatra dan derah lain di Indonesia. Kemudian perusahaan tersebut seolah angkat tangan terhadap dampak yang telah diciptakannya, sedangkan pemerintah harus membuta hati melihat keadaan tersebut akibat tersandra oleh persekongkolan gelap. Dan di satu sisi program CSR yang dihadirkan oleh perusahaan hanya seperti obat “pelipur lara” yang masih menyakitkan. Atau seperti sebuah makanan ringan (permen karet) yang diberikan kepada para warga sekitar agar mereka dapat terus dihisap darahnya.

Melihat kenyataan yang demikian, memperlihatkan bagaimana pemerintah maupun pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan yang telah menciptakan kerusakan lingkungan dan penyengsaraan masyarakat sekitar masih berfikir secara pragmatis, dan berusaha menghindari dari tuntutan hukum. Yang di mana pandangannya hanya terbatas  bahwa alam berada di bawah kendali manusia, sehingga manusia dianggap bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap alam. Pemaksaan pembangunan yang terjadi akibat dari perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha ini harus segera diakhiri. Tanpa hal tersebut, maka kehancuran demi kehancuran siap menghadang dari apa yang dinamakan sebagai proses pembangunan.

Pola produksi dari kapitalisme yang bersifat anarkis memang telah membuat dunia sedang berada pada titik nadir. Berbagai kelangkaan terhadap bahan-bahan sumber daya alam yang tak terbaharukan seperti minyak, batu bara, logam dan bahan tambang yang lain telah semakin mendekat di kala pola kehidupan tetap seperti ini.

Maka para anak cucu kita hanya akan menggigit jari karena tak dapat menikmati manfaat dari sumber-sumber kehidupan yang diciptakan dengan gratis  oleh Tuhan atas bumi mereka sebagai akibat keserakahan dibalik selimut kompetisi kapitalisme dan imperialisme. Dan hal yang tak pernah terlepas dari proses moda produksi kapitalisme dan imperialisme selain kerusakan ekologi adalah sebuah proses proletarisasi dengan cara penyingkiran masyarakat terhadap alat-alat produksinya (primitive accumulation), perampasan hak-hak dasar hidup masyarakat yang hasil akhirnya adalah kemiskinan, penderitaan dan penindasan.

Perbaikan kebijakan politik

Oleh karena itu perbaikan terhadap kebijakan politik yang sedang belangsung di alam demokrasi Indonesia sekarang ini menjadi hal yang wajib dilakukan untuk dapat memutus jeratan genderuwo ekologi. Karena munculnya tindakan melenceng yang dilakukan oleh para penguasa terjadi akibat adanya keleluasaan yang telah diberikan oleh sistem atau struktur yang berlaku.

Selain itu penguatan kekuatan basis rakyat sangat perlu untuk didorong. Gerakan civil society, termasuk mahasiswa, yang kuat akan menjadi oposisi yang cemerlang untuk mengontrol dan menekan pemerintah, agar tidak terjadi kerusakan ekologi masif di Indonesia oleh paa genderuwo ekologi.

Tanpa hal tersebut maka yang terjadi adalah proses destruksi alam semesta dengan mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan akan menjadi sia-sia. Atau semakin memperbanyak potret-potret gambaran keadaan cabang neraka di Indonesia, yang salah satunya dapat kita lihat  dengan panorama alam yang menyengangkan yang telah diciptakan oleh genderuwo ekologi  dan prusahaan lain yang ada di di Sumatra dan juga berbagai rengekan kesengsaraan yang menyertainya.

Perlu dicatat bahwa banjir bandang yang terjadi di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh, sekali lagi bukan hujan. Melainkan deforestasi masif yang berlebihan yang tidak memerhatikan keberlanjutan lingkungan.

Ketika negara  mempermudah izin tambang di hulu, ketika sawit secara masif dibiarkan mengganti hutan primer, negara sesungguhnya  sedang melakukan slow violonce dan sedang memindahkan risiko ke pundak warga di hilir.

Jika pemerintah pusat maupun pemerintah daerah masih  memaksakan kehendaknya, membangun tambang atau sejenisnya, dalam waktu singkat atau tidak berapa lama lagi bumi kita akan menjadi rusak berantakan. Dan anak cucu kita akan menangis terisak-isak meratapi masa depannya. Sudah saatya genderuwo ekologi sebagai perusak ekologi diadili dengan hukum menerapkan ancaman hukum yang berat. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *