beritabernas.com – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Yogyakarta menyerukan agar bangsa tidak terjebak pada kemerdekaan yang hanya hidup di panggung seremoni simbolik. Kemerdekaan sejati harus diukur dari terpenuhinya keadilan sosial, perlindungan hak warga dan kesejahteraan rakyat, bukan dari meriahnya upacara atau retorika politik yang memukau.
BACA JUGA:
- Ketua GMKI Jogja Dideklarasi Maju sebagai Calon Bupati/ Wakil Bupati Alor 2024
- Bersama 100 Komisi Pemuda Gereja se-DIY, GMKI Jogja Deklarasi Pemilu Damai
Fenomena pengibaran bendera One Piece oleh generasi muda di momen kemerdekaan menjadi sorotan. Bagi GMKI, ini adalah bentuk komunikasi politik kreatif yang mencerminkan kegelisahan. Rakyat muda meragukan janji-janji besar yang diucapkan para pemimpin, khususnya di tengah situasi sosial-ekonomi yang belum membaik.
Demikian benang merah diskusi dan kajian suara GMKI dengan tema Menghayati Denyut Kemerdekaan
One Piece dan Retorika Penebusan: Populisme Kosong dalam Republik Simbolik Prabowo pada Kamis 14 Agustus 2025. Tampil sebagai pemantik diskusi adalah Eirens Josua Mata Hine S.Fil, M.Hum, kader GMKI/Pegiat Isu Budaya Populer dan Dr Syaifudin Zuhri S.Ag MSI, Akademisi Jogja, sebagai penanggap.

Dalam forum itu, GMKI mengeritik fenomena Republik Simbolik yang terbentuk dari populisme kosong. Retorika penebusan ala Presiden Prabowo memang memikat secara narasi, namun sering kali terjebak dalam slogan tanpa tindak lanjut yang memadai.
“Kemerdekaan tidak boleh direduksi menjadi hiasan panggung politik,” tegas Umbu Valentino K Ng Mbani ST, Ketua GMKI Cabang Yogyakarta, dalam siaran pers yang diterima beritabernas.com, Jumat 15 Agustus 2025.
Menurut Umbu Valentino K Ng Mbani ST, penggunaan simbol One Piece adalah bukti bahwa budaya pop bisa menjadi alat sindiran sosial yang efektif. GMKI menilai simbol ini sebagai pesan yang menembus bahasa formal politik dan langsung menyasar kesadaran publik.

GMKI menegaskan bahwa mahasiswa harus menjadi pengawal moral bangsa: menguji klaim kekuasaan, membongkar kontradiksi antara kata dan tindakan, dan menolak tunduk pada romantisme kemerdekaan yang palsu. “Simbol boleh digunakan, tapi substansi harus jadi pijakan. Politik tanpa substansi hanyalah teater,” kata Umbu Valentino K Ng Mbani ST.
Ia pun mengajak publik meninggalkan zona nyaman seremoni simbolik dan masuk ke arena perjuangan riil. Kebebasan tanpa keadilan hanyalah topeng yang harus dibuka. Kemerdekaan adalah perjuangan yang hidup. Jangan biarkan ia mati di antara kata-kata manis yang tak pernah jadi kenyataan. Saatnya kita menghidupkan denyut kemerdekaan di jalanan, di kampus, di desa, dan di istana. (*/lip)
There is no ads to display, Please add some