beritabernas.com – Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) menyatakan keprihatinan yang mendalam menyikapi kondisi Indonesia yang semakin suram dalam pemulihan ekonomi, politik dan hukum yang berkeadilan bagi rakyat.
Kondisi suram yang dimaksud adalah ketimpangan sosial yang semakin melebar, lemahnya perlindungan terhadap hak-hak sipil dan kemunduran demokrasi dari semangat reformasi 1998 menjadi indikasi. Semua ini merupaka indikasi bahwa negeri ini tengah mengalami krisis serius.
Dalam pernyataan sikap yang diterima beritabernas.com, Jumat 21 Pebruari 2025, Ruth Indiah Rahayu selaku Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) mengatakan bahwa suksesi kepemimpinan melalui Pemilu 2024 yang menghasilkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hingga saat ini belum menunjukkan kehendak politik yang kuat untuk mengatasi krisis yang dihadapi rakyat.
Kebijakan dan praktik ekonomi-politik pascapandemi Covid-19 justru semakin memperberat kehidupan masyarakat dan memperkuat dominasi oligarki melalui manipulasi aturan hukum. Karena itu, IKAD menyatakan sikap atas berbagai permasalahan mendesak tersebut.
Pertama, soal PHK massal dan represi terhadap buruh. Sejak 2024, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran terjadi di berbagai sektor tanpa perlindungan yang memadai bagi pekerja. Hak berserikat bagi buruh dikekang, menghilangkan ruang demokrasi di tempat kerja. Pembiaran terhadap meningkatnya kecelakaan kerja di industri mineral dan pertambangan semakin menegaskan abainya negara terhadap keselamatan pekerja.
Kedua, kenaikan PPN 12% dan dampaknya terhadap rakyat. Pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, meski untuk barang mewah, tetap saja berdampak pada kenaikan harga barang konsumsi pokok rumah tangga. Menurut IKAD, kebijakan ini semakin memberatkan masyarakat kecil yang daya belinya telah melemah akibat krisis ekonomi.

Ketiga, pengurangan anggaran subsidi energi. Menurut IKAD, rapat kerja Kemenkeu dengan Badan Anggaran DPR RI pada Rabu 4 September 2024 telah menyepakati pengurangan subsidi energi sebesar Rp 1,1 triliun pada RAPBN 2025 yang semula diusulkan Rp 204,53 triliun menjadi Rp 203,41 triliun.
Dengan adanya perubahan tersebut, maka anggaran subsidi energi untuk bahan bakar minyak (BBM) tertentu dan elpiji tabung 3 kilogram menjadi berkurang.
Sementara anggaran subsidi untuk BBM jenis tertentu dan elpiji 3 kg turun sekitar Rp 600 miliar dari semula diusulkan Rp 114,3 triliun menjadi Rp 113,7 triliun. Untuk subsidi BBM berkurang Rp 40 miliar dan subsidi LPG berkurang Rp 600 miliar. Selain itu, anggaran subsidi listrik turun sekitar Rp 500 miliar dari semula diusulkan Rp 90,2 triliun menjadi Rp 89,7 triliun.
“Situasi ini tetap menyulitkan masyarakat bawah yang masih belum stabil secara ekonomi,” kata Ruth Indiah Rahayu dalam pernyataan sikap itu.
Keempat, pembiaran perampasan tanah rakyat untuk Iidustri ekstraktif. Menurut Ruth Indiah Rahayu, konflik agraria kian meningkat akibat perampasan tanah rakyat demi kepentingan industri ekstraktif.
Petani dan masyarakat adat kehilangan ruang hidup, sementara negara gagal memberikan perlindungan terhadap hak-hak agraria rakyat.
Kemudian, kelima, penghancuran daya budaya lokal demi pariwisata. Menurut IKAD, pembangunan sektor pariwisata yang tidak berorientasi pada keberlanjutan justru mengorbankan budaya lokal. Komunitas adat dan warisan budaya yang seharusnya dilestarikan mengalami marjinalisasi demi kepentingan investasi pariwisata.
Keenam, kebijakan rendah karbon yang menguntungkan oligarki. Komitmen rendah karbon yang seharusnya bertujuan menjaga lingkungan justru dimanfaatkan untuk memperkuat kepentingan oligarki.
Transisi energi tidak dijalankan secara adil, hanya menguntungkan segelintir elite tanpa mempertimbangkan dampak terhadap rakyat kecil.
Ketujuh, penghimpunan dana Danantara untuk kepentingan oligarki. Kebijakan penghimpunan dana melalui berbagai skema yang tidak transparan, seperti Danantara, semakin memperkokoh kekuasaan oligarki. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat malah dialihkan untuk kepentingan segelintir kelompok berkuasa.
Kedelapan, perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan dijebak dalam bisnis tambang. Kebijakan yang mengizinkan perguruan tinggi untuk mengelola tambang mengancam independensi akademik dan menjauhkan dunia pendidikan dari nilai-nilai kritis serta keberpihakan pada kepentingan rakyat.
BACA JUGA:
- Dr Maqdir Ismail: Penetapan Tersangka dan Penahanan Hasto Kristiyanto Bentuk Balas Dendam Politik
- Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Minta Kepala/ Wakil Kepala Daerah dari PDIP Menunda Perjalanan Retret ke Magelang
Kesembilan, pemangkasan anggaran dengan dalih penghematan. IKAD menilai kebijakan ini justru semakin membebani rakyat, sementara di sisi lain, pemerintah membentuk kabinet yang gemuk dengan penempatan pejabat yang terkesan asal-asalan tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kompetensi mereka.
Berdasarkan hal-hal tersebut, IKAD menyerukan kepada pemerintah untuk segera melakukan beberapa hal, pertama, mencabut Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025 yang memberlakukan pemangkasan anggaran yang tidak pro-rakyat. Selain itu, meninjau ulang kebijakan PPN 12% yang membebani rakyat kecil dan meningkatkan perlindungan sosial bagi kelompok rentan, mengembalikan subsidi energi demi meringankan beban hidup masyarakat serta menjalankan transisi energi yang berkeadilan, menghentikan praktik perampasan tanah atas nama Proyek Strategis Nasional dan memastikan hak agraria rakyat terlindungi dan meninjau ulang UU Cipta Kerja untuk menjamin hak normatif, hak berserikat, dan perlindungan pekerja serta menghargai serta melindungi kebudayaan lokal dari eksploitasi pariwisata yang merusak.
Kedua, menghapus pasal dalam RUU Minerba yang memberikan izin kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang guna menjaga independensi akademik. Ketiga, menghentikan praktik penghimpunan dana yang merugikan rakyat, termasuk skema-skema seperti Danantara yang berpotensi memperkaya oligarki dan tidak transparan dalam pengelolaannya.
Keempat, penegakan hukum, terutama dalam kasus korupsi, harus dilakukan dengan tegas, transparan, dan tanpa pandang bulu. Aparat penegak hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan politik atau ekonomi yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi, karena korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi kejahatan yang merusak keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
“Kami percaya bahwa keadilan sosial, ekonomi dan lingkungan harus menjadi landasan utama dalam pembangunan demi kesejahteraan rakyat secara lahir dan batin. IKAD berkomitmen untuk terus berjuang bersama masyarakat sipil demi mewujudkan Indonesia yang lebih adil, demokratis, dan berkeadaban,” tulis Ruth Indiah Rahayu, Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara, dalam pernyataan sikap tertanggal 20 Februari 2025 itu. (*/lip)
There is no ads to display, Please add some