Ilmu Hukum Profetik Penting Dihadirkan sebagai Alternatif di Tengah Kalatidha

beritabernas.com -Ilmu hukum profetik (IHP) sangat penting dihadirkan di tengah Kalatidha sebagai alternatif pengembanan hukum secara teroretis maupun praktis.

Selain itu, ilmu hukum profetik juga sebagai alternatif mengatasi berbagai problem sosial, budaya, moral, politik dan hukum yang muncul di tengah-tengah masyarakat, khususnya bangsa Indonesia.

Kalatidha akan selalu muncul dan hadir di manapun dan kapanpun, baik secara individu maupun kolektif, baik pada tipe masyarakat sederhana, masyarakat madya, masyarakat modern dan postmodern,” kata Prof Dr M Syamsudin SH MH, dalam pidato pengukuhan Guru Besar, di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, Rabu 24 November 2022.

Dalam pidato pengukuhan dengan judul Berhukum Profetik di Tengah Kalatidha, Prof Dr M Syamsudin SH MH menjelaskan bahwa Kalatidha adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Ranggawarsita dalam karyanya berjudul Serat Kalatidha pada tahun 1861.

Sidang senat terbuka UII pengukuhan Guru Besar Prof Dr MSyamsudin SH MH dan Prof Drs Agus Widarjono MA PhD, Rabu 24 November 2022. Foto: Philipus Jehamun/ beritabernas.com

Kalatidha menggambarkan zaman keraguan, zaman cacat, zaman rusak, zaman penuh kegelisahan dan kekawatiran serta zaman tanpa kepastian. Bahkan digambarkan secara sarkastik sebagai zaman edan atau gila.

Menurut Prof Syamsudin, Serat Kalatidha sendiri berisi tentang kritik sosial profetik yang mendiskripsikan situasi sulit, kacau, banyak terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran moral, gambaran masyarakat yang rakus dan loba. Serat Kalatidha mengandung muatan gambaran realitas sosial, kritik sosial, pendidikan moral, dan sekaligus falsafah hidup.

Dikatakan, Serat Kalatidha ditempatkan sebagai latar sosial dan pertimbangan filosofis-teoretis perlunya membangun, mengformulasi dan menghadirkan Ilmu Hukum Profetik (IHP) berbasis ontologis pada humanisasi (amar ma’ruf), epistemologi liberasi (nahi munkar) dan aksiologi transendensi (tukminuna billah/tauhid)

“Etos IHP mendasarkan pada pandangan bahwa teks-teks hukum adalah sebuah teks mati dan akan menjadi hidup dan bermakna pada saat diberikan etos yakni spirit dan jiwa profetik sehingga memberi makna dan manfaat bagi kehidupan manusia. Spirit dan jiwa profetik didasarkan pada humanisasi, liberasi dan transendensi,” kata Prof Syamsudin.

Menurut Prof Syamsudin, pentingnya pengembanan hukum profetik baik secara praktis maupun teoretis di tengah Kalatidha. Hal ini didasarkan pada dua hal. Pertama, kebutuhan pengembanan hukum praktis. Kalatidha adalah realitas sosial, skalanya melintasi batas-batas ruang dan waktu. Menyadari akan dampak Kalatidha, dibutuhkan pengembanan hukum yang mampu mengontrol, mengantisipasi dan sekaligus dapat menanggulangi dampak kalatidha, sehingga Ilmu Hukum dan para pengembannya dapat menfungsikan hukum secara tepat dan otentik.

“Etos Hukum Profetik sangat penting diinternalisasikan, disosialisasikan dan dibudayakan guna mengisi dan menghidupkan jiwa para pengemban hukum baik di kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan juga para pengemban hukum lainnya,” kata Prof Syamsudin.

Sidang senat terbuka UII pengukuhan Guru Besar Prof Dr MSyamsudin SH MH dan Prof Drs Agus Widarjono MA PhD, Rabu 24 November 2022. Foto: Philipus Jehamun/ beritabernas.com

Kedua, pengembanan hukum teoretis. Menurut Prof Syamsudin, arus utama ilmu hukum yang berkembang, termasuk di Indonesia, berbasis pada Filsafat Rasionalisme Murni yang berbasis pada filsafat Antroposentrisme Barat.

Filsafat Epistemogi Barat ciri pokoknya menanggalkan paham ketuhanan dan agama (sekular-antroposentrisme). Sumber pengetahuan yang dianggap valid dalam menjelaskan realitas hukum adalah pikiran manusia itu sendiri, baik yang ideal maupun empiris.

Konsekuensinya, kata Prof Syamsudin, tidak diakui adanya hukum-hukum yang bersumber dari wahyu dan hanya mengakui hukum-hukum yang dibentuk dan bersumber dari pikiran manusia belaka. Cara berpikir dan berhukum yang seperti itu telah melahirkan krisis epistemologi Ilmu Hukum, yaitu melahirkan cara berhukum yang materialistik dan atheistic serta berbahaya bagi peradaban umat manusia.

Oleh karena itu perlu upaya alternatif dalam kegiatan pengembanan hukum teoretis.  Di sinilah urgensi pengembanan teoretis Hukum Profetik agar kehadiran hukum memberikan panduan dan arah yang tepat sesuai dengan cita-cita dan filsafat profetik, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi dalam membangun peradaban manusia. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *