Kapitalisasi Pendidikan

Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Seorang pemimpin komunis, Lenin, mengatakan “berhemat-hematlah dalam hal apapun, kecuali untuk keperluan pendidikan” (1870 –1924).

Barangkali bukan hanya tokoh komunis yang memercayai bagaimana pentingnya pendidikan dalam kehidupan ini. Mungkin hanya pemimpin bodoh yang tak mau mengindahkan pentingnya pendidikan sebab harus dimengerti bahwa pendidikan adalah satu bidang yang paling penting bagi proses memajukan hekikat dan martabat manusia.

Pendidikan tidak sekadar tranformasi ilmu pengetahuan, tapi lebih sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Kedua istilah ini mengandung makna, memanusiakan manusia muda mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia. Perbedaannya, hominisasi adalah proses pemanusiaan yang pada umumnya, dengan pengertian luasnya penjadian manusia, terjadi dari lahir hingga akhir hidupnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia sejak lahir sudah menjadi manusia, namun dipandang secara biologis.

Sementara humanisasi adalah proses pemanusiawian manusia. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, seperti binatang ataupun tumbuhan. Manusia tidak akan sampai pada fase ‘ke-manusiawi-an-nya’ tanpa pendidikan.

Oleh karena itu, mungkin saja negara kita tidak bisa merdeka pada tahun 1945 jika tidak dipimpin oleh tokoh-tokoh terdidik. Bagaimana pun, perlawanan terhadap kolonialisme Belanda tidak mungkin hanya mengandalkan perjuangan fisik.

Ben Senang Galus. Foto: Dok pribadi

Bagi kita yang mengerti faktor kemenangan kaum pribumi Hindia yang dipimpin pemuda-pemuda macam Soekarno, Tan Malaka, Hatta, Sjahrir., perjuangan diplomatik sangat menentukan. Bagaimana pun, pertarungan diplomatik pada Konferensi Meja Bundar mau tak mau harus dimenangkan melalui kecanggihan otak-otak terdidik para diplomat untuk beradu argumen dan kemudian memenangkan sidang bagi penentuan kemerdekaan RI

Jika pada dasarnya kemenangan Indonesia atas kolonial tak cukup dengan perjuangan fisik, perjuangan diplomasi dengan mengedepankan kecerdasan nalar pemikiran menjadi keharusan. Dalam konteks inilah kemudian, kita mengaitkan betapa pentingnya pendidikan generasi muda masa depan. Itu sebabnya, berbagai institusi pendidikan telah bertebaran di hampir seluruh pelosok negeri. Bukan hanya pemerintah yang punya perhatian terhadap perkembangan pendidikan ini, bahkan para praktisi pendidikan swasta pun tak kalah antusiasnya untuk berperan serta menyemarakkan ragamnya pendidikan.

Sekilas, mengenai perkembangan pendidikan kita, memang terasa menggembirakan sebab pendidikan yang pada hakikatnya memiliki tujuan manusiawi bagi pengembangan sumber daya manusia di negara kita juga mendapatkan tempat. Namun, benarkah pendidikan kita benar-benar berdiri dalam jalur yang benar sesuai dengan misi kemanusiaan itu sendiri?

Beranjak dari pertanyaan macam inilah yang membuat kita harus menilik kembali hakikat pendidikan, sebab pendidikan yang semarak berkembang saat ini, sesungguhnya bukan berdiri sendiri. Pendidikan yang kini tumbuh berkembang subur tentu saja akan terkait dengan kondisi sosial-ekonomi yang sedang berkembang. Bahkan, jika sedikit kritis, pendidikan juga bisa dilihat sebagai bidang yang akan terkait dengan perkembangan ideologi. Atau jika tidak demikian, dapat kita katakan bahwa pendidikan juga akan terkait dengan kepentingan-kepentingan politik, ekonomi para pemegang kekuasaan negara.

Kunci Kualitas Bangsa

Pendidikan, merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sekaligus kualitas bangsanya. Jika dalam masa kolonial pun bangsa kita membutuhkan pendidikan yang berkualitas, sungguh bebal para pemimpin negara ini jika mengabaikan pentingnya pendidikan. Benarkah pendidikan kita diabaikan pemerintah dan para petinggi negeri di zaman (reformasi) ini? Mungkin saja pengabaian tidak terjadi secara vulgar seperti membubarkan sekolah dan mendirikan mall atau kantor-kantor partai yang mewah untuk tempat pengumpulan massa pemilu.

Namun, jika melihat dari mahalnya biaya pendidikan, wujud pengabaian terhadap pendidikan itu bisa dibuktikan. Hal itu terbukti ketika ternyata masa krisis yang belum usai ini biaya pendidikan kian mahal. Pascamunculnya UU Otonomi Daerah yang di dalamnya memuat kebijakan otonomi kampus, berbagai perguruan tinggi negeri kemudian tidak lagi disubsidi oleh pemerintah, berubah menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH). Dengan model pengelolaan badan hukum milik negara (PTNBH), perguruan tinggi tersebut tidak lagi memperoleh subsidi. Oleh karenanya, para rektor dituntut untuk mencari biaya sendiri dengan caranya masing-masing. Demikian pula pendidikan menengah, akibat otonomi sekolah-sekolah seenaknya menetapkan sumbangan bagi siswa.

Yang menarik adalah ternyata, betapa banyak sekolah atau perguruan tinggi di Indonesia merangkap berbagai misi ganda. Tugas mencerdaskan bangsa bukan-satu-satunya tugas dan misi suci sekolah atau perguruan tinggi. Sekolah atau perguruan tinggi berubah jenis ‘kelaminnya’  dari tugas mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi agen-agen kaum kapitalis. Buktinya. Sekolah menjadi penyalur buku, sepatu, tas, pakaian seragam, komputer, dan sebagainya. Sementara perguruan tinggi menaikkan uang kuliah tetap (UKT) dengan dalil meningkatkan mutu pembelajaran.

BACA JUGA:

Boleh jadi pada awalnya, penyediaan berbagai barang keperluan anak-anak baru didasarkan pada keinginan memberi bantuan kepada orangtua dalam menyiapkan fasilitas buat anak-anak baru masuk sekolah. Tujuannya memang amat mulia dan patut didukung. Namun niat baik saja rupanya tidak cukup, sebab terbukti dijadikan sebagai ajang bisnis, mencari keuntungan buat segelintir orang. Kalau saja sekolah swasta melakukan yang demikian, adalah hal yang wajar, maka jauh lebih “ganas” lagi sekolah negeri.

Apakah ada Korelasinya

Lalu pertanyaannya adakah korelasi berbagai macam pungutan di sekolah atau di perguruan tinggi dengan mutu pendidikan? Itulah pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat kepada sekolah atau perguruan tinggi. Pertanyaan ini telah dijawab oleh Susan and Robert Pascoe (1998).

Berdasarkan hasil studi yang pernah dilakukannya pada tingkat satuan pendidikan  (SD, SMP, SMA) di Brisbane, Australia. Susan and Robert Pascoe, mengungkapkan, hanya 35 persen hubungan antara besar kecilnya biaya pendidikan dengan berbagai indikator mutu pendidikan seperti angka partisipasi, angka drop out, prestasi belajar siswa/mahasiswa dan sampai pada outcome pendidikan.

Susan dan Pascoe, mengatakan, memang benar, biaya pendidikan merupakan komponen masukan instrumental (instrumenal input) yang sangat penting dalam  penyelenggaraan pendidikan (baca mutu pendidikan), namun bukanlah satu-satunya. Sebab masih ada komponen lainya, seperti  guru, dosen, infrastruktur, kebijakan birokrasi, kondisi kesehatan masyarakat, kondisi psikologis masyarakat, kondisi keamanan masyarakat, kondisi geografis, dan kondisi ekonomi masyarakat.

Pemahaman dimaksud merentang mulai dari hal-hal sifatnya makro hingga mikro, antara lain meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem pengalokasiannya, efektivitas dan efisiensi dalam penggunaannya, dan akuntabiltas hasilnya yang diukur dari perubahan kuantitatif dan kualitatif yang terjadi.

Mengingat kondisi masyarakat kita sangat beragam dan untuk memastikan  tidak terjadinya keragaman yang terlalu luas dalam penetapan kebijakan anggaran biaya pendidikan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang bersangkutan, maka diperlukan kejelasan sekolah atau pergurua tinggi untuk menetapkan standar-standar biaya pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Bukan asal pukul rata sembarangan saja.

Sebab sebagian besar biaya pendidikan terutama sekolah swasta atau pergruan tinggi swasta (PTS) lebih mengandalkan dana yang bersumber dari keluarga siswa/ mahasiswa yang digunakan untuk membiayai berbagai komponen kegiatan pendidikan.

Dasar perhitungannya adalah segala pengeluaran keluarga siswa/mahasiswa  yang berkaitan dengan atau menunjang pendidikannya. Pengeluaran itu bisa berupa: (1) sumbangan langsung yang bersifat rutin seperti sumbangan pembangunan, (2) sumbangan langsung yang bersifat insidental yang diterima dan dikelola sekolah seperti uang pangkal atau sumbangan insidental lainnya (3) biaya tidak langsung baik disalurkan melalui sekolah maupun tidak melalui sekolah (dibelanjakan langsung oleh keluarga siswa), (4) biaya tidak langsung yang tidak dibayarkan melalui sekolah namun mendukung atau merupakan bagian dari biaya proses pendidikan siswa seperti biaya transportase, biaya penelitian, biaya study tour, biaya kursus, dan sebagainya.

Seperti kita ketahui bahwa dana pendidikan berasal dari dua sumber utama, pemerintah dan keluarga (pengeluaran keluarga untuk pendidikan). Berdasarkan kedua sumber itulah sekolah atau perguruan tinggi semestinya satuan biaya pendidikan dihitung. Berapa sesungguhnya pengeluaran riil orang tua murid untuk biaya pendidikan, dan berapa riilnya biaya dikeluarkan oleh pemerintah.

Teman saya Aqip Wijayanta, saat ini sedang kuliah S3 di Curtin University of Technology, mengambil program Perencanaan Pendidikan. Ketika pulang libur ia menceritakan pada saya, bahwa di negara bagian Adeleide, Australia, ketika calon siswa mendaftarkan diri di sekolah, pihak sekolah telah menyediakan formulir kesanggunpan orangtua, di formulir itu tidak ada rentang angka kesanggupan orangtua untuk memilih. Setelah siswa mengisi formulir tersebut, tentunya bersama dengan orang tua, lalu mereka menyerahkan kesanggupan itu ke sekolah. Oleh pihak sekolah, tidak saja menyetujui formulir kesanggupan yang telah diisi tadi.

Pihak sekolah jauh-jauh awal membentuk tim kecil, biasanya tiga sampai empat orang, dan keanggotaannya dari pihak sekolah dan perwakilan masyarakat (semacam komite sekolah di Indonesia), kemudian  meninjau langsung ke rumah calon peserta didik, melihat kondisi riil kehidupan di rumahnya. Hal ini untuk mengindari kebohongan. Sebab, ada orangtua murid ketika tahun ajaran baru yang semula kaya tiba-tiba berubah “kelamin” menjadi miskin.

Berdasarkan hasil laporan tim kecil tadi, pihak sekolah menentukan satuan biaya pendidikan dihitung. Berapa sesungguhnya pengeluaran riil orang tua murid untuk biaya pendidikan, dan berapa riilnya biaya dikeluarkan oleh pemerintah. Dasar pertimbangannya betul-betul sesuai dengan kondisi riil ekonomi orang-tua murid. Sehingga keadilan sangat terasa di sini. Keluarga yang kaya menyumbang agak besar, demikian sebaliknya keluarga miskin menyumbang lebih sedikit. Kekurangan dana tersebut ditanggung sepenunya oleh pemerintah. Cara seperti ini barangkali perlu kita tiru.

Di negara maju,  biaya yang dikeluarkan oleh orang tua siswa adalah hanya untuk menunjang proses belajar siswa, misalnya biaya kursus atau biaya privat. Sedangkan biaya pokok pendidikan seluruhnya menjadi kewajiban pemerintah. Lain halnya dengan kita di sini, hampir seluruh biaya pendidikan dibebankan kepada orang tua. Bahkan ada sekolah untuk menentukan diterima atau tidaknya siswa sudah disodori kuitansi atau sumbangan yang semestinya itu tidak perlu terjadi. Hal ini juga terjadi di perguruan tinggi melalui seleksi mandiri.

Dari konteks inilah kemudian, otak para pengelola pendidikan dituntut kreatif untuk menghasilkan sumber-sumber dana. Beberapa kreativitas itu adalah menjual beberapa aset, “menodong” para alumni, terutama para alumni yang pernah mendapat beasiswa dari perguruan tinggi dirinya menimba ilmu. Hal yang paling menarik untuk dibicarakan adalah bahwa dalam rangka menghasilkan biaya tersebut pihak rektor tak segan-segan menawarkan bangku kuliahnya dengan tarif yang tinggi. Komersialisasi bangku kuliah dengan jutaan bahkan sampai ratusan juta rupiah, sebagai syarat masuk mahasiswa seperti ini bukan isu asing lagi.

Sekalipun beberapa kepala sekolah atau rektor menepis anggapan adanya komersialisasi, namun fakta telah menunjukkan banyak kasus, calon siswa atau mahasiswa yang berani mengisi formulir dengan biaya sumbangan uang gedung di atas rata-rata dipastikan diterima menjadi siswa atau mahasiswa dan mereka yang mencantumkan sumbangan di bawah perhitungan finansial sekolah atau perguruan tinggi tak akan bisa masuk sekolah atau kuliah.

Memang, bisa saja pihak sekolah atau perguruan tinggi memberikan kompensasi bagi para siswa atau mahasiswa yang telah diterima. Kompensasi misalnya, dengan memberikan jaminan layanan pendidikan yang bermutu, penyediaan fasilitas baru, pengembangan perpustakaan, riset, biaya studi banding, dan lain-lain. Akan tetapi, bagaimanapun kompensasi ini tidak dapat lagi memberikan kemurnian pendidikan sebagai salah satu bidang yang menjadi hak setiap orang hidup.

Dengan demikian, yang dapat menikmati pendidikan unggulan hanyalah mereka anak-anak orang kaya. Lalu, bagaimana mereka anak-anak muda yang cerdas, berdedikasi tinggi, berkemauan keras, dan punya segudang bakat tetapi tak bisa melanjutkan sekolah atau kuliah karena tidak punya cukup uang? Yang demikian inilah persoalan klasik yang menimpa pendidikan di negara kita. Belum lagi secara kualitas sarana dan mutu pendidikan belum memenuhi standar mutu pendidikan sesungguhnya, anak-anak muda kita harus menelan pil pahit untuk terpaksa berhenti sekolah atau kuliah di usianya yang masih produktif. Lalu, dimana tanggungjawab pemerintah sesuai bunyi konstitusi kita. (Ben Senang Galus, pengamat pendidikan, tinggal di Yoyakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *