Membaca, Mencegah Defisiensi Pengetahuan

Oleh: Konstantinus Hati

beritabernas.com – Realita berpikir sehari-hari: kita temukan setiap hari di kantor, di jalan, di ruang rapat bahkan di kampus sekalipun tidak hanya sering bahkan selalu. Artinya tiada pernah kita tidak menemukan orang berbicara tanpa dasar ilmu pengetahuan.

Orang yang kita jumpai bahkan monopoli berbicara dengan pendapatnya sendiri. Mungkin juga kita menemukan nasihat dari senior kita namun nasihat itu kita telan sepenuhnya padahal itu bukan nasihat yang berkualitas.

Nasihat itu mungkin benar namun bersifat sebatas nasihat tanpa teori lalu kita mengambilnya sebagai sebuah konseling bagi kita. Padahal konseling itu sendiri harus berdasarkan teori. Sebab, praktek yang benar seharusnya dari konsep yang benar, konsep yang benar berasal dari teori yang benar, sedangkan teori yang benar diperoleh dari membaca. Membaca akan mengubah sikap yang salah ke sikap yang benar. Di samping sikap itu sendiri merupakan salah satu domain dari perilaku, di mana perilaku itu sendiri terdiri dari tiga domain yaitu knowledge, attitude dan action.

Pengetahuan yang benar selalu diperoleh dari membaca buku-buku ilmiah. Orang banyak membaca selalu memiliki integritas kepribadian yang baik, tegas dan tidak ambivalensi. Dalam teori sikap yang disampaikan Skiner dan Notoadmojo bahwa semakin baik pengetahuan orang maka sikapnya pun cendrung favorable maka tindakannya atau prakteknya pun pasti tidak salah. 

Kita mungkin tidak malu jika selalu saja mendengar bicara sombong di depan kita karena kita sendiri tidak tahu bahwa yang dia bicarakan itu salah menurut teori, atau bahkan kita tidak merasa berdosa jika kita dipimpin oleh orang yang malas membaca bahkan membaca aturan sekalipun. Lalu kita menurutinya tanpa sadar. Karena memang kita tidak memiliki kesadaran pengetahuan.

BACA JUGA:

Padahal pengetahuan itu diperoleh dengan membaca. Aduh, sayang sekali kita sama-sama hidup dalam kegelapan pada zaman digitalis ini. Pengetahuan mudah diakses tetapi kita senang saja duduk ngobrol, nonton tiktok dan baca artikel dari dinding facebook yang nilai teorinya tidak ada atau ada tetapi belum benar. Mungkin kita terpelihara oleh pemimpin kita yang sudah lelap dengan malas membaca, sudah pongah dengan jabatan lalu enggan membaca teori lagi karena hanya membuat dia mengantuk lalu kita mengikutinya. Oah, janganlah kita ingin sama-sama masuk jurang.

Negeri kita adalah negeri yang dihidupi oleh pewaris nilai dan norma subyektif yang telah mengajarkan kita untuk tidak pongah, tetapi terus berjuang menggali kekayaan alam ini dengan membaca. Mendengar dengan sabar adalah baik dalam perolehan pengetahuan. Seringkah kita mendengar pembicaraan yang tidak berdasar? Tentu sering, tetapi kita tidak mengabaikan atau tidak membantahnya selain menjaga kehormatan orang, juga terutama menjaga kehormatan kita sendiri.

Kita diajar untuk selalu asertif dalam komunikasi. Kita bisa membantah sesuatu yang tidak benar dengan komunikasi tegas dan asertif apabila kita memiliki kemampuan yang asertif pula. Membantah yang benar adalah membantah dengan konsep teori yang melahirkan sikap favorable. Sikap favorable lahir dari kepadatan reduksi pengetahuan dalam diri kita.

Pengetahuan itu mengantar pemikiran kita ke dalam pikiran yang benar yang sering orang akademis mengatakan favorable minds. Namun karena kita tidak pernah membaca maka kita memuji saja orang yang banyak bicara yang tidak berdasarkan teori yang benar. Kita tidak sadar hidup dalam unfavorable minds yang berakibat kita bersikap unfavorable pula. Seperti selalu menilai orang yang berbicara tegas adalah orang sombong.

Inilah bencana dari malas membaca, dan kondisi ini selalu kita jumpai namun sedikit saja orang yang menyadarinya. Sering mungkin kita menjumpai orang yang berbicara santun dan secara retorika pembicaraannya terstruktur menurut kita. Namun sebenarnya pembicaraan itu mungkin tidak berlaku di depan orang akademisi, misal berani bicara banyak di depan profesor, atau di depan doktor atau paling rendah mungkin di depan orang yang rajin belajar.

Tentu hal yang dibicarakan itu tidak ditanggapinya karena apa yang kita bicarakan itu adalah sampah. Sebenarnya, selama ini kita sudah bersalah terhadap bahasa. Mengapa? Karena kita sendiri tidak taat pada perintah bahasa itu sendiri. Bahasa itu sebenarnya adalah kehadiran peradaban yang masih bersifat abstrak. Namun bahasa itu memiliki kekuatan yang besar untuk mengubah dunia. Bahasa yang benar selalu dipakai oleh orang yang sering membaca. Mungkin sebabnya seorang tokoh filsuf Perancis yaitu Descartes mengatakan cogito ergo sum yang artinya aku berpikir maka aku ada.

Descartes ingin menegaskan bahwa seseorang itu dapat menyatakan keberadaannya secara mutlak hanya bisa dibuktikan dengan apabila orang itu berpikir. Berpikir dalam konteks pesan yang disampaikan Descartes ini adalah berpikir mencari tahu dengan tanpa henti tentang kebenaran baik tentang diri sendiri, orang lain maupun alam ini. Berpikir untuk tidak mudah dijajah oleh sebuah kondisi. Berpikir yang benar selalu berasal dari teori yang benar. Teori yang benar selalu diperoleh melalui sekolah dan minimal bisa diperoleh dengan membaca. Sering kita jumpai banyak orang mengabaikan teori seperti dari mulut seseorang pemimpin misalnya, ”ah itu teori”.

Akibatnya teori itu diabaikan. Padahal tindakan yang benar itu selalu berasal dari teori yang benar dan teori yang benar lagi-lagi selalu diperoleh dengan membaca banyak buku.  

Membaca yang Serius Mencegah Defisiensi Pengetahuan

Kemampuan daya ingat manusia sangat terbatas. Apalagi jika kita sering sibuk dengan kurang konsumsi air putih, kurang makan buah, hidup bersama asap rokok, banyak makan karbohidrat maka otak kita akan jadi pelupa. Bagian otak kita yang berfungsi untuk penglihatan adalah bagian oksipitalis atau bagian belakang kepala dan untuk menyimpan file materi adalah bagian temporalis atau bagian dasar sejajar atas telinga kita.

Fungsinya menjaga keseimbangan, mengingat kembali dan mengatur kemampuan berbicara. Sedangkan untuk khusus berbicara adalah bagian frontalis atau bagian depan. Lobus frontal ini berperan khusus untuk mengatur gerakan, kemampuan mengucap dengan benar, emosi, memori, perilaku, kepribadian dan berintelegensi seperti kemampuan untuk memecahkan masalah, berpikir logis yang selanjutnya bisa mengambil keputusan yang benar dalam menghadapi dua pilihan yang sama-sama kuat menantang pilihan ketika sedang berharap sesuatu.

Itu bagian otak secara umum yang mudah dipahami oleh awam yang tidak kuliah anatomi manusia seperti sekolah kedokteran, ners dan psikologi. Otak depan yang berfungsi beretorika bahasa akan bisa menunjukkan kemampuan beretorika dengan benar apabila ada file materi yang disimpan pada bagian dasar otak atau lobus temporalis.

 Jika ada file yang disimpan maka otak kita bagian oksipital akan merefiew-nya kembali dengan benar jika ada objek yang ditangkap via indra penglihatan, sehingga melalui system kerja akson pada system neurotransmitter mengantarkan materi itu ke otak bagian frontalis untuk diungkapkan dalam bentuk bahasa. Nah, bagaimana bisa ada file pada otak jika kita tidak membaca? Otak manusia diibaratkan dengan piso pengiris bawang di dapur, jika dipakai tanpa asah maka piso itu pasti tumpul.

Untuk mengasah otak manusia harus dengan membaca. Banyak orang yang kecerdasan intelegensinya bagus, namun jika tidak membaca pada ujungnya kemampuan itu akan lenyap, dan dia pasti berperilaku lagi seperti orang yang kecerdasan intelegensinya rendah. Kekurangan pengetahuan terjadi karena tidak membaca. Sangat memalukan jika kita sudah melek huruf lalu malas membaca, ini berakibat pada timbulnya bencana perilaku unfavorable.

Bentuk bencana manusia yang kurang membaca adalah cara memimpin yang tidak benar, malas bekerja, tidak berpikir, berbicara dengan retorika yang tidak terstruktur, tidak mampu mencerna pembicaraan orang lain, salah membagi tugas dalam tupoksi, manajemen warung kopi, tidak mau berdiskusi, tidak mampu berkomunikasi dengan asertif, selalu agresif menegur orang yang dipimpin, memimpin pakai hati tidak pakai otak berbasis manajemen sehingga cepat tersinggung, sering tersinggung, mudah luka hati, sering kecewa, menganggap remeh, sering mudah terima sosok atau pengaruh. Semua bencana ini akibat dari defisiensi ilmu pengetahuan.

Cedera komunikasi adalah salah satu bencana defisiensi pengetahuan. Salah paham, salah mengerti, salam menerjemah nomenklatur, salah memberi wewenang dalam tugas dan fungsi. Ini mungkin sedikit orang yang sadar karena hanya sedikit orang juga yang rajin membaca. Di sini disfungsi bahasa yang sering disebut dalam bahasa simbolik merupakan instrumen kekuasaan simbolik. Dalam kehadiran bahasa sebagai intrumen simbolik kekuasaan maka dia hadir sebagai power agresif terhadap staf atau terhadap lawan. Sesungguhnya hal ini juga akibat dari kurangnya membaca teori-teori moral dan kemanusiaan serta kurang insaf terhadap perintah regulasi yang ada di negeri kita.

Dalam Language and Symbolic Power (1991) yang disampaikan oleh Pierre Bourdieu hal seperti ini sebagai habitus. Di sini Pierre menjelaskan bahwa bahasa sebagai kekuatan yang mengatur konsep habitus (latin) atau Hexis (Yunani) melebur agensi dan struktur. Di sini, hadirnya habitus sebagai bahasa yang berperan sebagai symbol dan capital (baca artikel Ben Senang Galus, dalam: Bahasa sebagai instrument simbolik kekuasaan).

Pierre menegaskan bahwa ketika bahasa hadir sebagai symbol kepemimpinan maka kekuatan bahasa itu sangat menjalar dan menjadi sistemik kepada publik. Atau sederhananya jika pemimpin yang berbicara maka bicaranya itu menjadi sebuah kekuatan. Selanjutnya bahasa itu berfungsi sebagai symbol dan kekuasaan. Lalu bagaimana jika seorang yang dipercaya untuk memimpin tidak membaca atau kurang membaca? Bagaimana menurut Pierre Bourdieu? Ketika bahasa itu salah maka kehadiran bahasa sebagai simbol pun akan menjadi salah, kekuasaan pun akan menjadi menyimpang atau melanggar aturan. Apa bisa? Iya bisa saja, karena sudah tinggal dalam ruang gelap.

Bahasanya salah maka kekuasaan pun salah. Untuk mencegah hal itu kita harus mengikuti pendapat Johar. Johar menjelaskan tentang jendela pengetahuan yang disebut sebagai Johar Windows. Dalam konsep Johar Windows tidak boleh ada ruang yang gelap, semuanya harus terang. Untuk bisa menjadi terang maka sangat perlu saling berdiskusi, sharing dan membaca. Maka lahirlah sebuah pemahaman yang sama.   

Membaca Mencegah Feodal Monarki

Ketika kita berbicara tentang kapitalisme pasti kita juga ingat tentang feodalisme. Sederhananya ingat si kaya atau si pedagang dengan si raja atau si penguasa. Loh begitu mudah ya? Iya, ingat tokoh besar Max Weber bukunya berjudul Die Protestantische Ethik artinya etika protestan dan jiwa kapitalisme. Jiwa protestan ini dikembangkan oleh Calvinisme puritan yang dianggap sebagai inspirator pagi pemeluk agama Protestan untuk giat bekerja dan membuka usaha.

Sebenarnya kapitalisme ini sudah lahir jauh sebelum reformasi gereja di Eropa seperti yang disampaikan oleh Richard Osborne bahwa munculnya kapitalisme sebagai pandangan hidup di Eropa sejak akhir abad pertengahan yang ditandai dengan adanya economy sosial feodalis dan mendominasi dogma Gereja.

Lalu sampai dengan saat ini, apakah kita sadar bahwa masih ada pertandingan antara feodalisme dan kapitalisme? Dalam bentuk apa pertandingan mereka? Inilah bentuk pertandingan mereka. Di satu sisi ada kekuasaan yang mengatur negeri ini dan di sisi lain ada pengusaha besar yang bermain peran berbeda. Lalu apakah keduanya menjajah? Iya keduanya menjajah baik psikis, sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan iman anda pun mereka bisa beli.

Dalam psikis mereka mempengaruhi anda dengan promosi produk jadi misalnya mie rebus telur. Anda menganggap mie rebus telus sebagai sayur sehingga ibu-ibuhamil yang mengkonsumsinya berakibat anak stunting. Mengapa? Iya karena mie rebus telur itu bukan sayur melainkan tepung campur sayur. Jika anda makan nasi dan mie rebus telur jadi anda tidak makan sayur.

Padahal konsep pemenuhan gizi agar tidak stunting adalah makan mengandung protein, vitamin dan karbohidrat. Protein sumbernya daging, telur dan kacang-kacangan. Lalu vitamin bersumber dari sayur dan buah sedangkan karbohidrat bersumber dari nasi, jagung dan umbi-umbian.

Ibu hamil harus makan banyak sayur yang mengandung asam volat untuk mencegah kecacatan tabung syarat sehingga tidak stunting dan cacat. Lalu pengaruh kapitalis dan feodalis terhadap pendidikan, ekonomi, sosial bahkan agama apa ya? Iya pengaruhnya adalah semua pelaku pendidikan, ekonomi, sosial dan bahkan tokoh agama bisa berselingkuh atau kerjasama dalam intervensi perencanaan, pelaksanaan dan pengukuran serta penilaian dalam pembangunan. Lalu apa anda juga tersandra? Iya tentunya jika anda defisiensi pengetahuan.  

Mungkin anda sadar bahwa tidak sedikit orang yang berjuang untuk mencapai sebuah kedudukan. Lalu ketika sudah mendudukinya semua diaturnya, ada yang mengikuti aturan ada juga yang menurut maunya saja, artinya sudah di luar aturan. Apakah anda sudah membaca aturannya bahwa pengaturannya itu ikut aturan? Jika tidak mengikuti aturan, itulah yang disebut dengan feodalisme monarki.

Dalam pertandingan feodalisme dan kapitalisme sampai dengan saat ini kekalahan selalu menjadi titik temu untuk bisa mengatur dan diatur. Peristiwa politik pembangunan semu merupakan konfigurasi keakuran dan soliditas kaum feodal dengan kaum kapitalis bergandengan tangan menjalankan pembangunan di negeri ini. Di dalamnya ada politik rente yang melahirkan kemenangan dan kekalahan, lalu dibedakan oleh sebuah perinsip oligarki yang anti kritik. Pihak kalah dibuang dan yang menang ambil posisi mengatur, aduh ini payah.

Peran membaca dalam hal ini adalah agar anda dan saya tahu bahwa di negeri ini di mana zaman digitalis perlu perlindungan diri dari bencana gesekan feodalis dan kapitalis. Ketika anda dan saya memiliki banyak pengetahuan melalui membaca maka paling tidak kita masih memiliki perisai moral, etika dan norma menjalankan hidup dengan bekerja keras dan giat berusaha melalui pengetahuan yang dimiliki.

Kita mungkin atau tidak sedikit orang tahu bahwa kaum borjuis sudah menggeserkan kaum feodalis. Atau paling tidak kaum feodalis yang tersisa sudah mulai menunduk minimal bekerja sama dengan eratnya dengan kaum kapitalisme. Seperti apa bentuknya ya. Coba lihat saja di negeri ini. Apakah kekuasaan raja masih menjajah para saudagar? Apakah turunan raja tetap mengatur orang kaya? Apakah tuan tanah tetap memerintah kaum pedagang? Oah, saudaraku, knowledge is Power. Ini sering saya dengar sejak kecil bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Bagi sang juara, pengetahuan adalah makanannya, itulah sebabnya sang juara pasti waktunya selalu digunakan untuk membaca. Banyak anak orang kecil menjadi besar di Jakarta karena tekun membaca.

Karena mereka menyadari bahwa dengan membaca dia bisa mengetahui mendalam tentang hal yang ingin diketahui. Tidak mudah memang mencapai cita-cita yang tinggi, tentu kunci harus dengan membaca. Tetapi seringkali kita temukan banyak orang waktu SD, SMP, SMA berprestasi karena tekun membaca, namun ketika sudah masuk kuliah, prestasinya menurun bahkan sampai DO, pindah kampus, ini juga tidak sedikit orang. Hal ini lahir karena salah tujuan dari belajar. Atau juga mungkin karena pongah dengan posisi orangtua mampu sehingga banyak ogah-ogahan, sibuk berkumpul menceritrakan kehebatan masa SMA lalu menganggap yang di bawah kemampuannya, sampai menganggap materi yang dipelajari mudah.

Kegagalan membaca jika tujuan hanya untuk mendapat nilai tinggi, makanya membaca jangan menghafal. Menghafal sering membuat otak kita lelah. Sedangkan konsep membaca yang benar adalah membaca tanpa ada tekanan, tujuannya agar otak kita bisa menyimpan file pada dasar otak kita. File itu akan muncul oleh system neurotransmitter ketika ada soal atau hal yang kita pernah baca muncul pada permukaan, maka dengan pelan otak bagian oksiptalis merefiew-nya kembali oleh objek yang ditangkap melalui indra penglihat. Inilah cara belajar pada tingkat perguruan tinggi. Sehingga para pembaca dan penulis yang handal selalu menggunakan cara membaca seperti ini agar tidak jenuh.

Jika kita berpijak pada konsep pilar pendidikan UNESCO 2008 bahwa ada 4 pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to be, learning to live dan learning to believe in the God. Konsep belajar untuk mengetahui berarti konsep belajar untuk memiliki pengetahuan. Pada akhirnya pengetahuan itu akan meninggikan martabat manusia melalui kehadiran kreatifitas yang dibuat dalam hidup. Belajar untuk bisa melakukan (learning to do) adalah menekankan penguasaan dan peningkatan skill. Selanjutnya skill ini menjadi power untuk membuka praktek mencari hidup, belajar untuk menjadi ada atau eksistensi ilmunya berlaku di mana saja dan kapan saja.

Dalam konteks ini kehadiran pengetahuan itu berlaku ke semua pasar. Ijasahnya bisa diuji oleh pemakai. Laku di pasaran. Belajar untuk hidup artinya ilmu itu dipakai untuk mencari hidup bukan untuk menjadi hamba atau dalam bahasa orang Manggarai, ”Kraeng artinya orang yang bermartabat. Bukan Kraeng yang berarti kera eng yang artinya kaba lorong isung atau kerbau penurut”.

Kerbau penurut artinya kerja tanpa berpikir kritis seperti yang disampaikan filsuf Descartes tadi. Lalu belajar untuk percaya kepada Tuhan artinya ilmu itu dipakai untuk memuliakan Tuhan, bukan kesombongan diri.

Membaca akan mendekatkan diri para pencinta pengetahuan pada tiga pilarnya yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis. Ontologis merupakan induk ilmu itu sendiri. Contohnya ilmu kedokteran. Epistemologis merupakan pengembangan ilmu menjadi beranak pinang. Contoh ilmu kedokteran melahirkan kedokteran anak, kedokteran mata, kedokteran kulit, kedokteran THT, kedokteran bedah. Sedangkan aksiologis artinya norma ilmu pengetahuan itu sendiri. Maka dalam prakteknya ilmu itu tidak menyimpang.

Ilmu harus melindungi martabat manusia secara absolut, misalnya ilmu kebidanan tidak boleh melakukan praktek aborsi. Ketiga pilar ilmu pengetahuan ini merupakan batu tungku yang menjaga keseimbangan agar ilmu itu tetap menjadi sumber pengetahuan sepanjang peradaban manusia. Dengan ilmu pengetahuan orang menjadi kaya, dengan kekayaan orang bisa mendirikan partai politik, dengan partai politik orang bisa menjadi penguasa. Namun karena ilmu memiliki pilar aksiologis maka dalam memimpin, kepemimpinannya tetap harus mengikuti aturan yaitu aturan kepemimpinan. Sesungguhnya, semua kearifan ilmu pengetahuan diperoleh dengan membaca.   

Sedangkan bagi pedagang yang dibutuhkan adalah kejujuran. Honesty is a currency that applies everywhere. Kejujuran yang berlaku di mana-mana, bagi orang yang membuka usaha berbekal pengetahuan, kejujuran dan kerja keras menjadi modal dasarnya. Banyak orang kaya berpendidikan cukup untuk bisa membaca dan berhitung, karena bermodal kejujuran, giat bekerja dan berusaha maka dia menjadi milioner lalu bergabung dengan kaum kapitalisme lainnya. Selanjutnya mereka bisa mengatur negeri ini melalui politik pembangunan semu, politik rente dan berakibat praktek oligarki dan anti kritik.

Inilah sebabnya kita semua diajak untuk membaca agar kita mengenal pengetahuan itu sehingga bisa melindungi diri kita dari semua bencana ini.

Membaca Mencegah Matinya Nalar Demokrasi

Anda mungkin sering mendengar istilah pemilih rasional dan pemilih irasional? Yah, dimana pun Anda berjalan, kemana pun anda pergi, dalam situasi apa pun anda berada pasti anda selalu berhadapan dengan perbincangan tentang figur-figur politik dalam demokrasi. Misalnya figur calon pemimpin negara, figur pemimpin provinsi atau mungkin figur untuk memimpin kabupaten. Semuanya diperkenalkan oleh partai politik dalam panggung politik. Di sana anda dan saya mendapat informasi tentang kehebatan tokoh-tokoh penting itu.

Promosi figur- figur pemimpin ini tentu melalui banyak teori pembangunan dan data-data pembangunan mulai dari pusat sampai di desa di mana anda dan saya ada. Materi promosi itu pun anda tahu tentu harus melalui membaca. Ketika anda dan saya rajin membaca pasti anda akan mengetahui konsep pendekatan pembangunan yang dipromosikan oleh para promotor politik di panggung politik. Nah, dengan demikian kita yang memiliki pengetahuan melalui membaca akan berpikir logis untuk menentukan pilihan politik.

Pemikiran logis terhadap pembangunan akan bisa melaksanakan politik demokrasi melalui penentuan pilihan atas dasar pemikiran yang benar karena lapangan membacanya banyak. Dalam posisi kita sebagai pemilih yang logis, sesungguhnya kita sedang memelihara nalar demokrasi. Negeri ini kuat karena rakyatnya cerdas menuju kreasi pembangunan melalui membaca banyak.

Namun, ketika kita tidak memiliki pengetahuan tentang konsep pembangunan maka kita defisiensi konsep politik demokrasi. Di sinilah kita dijajah oleh kaum borjuis dan kaum feodalis, kita mudah dipropaganda dengan komunikasi politik yang kita tidak mengerti ujung pangkalnya. Suara kita pasti mudah dibeli duit atau tanpa duit melalui cara-cara yang bohong dalam kampanye politik pembangunan.

Ketika kita defisiensi pengetahuan politik karena kurang membaca maka matilah nalar demokrasi kita. Dengan demikian politik pembangunan semu bermain peran untuk meraih kemenangan semu tanpa melindungi kebutuhan dan amanat pembangunan rakyat tetapi untuk kepentingan kaum kapitalis dan feodalis. Matinya nalar demokrasi negeri ini hancur dan rakyat menderita dalam defisiensi pengetahuan.

Bupati Manggarai Heribertus GL Nabit melalui Kadis Kearsipan dan PerpustakaanDra Venidiana Wanggut mengajak anda dan saya untuk mengisi ruang klise otak kita agar tidak defisiensi pengetahuan dengan membaca. Program mencerdaskan anak Manggarai termasuk PNS Pemerintah Kabupaten Manggarai menghadirkan pojok baca digitalis di depan kita sebagai sarana gratis memberikan kita berbagai video dan buku-buku digitalis.

Akhirnya salam sukses belajar membangun negeri melalui membaca untuk membentuk karakter dan integritas diri anda yang bersih dan bermartabat. (Konstantinus Hati, Penulis Buku Liturgis Tata Upacara adat Manggarai dan falsafahnya)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *