beritabernas.com – Dengan mengerahkan sekitar 400 personil gabungan dari kepolisian, TNI dan Dishub, PT KAI berhasul melakukan pengosongan rumah dinas di Jalan Hayam Wuruk Nomor 110 (PJKA 13) milik PT KAI Daop 6 Yogyakarta, pada Selasa 8 Juli 2025 pagi.
Ini merupakan rumah terakhir yang dikosongkan secara paksa, karena penghuni rumah tidak memberikan pernyataan bersedia mengosongkan secara sukarela.
“Karena ini penertiban, maka sesuai prosedur yang kami berikan adalah ongkos bongkar untuk bangunan tambahan. Kami sudah sosialisasikan beberapa kali kepada yang terdaftar, sehingga 13 warga lainnya sudah setuju dan bersedia untuk mengosongkan bangunan secara sukarela. Tidak ada kompensasi dan kerugian, yang ada adalah ongkos bongkar,” kata Feni Novida Saragih, Manager Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, kepada wartawan di sela-sela penertiban berupa pengosongan rumah dinas di Jalan Hayam Wuruk Nomor 110 (PJKA 13) milik PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Selasa 8 Juli 2025.
Menurut Feni Novida, sebelum dilakukan upaya penertiban, PT KAI telah menempuh berbagai tahapan mulai dari sosialisasi, mediasi hingga mengirimkan Surat Peringatan (SP) 1 hingga SP 3. Pengosongan rumah ini merupakan tindak lanjut dari SP 3 yang yang sudah dilayangkan PT KAI.

Dalam pengosongan itu, barang-barang milik penghuni rumah sudah diamankan dan diantarkan ke rumah singgah di wilayah Sleman. Karena ini penertiban aset bangunan negara di bawah pengelolaan KAI, jadi tidak perlu ada surat pengadilan.
Ketika ditanya wartawan, apa yang akan dilakukan KAI jika penghuni rumah melakukan upaya hukum, Feni menjawab bahwa upaya hukum merupakan hak setiap warga dan pihaknya akan berkoordinasi dan kooperatif. Satu warga yang hari ini dilakukan pengosongan rumah tidak mendapatkan kompensasi karena sudah melewati masa SP 3.
Menyayangkan pengosongan
Sementara Juru Bicara warga Tegal Lempuyangan Antonius Fokki Ardiyanto menyayangkan upaya pengosongan rumah menggunakan cara-cara premanisme.
“Ini memberikan pembelajaran kepada kita semua bahwa pendekatan kekuatan massa ternyata lebih penting dari pada pendekatan hukum. Ini menjadi pelajaran buat kawan-kawan yang akan menghadapi kasus yang sama yang melibatkan PT KAI. Saya yakin, ini pasti bergulir kemana-mana.,” kata Fokki yang juga mantan Anggota DPRD Kota Yogyakarta ini.
BACA JUGA:
- Humas KAI Daop 6 Yogyakarta: Penertiban untuk Penataan Stasiun Sesuai dengan Prosedur
- PT KAI Daop 6 akan Mengosongkan Rumah Dinas PJKA No 13 di Bausasran pada Kamis 3 Juli
Senada dengan Fokki, kuasa hukum warga Tegal Lempuyangan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Muhammad Rakha Ramadhan mengecam segala bentuk tindakan arogansi dari PT KAI yang menggunakan pendekatan kekuasaan dalam menyelesaikan sengketa ini.
“Bahwasanya tadi sekitar pukul 08.00 WIB dari PT KAI langsung datang ke rumah ini dan tidak menyampaikan banyak hal. Kami selaku kuasa hukum dari penghuni rumah di Jalan Hayam Wuruk Nomor 110 sudah menyampaikan keberatan terkait apa yang menjadi dasar hukum PT KAI melakukan upaya penertiban dan pemindahan paksa ini. Apa yang menjadi dasar klaim PT KAI dalam proses mengatakan kalau ini adalah asetnya serta mengenai regulasi terkait besaran kompensasi,” kata Muhammad Rakha.
Dikatakan, setiap pertemuan dengan PT KAI selaku kuasa hukum maupun warga sendiri, PT KAI tidak pernah menjawab secara signifikan, secara konkret. Namun hari ini yang terjadi adalah PT KAI mengerahkan aparat untuk melakukan upaya eksekusi paksa. Tentu ini bentuk tercederainya keadilan dan hukum. Seharusnya, proses penyelesaian sengketa seperti ini dilakukan dengan proses dialog dan mediasi.

“Hari ini Yogyakarta kembali memperlihatkan bahwa pendekatan kekuasaan lebih dikedepankan daripada pendekatan kepastian hukum dan hak asasi manusia,” kata Muhammad Rakha.
“Mengenai Rp 200 ribu,Rp 250 ribu, Rp 10 juta rumah singgah dan berbagai item kompensasi yang ditawarkan, itu kami tanyakan. Regulasi yang menjadi acuan besaran angka tersebut tidak pernah dijawab oleh KAI. KAI selalu mengatakan ini adalah peraturan internal dan sifatnya rahasia. Kami cek bahwa informasi yang dikecualikan itu harus bisa dibuka dan diakses publik, apalagi penghuni rumah Jalan Hayam Wuruk 110, karena mereka selaku warga yang terdampak. Tapi ruang komunikasi dan informasi tidak pernah dibuka, cenderung tertutup dan satu arah, sehingga akhirnya kita melihat apa yang terjadi hari ini,” kata Muhammad Rakha.
Menurut Rakha, pihaknya akan melakukan penilaian dan analisa. Sejauh ini sudah banyak dugaan-dugaan dan temuan-temuan yang sejatinya terindikasi perbuatan yang melawan hukum. “Kami telaah lebih dulu untuk kemudian melakukan upaya hukum dalam posisi pihak penghuni rumah mencari keadilan. Upaya hukum baik pidana atau perdata kami pertimbangkan dengan melihat kondisi yang terjadi hari ini,” kata Muhammad Rakha. (Clementine Roesiani)
There is no ads to display, Please add some