beritabernas.com – Kesadaran masyarakat menjadi faktor kunci dalam pengurangan sampah. Kesadaran itu dimulai dari rumah tangga sebagai penghasil utama sampah. Semakin tinggi kesadaran masyarakat dalam memilah dan mengolah sampah maka volume sampah semakin berkurang. Demikian pula sebaliknya.
Upaya pengurangan sampah yang paling efektif adalah dengan memilah dan mengolah sampah organik dan anorganik. “Jika setiap rumah tangga memilih kesadaran memilah sampah organik dan anorganik, maka beban TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah akan jauh berkurang. Sampah organik dapat diolah menjadi kompos, sementara sampah anorganik bisa didaur ulang atau dimanfaatkan kembali,” kata Agustinus Irawan ST, Ketua Forum Komunitas Sungai Sleman dan Instruktur Saka Kalpataru Sleman, dalam seminar di Ruang Audio Visual Gedung Thomas Aquinas, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) pada Minggu 23 Maret 2025.
Seminar bertajuk Membangun Gerakan Partisipatif Pengelolaan Sampah untuk Merawat Bumi dan Air Partisipatif yang diadakan oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kevikepan Yogyakarta Timur bekerja sama dengan Gerakan Laudato Si’ Indonesia-Chapter Yogyakarta ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai komunitas lingkungan, akademisi, dan masyarakat umum.

Pada kesempatan itu, Agustinus Irawan menekankan pentingnya kesadaran masyarakat yang dimulai dari rumah tangga untuk memilah sampah organik dan anorganik. Menurut hasil survei Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2022) menunjukkan bahwa hanya 40 persen masyarakat Yogyakarta yang memilah sampah di rumah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK, 2022).
Minimnya pemahaman tentang prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), menurut Agustinus, menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, setiap hari Yogyakarta memproduksi sekitar 1.300 ton sampah, dengan 60% di antaranya merupakan sampah organik yang seringkali tidak terkelola dengan baik. Penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan akibat kelebihan kapasitas memperburuk situasi ini. Selain itu, pencemaran sungai oleh limbah domestik turut mengancam kualitas air bersih.
Agustinus Sumaryoto, Ketua Komisi KPKC Kevikepan Yogyakarta Timur, menyebutkan, seminar ini menekankan urgensi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah. “Kami berharap seminar ini tidak sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi juga memantik gerakan nyata di tingkat komunitas. Setiap individu memiliki peran penting dalam mengurangi dan mengelola sampah dengan bijaksana,” ujar Agustinus.
BACA JUGA:
- Mesin Pirolisis, Mengolah Sampah Plastik Menjadi Bensin dan Solar
- Kualitas Bensin Plastik Setara dengan Pertamax
- Bank Sampah Go Green Cupuwatu Mengolah Sampah Plastik Menjadi BBM
- Mahasiswa KKN UII Ciptakan Alat Optimasi Mesin Pembakar Sampah di Kelurahan Purbayan
Sementara Frederico Dwi Setyanto S.Sn, salah satu pembicara, memaparkan inovasi pemanenan air hujan sebagai solusi untuk mengatasi defisit air bersih. “Pemanenan air hujan adalah metode sederhana yang dapat diterapkan di rumah tangga untuk mengurangi ketergantungan pada air tanah,” kata Dwi Setyanto.
Sedangkan Drs P Kianto Atmodjo MSi, pembicara lainnya, berbagi pengalaman sukses komunitas dalam mengolah sampah organik menjadi produk bernilai ekonomi. Ia menegaskan bahwa pengolahan sampah bukan sekadar tanggung jawab pemerintah, melainkan juga kesempatan bagi masyarakat untuk berwirausaha.
“Dengan pengolahan yang tepat, sampah organik bisa diubah menjadi kompos atau pakan ternak. Ini adalah peluang ekonomi sekaligus kontribusi nyata terhadap lingkungan,” tutur Kianto.
Sebagai bentuk komitmen, peserta seminar bersepakat untuk membentuk kelompok kerja komunitas di lingkungan masing-masing. Fransisca Supriyani Wulandari SPd yang memandu sesi praktik kolekte sampah daur ulang, mendorong peserta untuk memulai dari langkah kecil seperti memilah sampah di rumah.

“Perubahan besar berawal dari tindakan sederhana. Dengan memilah sampah, kita sudah berkontribusi dalam menjaga lingkungan,” ujar Fransisca penuh semangat.
Agustinus Sumaryoto berharap seminar ini menjadi titik awal gerakan partisipatif dalam pengelolaan sampah di Yogyakarta. Para peserta akan didorong untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di komunitas masing-masing, membangun bank sampah, atau mengadakan kegiatan edukasi lingkungan.
“Kami optimis bahwa gerakan ini akan berdampak positif. Dengan kerja sama semua pihak, kita bisa menjaga bumi dan air tetap lestari,” kata Agustinus Sumaryoto.
Dengan semangat Laudato Si’ yang menekankan pentingnya ekologi integral, komunitas di Yogyakarta kini memiliki modal pengetahuan dan inspirasi untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan. (lip)