Oleh: Maria Sertiana Naus, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia
beritabernas.com – Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Bukan sekadar seremoni tahunan atau mengenakan kebaya untuk berfoto, tetapi Hari Kartini sejatinya merupakan momen penting untuk merefleksikan kembali peran dan perjuangan perempuan Indonesia, baik di masa lalu maupun kini.
Raden Ajeng Kartini telah membuka jalan bagi perempuan untuk bersuara, belajar, dan memiliki peran dalam masyarakat yang lebih luas. Perempuan Indonesia tidak hanya hadir sebagai pelengkap, melainkan sebagai penggerak dan pengubah keadaan. Di berbagai pelosok negeri, kita melihat perempuan-perempuan luar biasa yang menjalankan banyak peran sekaligus, baik itu sebagai ibu, pendidik, pekerja, dan pemimpin. Mereka bukan hanya menghadapi kesulitan hidup, tetapi juga membuktikan bahwa mereka mampu bangkit, bertahan, bahkan memberi dampak nyata bagi masyarakat di sekelilingnya.
Dalam konteks ekonomi, perempuan telah mengambil peran strategis, khususnya dalam sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, lebih dari 64 persen pelaku UMKM di Indonesia adalah perempuan. Mereka mengelola usaha rumah tangga, berdagang, memproduksi kerajinan, makanan, hingga merintis bisnis digital.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kontribusi perempuan dalam PDB Indonesia bahkan mencapai lebih dari 60 persen. Angka ini membuktikan bahwa perempuan bukan hanya berkontribusi, tetapi menjadi tulang punggung dalam perekonomian nasional.
BACA JUGA:
Namun, di balik prestasi itu, tantangan besar masih membayangi. Perempuan Indonesia masih harus bergelut dengan ketidaksetaraan akses pendidikan, perlakuan diskriminatif di tempat kerja, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Laporan Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat lebih dari 300 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, yang menunjukkan bahwa persoalan mendasar terkait perlindungan hak-hak perempuan masih belum terselesaikan, dna masih banyak maslah lainya yang belum terpecahkan dalan nenperjuangkan hak-hak perempuan.
Kartini masa kini tidak hanya berbicara tentang akses pendidikan atau kebebasan berpikir, tetapi juga tentang bagaimana perempuan bisa mendapatkan kesempatan yang setara untuk berkembang dan memimpin. Hari Kartini harus menjadi refleksi kolektif tentang bagaimana negara, masyarakat, dan individu memperlakukan dan memberdayakan perempuan.
Apakah perempuan sudah benar-benar mendapat ruang yang setara? Apakah negara sudah memberi perlindungan yang cukup? Apakah masyarakat sudah mengikis stigma dan batasan terhadap peran perempuan? Perempuan Indonesia tidak menunggu diberi kesempatan, tetapi mereka menciptakannya sendiri. Namun dukungan dari seluruh elemen bangsa tetap sangat diperlukan.
Pemerintah harus memastikan kebijakan pro-perempuan tidak hanya berhenti di atas kertas. Dunia pendidikan perlu menjamin bahwa anak perempuan dari desa terpencil hingga kota besar bisa belajar dan bercita-cita tanpa dibatasi gender. Masyarakat juga perlu menghapus anggapan bahwa perempuan hanya layak di ranah domestik.
Dengan memberdayakan perempuan, kita memperkuat fondasi sosial, ekonomi, dan moral bangsa. Karena perempuan yang tangguh bukan hanya mengangkat dirinya sendiri, tetapi juga keluarga, komunitas, dan negeri ini.
Hari Kartini bukan tentang masa lalu, tetapi tentang bagaimana kita menciptakan masa depan yang lebih adil, setara, dan manusiawi. Perempuan Indonesia telah membuktikan dirinya tangguh. Kini giliran kita semua untuk memastikan bahwa ketangguhan itu tidak dirintangi, melainkan diberdayakan. (Maria Sertiana Naus, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia)
There is no ads to display, Please add some