Oleh: Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia
beritabernas.com – Di tengah gempuran pembangunan dan modernisasi yang katanya demi kemajuan bangsa, suara-suara masyarakat adat seperti Dayak sering kali hanya menjadi gema yang memantul di ruang kosong. Mereka yang paling dekat dengan hutan, paling paham cara merawat alam, justru tidak dilibatkan saat kebijakan soal tanah, hutan, dan lingkungan disusun. Ironis, bukan?
Kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun, yang selama ini terbukti mampu menjaga keseimbangan alam, malah dianggap usang, tidak relevan, bahkan dicap penghambat kemajuan.
Lebih parahnya lagi, ketika masyarakat Dayak bersuara, menolak tambang, mempertahankan hutan, atau sekadar menjelaskan praktik ladang berpindah, mereka kerap dilabeli sebagai anti-pembangunan. Padahal yang mereka perjuangkan adalah hak dasar: hidup di tanah sendiri, dengan cara sendiri, yang sudah terbukti berkelanjutan. Tetapi dalam logika kekuasaan yang sibuk menakar segala hal dengan profit dan investasi, nilai-nilai tersebut dianggap terlalu mahal atau bahkan tidak penting.
Kebijakan publik memarginalisasi kearifan kokal
Kita sering mendengar jargon “pembangunan berkelanjutan”, “partisipasi masyarakat” atau “kebijakan berbasis kearifan lokal”. Tetapi mari kita jujur: seberapa sering jargon tersebut benar-benar diterjemahkan ke dalam praktik yang adil dan menyeluruh?
Dalam konteks masyarakat Dayak, yang hidup menyatu dengan alam dan memiliki sistem pengetahuan ekologis yang kompleks, kearifan lokal justru lebih sering dijadikan pajangan seremonial daripada benar-benar didengarkan. Mereka dipuji saat festival budaya, namun dibungkam saat bersuara tentang tanah dan hutan mereka sendiri.
Contoh paling gamblang dapat kita lihat dalam perumusan kebijakan lingkungan dan tata ruang. Pemerintah daerah maupun pusat sering kali menyusun peta wilayah, izin tambang, dan program-program pembangunan tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai subjek yang sah. Padahal, siapa yang paling tahu tentang kontur tanah, ritme alam, dan pola cuaca di pedalaman Kalimantan? Bukan pejabat berjas rapi di ruang AC, namun para tetua adat yang hidup dan tumbuh di tengah hutan, yang sudah ratusan tahun mengelola alam dengan cara mereka sendiri, tanpa merusak.
Studi kasus mengenai konflik lahan antara masyarakat Dayak dan perusahaan tambang, serta inisiatif keberlanjutan yang berhasil melibatkan masyarakat adat, dapat memberikan gambaran jelas tentang dinamika ini. Sumber-sumber seperti Laporan dari World Wildlife Fund (WWF) tentang dampak kebijakan lingkungan terhadap masyarakat adat, atau penelitian dari lembaga seperti Forest Peoples Programme yang mengkaji hak-hak masyarakat adat, seringkali mengungkap hal ini.
BACA JUGA:
- Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dayak Hadapi Tantangan Zaman
- Berladang Bukan Penjahat
- Generasi Rentan, Masa Depan Ketapang Hilang
- Kesadaran Tanpa Aksi Hanya Basa-Basi
Selain itu, Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan izin tambang serta penggunaan lahan juga perlu dianalisis secara mendalam untuk melihat bagaimana implementasinya berdampak pada masyarakat adat.
Sayangnya, pengetahuan ini tidak dianggap sebagai “ilmu”. Hanya karena tidak tertulis di jurnal ilmiah atau tidak dilaporkan dalam bahasa akademik, kearifan lokal dianggap irasional, mistis, atau bahkan primitif. Inilah bentuk kolonialisme pengetahuan yang masih bertahan hingga hari ini: hanya ilmu versi Barat atau versi negara yang dianggap sah dan layak dijadikan dasar kebijakan.
Literatur akademis seperti buku Indigenous Knowledge and Sustainable Development oleh David A Posey atau artikel di jurnal seperti Journal of Sustainable Development dan Indigenous Policy Journal telah banyak membahas tentang bagaimana kearifan lokal seharusnya diakui. Akibatnya, masyarakat Dayak sering kali hanya menjadi “penonton” dalam pembangunan yang seharusnya mereka nikmati dan pahami lebih dahulu. Mereka tidak diajak bicara, bahkan ketika yang dibahas adalah hutan, sungai, dan tanah yang mereka rawat turun-temurun.
Lebih menyakitkan lagi, banyak kebijakan publik justru menempatkan masyarakat adat sebagai “masalah”. Misalnya, dalam konteks ladang berpindah, mereka dianggap penyebab kebakaran hutan tanpa memahami konteks ekologis dan ritual di balik praktik tersebut. Padahal, ladang berpindah dilakukan dengan penuh perhitungan, tidak serampangan dan justru berfungsi menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang. Namun, karena tidak sesuai dengan logika industri atau agenda korporasi, praktik tersebut dicap sebagai ancaman. Pemerintah pun lebih sibuk mengakomodasi kepentingan investor ketimbang mendengar suara warga yang sejak awal menjaga kelestarian alam.
Apakah ini yang dimaksud dengan pembangunan inklusif? Tentu tidak. Ketika masyarakat adat seperti Dayak dimarjinalkan dari proses perumusan kebijakan publik, kita sedang menciptakan ketimpangan struktural yang dalam. Hak mereka atas partisipasi aktif dalam pembangunan diabaikan, padahal itu adalah hak konstitusional. Mereka menjadi pihak yang paling terdampak oleh kebijakan, namun paling sedikit dilibatkan. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang tidak dapat terus-menerus dibiarkan.
Data demografis dan sosial dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia serta laporan dari lembaga internasional seperti United Nations Development Programme (UNDP) dapat menunjukkan statistik mengenai populasi masyarakat Dayak, tingkat pendidikan, akses terhadap sumber daya, dan dampak kebijakan terhadap kehidupan mereka, yang seringkali mengindikasikan marginalisasi ini.
Kita tidak dapat terus bersembunyi di balik alasan efisiensi atau investasi demi mengesampingkan suara masyarakat lokal. Kearifan lokal bukan sekadar “cerita masa lalu”, melainkan sumber solusi alternatif yang sangat relevan dengan tantangan lingkungan dan keberlanjutan hari ini.
Di tengah krisis iklim, siapa yang paling tahu cara hidup berdampingan dengan alam jika bukan mereka yang sejak dulu melakukannya? Tetapi sayangnya, ketika mereka berbicara, negara lebih memilih mendengar suara-suara dari ruang rapat dan proposal korporasi.
Sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, mengubah cara pandang terhadap masyarakat adat. Keterlibatan mereka dalam kebijakan bukan hanya soal sopan santun atau pemenuhan formalitas, namun kebutuhan strategis. Masyarakat Dayak bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan hak penuh untuk menentukan masa depan wilayahnya. Kita tidak dapat berbicara mengenai keadilan ekologi dan sosial jika masyarakat yang paling dekat dengan alam justru didorong keluar dari ruang-ruang pengambilan keputusan.
Organisasi masyarakat sipil (LSM) yang bekerja dengan masyarakat adat dan lingkungan, seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) atau Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), terus menyuarakan pentingnya hal ini.
Jadi, bila kita benar-benar ingin membangun Indonesia yang adil, berkelanjutan, dan berpijak pada jati diri bangsa, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendengar. Bukan sekadar mendengar untuk formalitas, namun mendengar dengan niat untuk memahami, melibatkan, dan menghormati. Karena selama suara masyarakat Dayak dan kearifan lokal lain masih dianggap sekadar “aksesori budaya”, maka sesungguhnya pembangunan yang kita agung-agungkan tersebut rapuh, dan berdiri di atas pengingkaran.
Stigmatisasi dan pembungkaman suara masyarakat adat
Mengapa ketika masyarakat Dayak berbicara mengenai tanah, mereka dianggap provokatif? Mengapa ketika mereka menolak tambang, suara mereka malah dicurigai sebagai bentuk perlawanan terhadap negara? Mengapa ketika mereka mempertahankan hutan, mereka dilabeli sebagai penghambat pembangunan? Ini bukan sekadar persoalan beda pandangan, namun soal bagaimana negara dan kekuasaan memelintir narasi agar masyarakat adat tampak salah, liar, dan “perlu dikendalikan”.
Stigmatisasi terhadap masyarakat Dayak sudah berjalan lama dan sistemik. Mereka yang memperjuangkan hak atas tanah adatnya dicap keras kepala. Mereka yang melawan perampasan hutan dicurigai sebagai dalang konflik. Bahkan dalam praktiknya, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya dikriminalisasi, dijerat pasal karet, dipenjara, atau dibungkam secara sosial.
Literatur akademis seperti buku Indigenous Peoples and the Law oleh Robert A Williams Jr dan artikel di jurnal seperti Cultural Survival Quarterly atau Journal of Human Rights secara khusus membahas mengenai stigma, marginalisasi, dan hak-hak masyarakat adat. Ini bukan lagi terkait pembangunan, namun soal siapa yang dianggap pantas berbicara dan siapa yang harus diam.
Ketika suara masyarakat Dayak tidak sesuai dengan agenda pemilik modal atau rencana pemerintah, cara termudah adalah membungkam mereka dengan stigma. Disebut tidak paham kemajuan, terlalu tradisional, atau sulit diajak bekerja sama. Padahal, bila kita ingin jujur, bukankah justru mereka yang sejak awal menjaga hutan dari kerusakan?
Mereka tidak membabat hutan menjadi sawit. Mereka tidak mengeruk tanah menjadi lubang tambang. Mereka tidak menjadikan sungai sebagai saluran limbah. Tetapi lucunya, ketika lingkungan rusak, mereka pula yang sering dituding menjadi penyebab. Laporan dari Human Rights Watch tentang pelanggaran hak masyarakat adat di Indonesia atau penelitian dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mengenai dampak tambang terhadap masyarakat lokal seringkali menguraikan bagaimana stigma beroperasi.
Kondisi ini bukan terjadi karena kebetulan. Ini adalah hasil dari narasi yang dibentuk secara sistematis: bahwa pembangunan harus seragam, bahwa semua orang harus mengikuti arus, dan bahwa yang berbeda, terutama yang berasal dari kampung dan tidak memiliki akses kekuasaan, harus tunduk. Di sinilah stigmatisasi menjadi alat politik. Ia bekerja diam-diam, namun efeknya sangat nyata: masyarakat adat kehilangan legitimasi untuk berbicara tentang haknya sendiri.
Data dari Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) tentang pelanggaran hak masyarakat adat dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengenai konflik lahan dapat memberikan bukti konkret mengenai kriminalisasi dan konflik yang dihadapi masyarakat Dayak.
Lebih buruk lagi, stigma ini beroperasi tidak hanya melalui media dan kebijakan, namun juga melalui pendidikan dan wacana publik. Sejak kecil, banyak dari kita diajarkan bahwa masyarakat adat tersebut “ketinggalan zaman”, “butuh dibina” atau “harus dibawa ke dunia modern”.
Penelitian tentang bagaimana pendidikan formal dan informal membentuk pandangan masyarakat terhadap masyarakat adat, seperti laporan terkait kurikulum pendidikan yang mengabaikan kearifan lokal dan masyarakat adat, sangat relevan di sini. Kita jarang diikutsertakan untuk melihat bahwa mereka memiliki sistem nilai, hukum adat, dan cara hidup yang jauh lebih berimbang dibanding logika pasar yang rakus dan cepat rusak. Maka, ketika mereka mempertahankan nilai-nilainya, kita, secara sadar atau tidak, melihat mereka sebagai penghalang. Inilah bentuk pembungkaman yang paling halus tetapi paling efektif: membentuk cara pandang kita agar tidak menganggap suara mereka penting.
Padahal, suara masyarakat Dayak adalah suara yang harus dipertahankan. Karena ketika mereka berbicara, yang mereka bicarakan bukan hanya tanah dan hutan, namun juga keberlanjutan hidup. Mereka bukan berbicara mengenai “nostalgia masa lalu”, namun terkait masa depan bersama. Mereka bukan sekadar menolak tambang, namun mempertanyakan siapa yang akan menanggung dampaknya ke depannya.
BACA JUGA TULISAN LAINNYA:
- Dari Aspirasi Menjadi Aksi, Menuntut Tanggung Jawab Pemangku Kebijakan
- Jalan Harus Menjadi Perhatian Serius oleh Pemerintah Daerah
- Menjangkau yang Belum Sempat Terjangkau, Perlahan Mengejar Ketertinggalan
Mereka bukan sekadar menolak program pembangunan, namun menuntut bentuk pembangunan yang adil dan tidak membunuh akar kehidupan mereka. Studi kasus tentang masyarakat Dayak di Kalimantan yang menolak tambang dan mengalami tindakan represif, atau inisiatif mereka dalam mempertahankan hutan dan dampak yang mereka hadapi, dapat menggambarkan perlawanan ini.
Jadi, apa yang salah dari semua hal tersebut? Tidak ada. Yang salah adalah sistem yang lebih memilih jalan pintas, menyebarkan stigma, menebar ketakutan, kemudian membungkam. Dan ketika masyarakat Dayak diam, banyak yang mengira mereka tidak peduli atau tidak tahu. Padahal mereka diam karena tahu bersuara dapat berujung penjara. Mereka diam karena terlalu sering dijebak dalam permainan yang tidak pernah mereka pilih.
Inilah ironi terbesar pembangunan di negeri ini. Kita mengklaim ingin adil dan inklusif, namun menutup telinga terhadap mereka yang paling tahu bagaimana menjaga alam. Kita berbicara mengenai keberagaman, namun tidak memberi ruang pada suara-suara yang berbeda narasi. Kita mengagumi budaya Dayak dalam festival, namun menolak mendengar argumen mereka dalam ruang sidang. LSM seperti Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) atau Forest Peoples Programme terus mendukung perjuangan masyarakat adat dalam menghadapi stigma dan mempertahankan hak-hak mereka.
Maka, tugas kita hari ini bukan hanya membela hak masyarakat adat dari luar, namun juga membuka ruang agar mereka dapat membela diri sendiri, dengan suara mereka, dengan bahasa mereka, dan dengan logika hidup mereka. Menghapus stigma bukan perkara semata membantah tuduhan, namun terkait membongkar struktur yang melanggengkan kebungkaman. Karena selama masyarakat Dayak terus dicurigai setiap kali mereka bersuara, maka kita belum benar-benar siap menjadi bangsa yang adil dan dewasa.
Sudah terlalu lama masyarakat Dayak diposisikan sebagai “yang lain” dalam narasi pembangunan, dipuji dalam brosur pariwisata, namun ditolak saat bersuara mengenai tanah dan hak hidupnya. Kita harus berhenti mengagungkan kearifan lokal hanya sebagai simbol budaya, sementara pada saat yang sama menyingkirkannya dari ruang-ruang pengambilan keputusan. Karena yang mereka perjuangkan bukan sekadar romantisme adat, namun terkait keberlanjutan hidup, keadilan ruang, dan hak atas masa depan yang setara.
Pembungkaman terhadap masyarakat adat, termasuk melalui stigma dan kriminalisasi, bukan hanya merusak demokrasi, namun juga menyingkap wajah asli pembangunan yang rakus dan elitis. Jikalau kita benar-benar berbicara mengenai kemajuan, maka langkah pertama adalah belajar mendengar, bukan untuk mengatur, apalagi menggurui, namun untuk memahami. Karena tanpa keberanian mendengar suara dari pinggiran, pembangunan hanyalah proyek kosong yang penuh angka tetapi kehilangan makna. (*)
There is no ads to display, Please add some