Kisah Fransiskan Muda yang Awalnya Benci Tapi Akhirnya Kagum pada Paus Benediktus XVI

beritabernas.com – Seorang Fransiskan muda yang kini menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi Fransiskus Dempol mengaku awalnya benci namun akhirnya sangat kagum dengan Paus emeritus Benediktus XVI.

Mengapa Fransiskan muda Fransiskus Dempol benci dan akhirnya sangat kagum terhadap sosok Paus emeritus Benediktus XVI asal Jerman yang meninggal dunia dalam usia 95 tahun di penghujung tahun 2022, 31 Desember 2022 pukul 09.34 waktu Vatikan itu.

Baca juga:

Berikut penuturan Fransiskus Dempol selengkapnya yang dikutip beritabernas.com di akun instagramnya yang diunggah pada 1 Januari 2023.

https://www.instagram.com/frans_juga/

Saya mulai sangat sering mendengar dan mambaca nama Joseph Ratzinger sejak awal tahun 80-an. Saat itu, saya mulai belajar filsafat dan teologi di STF Driyarkara Jakarta sebagai seorang Fransiskan muda. Seingat saya pada awal-awal tahun itu, beliau diangkat oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai kepala, kalau tidak salah, kongregasi ajaran iman. 

Paus Emeritus Benediktus XVI. Foto: Istimewa

Pada saat itu saya membayangkan dua hal. Pertama, betapa sangat pintarnya orang itu, sangat luas dan dalam pengetahuan teologisnya sehingga diangkat menjadi kepala kongregasi itu. Kedua, saya juga membayangkan bahwa sosok orangnya, sangat rasional. Menghadapi segala sesuatu dengan pikiran rasional. 

Saya selalu agak alergi dengan orang-orang yang sangat atau lebih baik terlalu rasional. Agak tidak cocok saja rasanya dengan gaya timuran saya yang tidak selalu memberi posisi sangat dominan kepada rasioku sebab aku selalu membawa rasaku dalam lorong-lorong hidupku. Bahkan tidak hanya alergi, saya cenderung curiga, yaitu mencurigai bahwa mereka itu angkuh. 

Diam-diam muncul rasa antipati saya kepadanya. Belum condong kepada sikap benci. Rasa antipati itu makin tebal, ketika beliau, pada tahun 1984-an, mengeluarkan semacam notifikasi kepada Leonardo Boff OFM, yang pada saat itu menjadi idola kami para Fransiskan muda di dalam ordo. Hal itu terjadi terkait dengan sepak terjang Boff dalam bidang teologi pembebasan yang pada tahap awal itu, seperti tidak bisa berjalan bersama dengan visi Vatikan, visi Ratzinger. Hehehehe… 

Saya membaca notifikasi kepada Boff itu dengan atau sambil membayangkan muka Ratzinger yang tegang, garang, ganas, lugas, tanpa tedeng aling-aling, menyemprotkan kata-kata pedas kepada para teolog pembebasan. Hemmmmm…. 

Pertemuan pertama kali antara Pater Markus Solo Kewuta SVD dan Paus Benedictus XVI tahun 2008 di Vatikan.Foto: Istimewa

Sikap antipati itu terus terbawa sampai era 90an, saat saya sudah tamat kuliah dan sudah bekerja sebagai dosen. Akibatnya, saya hampir seperti di bawah sadar tidak pernah mencari buku-buku atau karangan dari Ratzinger. Kalau toh ada yang saya temukan secara tidak sengaja di perpustakaan atau pun dalam survey bibliografi, akan segera saya lewatkan saja. Saya sama sekali tidak tertarik kepadanya. 

Ya, akhirnya saya kagum padanya. Bahkan sangat menghormati dan mencintainya. Selamat jalan Bapa Suci. Hidup abadi menantimu. Akhirnya saya pun semakin kagum akan dia karena dia tidak sangat rasionalis seperti kesan saya dulu, melainkan juga sangat devosional. Kekaguman saya akan devosionalitas dia meningkat setelah ia jadi Paus dan membaca banyak buku dia. Salah satu buku yang saya baca dengan sangat serius ialah buku tentang Yesus Kristus itu.

Dari buku inilah saya baru bisa melihat sisi lain dalam hidup rohani Ratzinger sebagai imam dan teolog. Singkatnya, saya baru sadar untuk pertama kalinya bahwa Ratzinger ini mempunyai hidup devosional yang sangat kuat, mendalam. Pokoknya ia orang saleh. Sejak saat itu, runtuh sudah kesan angker Ratzinger, sebagai seorang teolog rasionalis yang kaku, angkuh, dingin, seperti tembok benteng yang dingin dan berlumut basah, licin.

Jenasah Paus emeritus Benedictus XVI. Foto: screenshot YouTube

Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2002 saya belajar teologi sistematik di Katolieke Universiteit Nijmegen, Belanda. Pada kesempatan itulah saya mendapat momen isimewa untuk mengenal sosok Ratzinger ini dengan lebih baik.

Salah seorang profesor teologi dogmatik saya mengajarkan teologi eklesiologi. Dan buku pegangan yang kami pakai ialah salah satu buku penting dari Miroslav Volf. Volf ini menulis buku yang membuat perbandingan antara eklesiologi Ratzinger dan eklesiologi salah satu teolog Ortodoks Yunani, John Zizioulas. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *