beritabernas.com – Konsep keadilan sosial dalam pembentukan Perda tentang APBD di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya diimplementasikan melalui penerapan prinsip partisipasi dan distribusi. Prinsip partisipasi menghendaki keterlibatan aktif masyarakat pada setiap proses pembentukan dan pengelolaan anggaran, dalam hal ini prinsip partisipasi diwujudkan melalui mekanisme participatory budgeting.
Sementara prinsip distribusi menghendaki setiap proses pembentukan Perda tentang APBD dan alokasi anggaran harus didasarkan pada besaran nilai kontribusi dalam perolehan pendapatan daerah dengan mengacu pada pemenuhan terhadap dimensi keadilan sosial.
Namun, pembentukan Perda tentang APBD di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya tidak menerapkan konsep keadilan sosial secara utuh, mengingat prinsip partisipasi tidak dilaksanakan pada setiap tahapan proses pembentukan perda dan distribusi anggaran belum memperhatikan skala prioritas dimensi keadilan sosial.
Prinsip partisipasi dan distribusi yang dimaksud perlu dicantumkan secara eksplisit pada bab tersendiri dalam peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Perda APBD. Selain itu, penambahan kedua prinsip tersebut harus diikuti dengan pengawasan terhadap pelaksanaannya, evaluasi secara berkala, transparansi informasi, dan sanksi administratif yang perlu dijatuhkan kepada daerah yang melakukan penyimpangan terhadap kedua prinsip tersebut.

Demikian kesimpulan disertasi Dadih Abdulhadi, Dosen Tetap di Universitas Mayasari Bakti (UMB) dan Perumda Air Minum Tirta Sukapura Kabupaten Tasikmalaya, dengan judul Pembentukan Perda tentang APBD Berbasis Keadilan Sosial yang diajukan kepada Dewan Penguji dalam Ujian Terbuka Disertasi (Promosi Doktor) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Hukum pada Program Studi Hukum Program Doktor, FH UII, Sabtu 30 Agustus 2025.
Setelah berhasil mempertahankan disertasi tersebut di hadapan tim penguji, Dadih Abdulhadi berhasil meraih gelar Doktor dengan predikat Sangat Memuaskan. Dadi Abdulhadi merupakan Dokor ke-194 yang mengikuti ujian promosi Doktor di FH UII.
Menurut Dadih Abdulhadi, penelitian ini bertujuan untuk mengkonseptualisasikan dan mengimplementasikan prinsip keadilan sosial dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang APBD. Penelitian ini fokus pada tiga rumusan masalah, yakni: (1) Bagaimana konsep keadilan sosial dalam pembentukan Perda tentang APBD? (2) Apakah pembentukan Perda tentang APBD di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya selama lima tahun terakhir telah sesuai dengan konsep keadilan sosial? (3) Bagaimana konstruksi hukum baru penerapan konsep keadilan sosial dalam pembentukan Perda tentang APBD?
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan ekonomi politik.,” kata Dadih Abdulhadi.
Baca juga:
- Berhasil Mempertahankan Disertasi, Dosen UJB Nita Ariyani Meraih Gelar Doktor di FH UII
- Ujian Terbuka Promosi Doktor di FH UII, Muhammad Noor Lulus dengan Predikat Sangat Memuaskan
- Yana Suryana Lulus dengan Sangat Memuaskan dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor di FH UII
Menurut Dadih Abdulhadi, latar belakang penelitian ini adalah setelah melihat corak hubungan antara pusat dan daerah pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI tahun 1945) mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan yang dimaksud dari pola hubungan yang bersifat sentralistis dan paternalistis menjadi desentralistis dan kemitraan.
Pola desentralistis dapat dibuktikan dalam Pasal 18 UUD NRI tahun 1945 yang pada pokoknya mengatur beberapa ketentuan berikut. Pertama, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui keberadaan pemerintahan daerah pada tiap provinsi, kabupaten dan kota. Kedua, penyelenggaraan pemerintahan daerah diselenggarakan dengan prinsip otonomi dan tugas pembantuan, dimana kedua prinsip tersebut dilaksanakan melalui penetapan peraturan daerah dan peraturan lainnya.
Pola kemitraan ditunjukkan dalam Pasal 18A ayat (2) yang menyebutkan bahwa, dalam hubungan keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam meniscayakan pelaksanaan yang adil dan selaras antara pemerintah pusat dan daerah. Paradigma hubungan kemitraan yang terjalin menjadikan pemerintahan daerah sebagai salah satu aspek struktural yang diharapkan dapat memperlancar mekanisme roda pemerintahan melalui pendelegasian kekuasaan.
Di antara kekuasaan yang didelegasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah melakukan pengelolaan terhadap keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah menjadi bagian tidak terpisahkan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan dan merupakan implikasi logis dari prinsip desentralisasi dalam negara kesatuan.
Encyclopedia of the Social Science memaknai desentralisasi sebagai penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk memenuhi tiga tujuan pokok. Pertama, tujuan politik yang dimaknai sebagai media untuk menyalurkan partisipasi politik di tingkat daerah guna menjaga terwujudnya stabilitas nasional. Kedua, tujuan ekonomi yang dapat menjamin pembangunan akan dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerah-daerah dalam rangka mewujudkan keadilan sosial.
Ketiga, tujuan filosofis yang berkaitan dengan pemenuhan kedaulatan rakyat dan demokrasi. The Liang Gie menekankan bahwa pelimpahan atau penyerahan wewenang kepada daerah-daerah otonom oleh pemerintah pusat dilakukan bukan karena diatur dalam konstitusi, tetapi disebabkan oleh hakikat negara kesatuan itu sendiri. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dapat dikatakan bahwa desentraliasasi merupakan hakikat dari negara kesatuan.
Litvack mengklasifikasikan penyelenggaraan desentralisasi dalam kerangka negara kesatuan ke dalam tiga bentuk, yakni: desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Adapun kekuasaan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah merupakan perwujudan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Keberadaan desentralisasi fiskal secara implisit dimuat dalam Pasal 280 Ayat (2) Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pasal a quo menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pengelolaan keuangan daerah dilakukan melalui beberapa agenda berikut: pertama, pengelolaan dana secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Kedua, mensinkronkan pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Ketiga, melaporkan realisasi pendanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari tugas pembantuan. Ketiga agenda di atas harus dilaksanakan dengan mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi ekonomi yang responsif, luas, dan bertanggungjawab.

Kewajiban daerah dalam pengelolaan keuangan menuntun pada pemberian kewenangan bagi daerah untuk membuat peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (selanjutnya disebut Perda APBD). APBD dimaknai sebagai rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan Perda. APBD merupakan dokumen anggaran yang terstruktur atas: pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Penuangan anggaran daerah dalam bentuk peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk memenuhi kepastian hukum melalui kejelasan dari aspek yuridis-normatif.
Struktur keuangan daerah yang tertuang dalam APBD tersusun atas pendapatan asli daerah, penerimaan daerah, dan pembiayaan daerah. Pendapatan asli daerah (PAD) dapat bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, PAD lain-lain yang sah, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan pengadaan barang atau jasa oleh daerah.[2] Sumber PAD sebagian besar berasal dari kontribusi masyarakat dan pengelolaan terhadap kekayaan alam di daerah. Oleh karena itu, menjadi suatu keniscayaan pengelolaan keuangan daerah melalui pembentukan Perda APBD harus diorientasikan untuk kesejahteraan masyarakat.
Daerah diberikan kewenangan yang luas dalam pengelolaan keuangan daerah, namun meskipun demikian pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara mutlak. Artinya, terdapat pembatasan yang patut diperhatikan oleh daerah agar tidak terjadi tindakan melampaui kewenangan dan mengarah pada penegasian terhadap pencapaian kesejahteraan sosial. Pembatasan yang dimaksud dikristalkan dalam bentuk keharusan memperhatikan prinsip keadilan sosial dalam setiap pembentukan kebijakan. (lip)
There is no ads to display, Please add some