beritabernas.com – Potensi energi terbarukan di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya panas bumi (geothermal) di Pulau Flores, kembali menjadi perbincangan nasional. Flores tidak hanya dikenal karena tanahnya yang “panas” secara geologis, tetapi juga menyimpan potensi besar untuk menjadi motor penggerak transisi energi nasional.
“Kami di Flores punya emas di perut bumi. Jangan sampai potensi ini jadi rebutan korporasi. Harus dikelola dengan berpihak pada masyarakat adat dan keberlanjutan lingkungan,” kata Roni Dakuya, Ketua Panitia Seminar bertajuk Energi Panas Bumi untuk NTT: Peluang dan Kendala di ILC Jogja, Minggu 15 Juni 2025.
BACA JUGA:
- Pemerintah Daerah Berperan Strategis dalam Reformasi Energi Menuju Ketahanan Energi Nasional
- Dukung Desa Mandiri Energi, Prodi Teknik Elektro FTI UII Terapkan Teknologi Mesin Pompa Air Tenaga Surya
- PMKRI Yogyakarta Desak Presiden Prabowo Cabut Izin Usaha Pertambangan di Raja Ampat
- Gerakan Kebersihan di Pantai Goa Cemara Berhasil Mengumpulkan Puluhan Karung Sampah
Seminar yang digelar oleh Gerakan Aliansi Mahasiswa NTT di Yogyakarta ini menghadirkan narasumber dari akademisi, pengamat kebijakan, praktisi energi dan perwakilan mediator PLN.
Rni menyoroti dominasi perusahaan besar dan negara asing dalam penguasaan sumber energi dunia. “Energi bukan sekadar bisnis. Ini soal kedaulatan dan partisipasi. Jangan biarkan kita hanya jadi penonton di rumah sendiri,” tegas Roni.
Dalam sesi diskusi, berbagai pandangan mengemuka, termasuk soal pentingnya melihat energi dalam konteks geopolitik dan diplomasi. Potensi panas bumi NTT disebut dapat menjadi contoh model kerja sama internasional berbasis kearifan lokal, bukan dominasi modal asing.

Prof Agung Harijoko, Guru Besar Geologi dari UGM sebagai salah satu narasumber, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, namun pemanfaatannya masih minim.
“Flores dan kawasan lain di NTT adalah bagian dari cincin api dunia, yang menyimpan cadangan panas bumi besar. Tapi kita masih terkendala kebijakan, investasi dan SDM,” kata Prof Agung Harijoko.
Ia menekankan bahwa pengembangan geotermal memerlukan pemahaman geologi mendalam dan dukungan kebijakan yang ramah investor dan berpihak pada masyarakat. “Energi geotermal adalah energi bersih dan bisa digunakan tak hanya untuk listrik, tapi juga pemanasan rumah kaca, spa atau pengolahan hasil pertanian,” kata Prof Agung.
Panas bumi masa depan energi NTT
Sementara perwakilan mediator PLN, Fabianus H Edy, mengatakan, beberapa proyek panas bumi sedang berjalan di wilayah NTT. Energi ini lebih stabil dibanding diesel dan tidak tergantung cuaca. “Kami sadar pentingnya lingkungan. Semua proyek sudah melewati kajian Amdal dan melibatkan masyarakat sejak awal,” ujar Edy.

Edy memastikan bahwa PLN berkomitmen menghindari praktik penggusuran dan perampasan ruang hidup. “Energi ini untuk masyarakat, bukan sebaliknya,” tegas Edy.
Seminar ini menjadi ruang reflektif sekaligus seruan konkret bagi mahasiswa, pemuda dan masyarakat sipil NTT untuk mulai membangun jalan menuju swasembada energi. Bukan hanya urusan teknis dan teknologi, tetapi juga menyangkut keadilan, hak masyarakat adat, dan arah kebijakan.
Gerakan Mahasiswa NTT di Yogyakarta berharap hasil seminar ini menjadi masukan strategis bagi pemerintah daerah, DPRD dan pemangku kebijakan lainnya di NTT.
“Kalau NTT ingin mandiri dan adil, kita harus mulai dari energi. Bukan hanya soal kabel dan turbin, tapi soal siapa yang mengendalikan, siapa yang menikmati dan siapa yang berkorban. Di situlah letak tantangannya,” kata Roni. (Laurensius Bagus, Moderator Seminar yang juga Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil UCY)
There is no ads to display, Please add some