Membangun Gerakan Partisipatif Pengelolaan Sampah, Komisi KPKC Kevikepan Jogja Timur dan UAJY Gelar Seminar

beritabernas.com – Dalam rangka menghadapi krisis sampah dan air yang semakin mengkhawatirkan, Komisi KPKC Kevikepan Yogyakarta Timur bekerja sama dengan Universitas Atmajaya Yogyakarta dan Gerakan Laudato Si’ Indonesia-Chapter Yogyakarta menggelar seminar bertajuk Membangun Gerakan Partisipatif Pengelolaan Sampah untuk Merawat Bumi dan Air di Ruang Audio Visual Gedung Thomas Aquinas, Kampus 2 Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) pada Minggu 23 Maret 2025.

Seminar diikuti oleh 103 peserta yang terdiri dari perwakilan Tim Kerja Keutuhan Ciptaan/Lingkungan Hidup atau KKPKC Paroki se-Kevikepan Yogyakarta Timur, tarekat religi, komunitas peduli lingkungan dari berbagai kalangan ormas, partai dan keagamaan, pelajar, mahasiswa dan akademisi yang tertarik pada isu pengelolaan sampah serta pemerhati lingkungan dan pelaku usaha daur ulang.

Menurut Agustinus Sumaryoto, Komisi KPKC Paroki se-Kevikepan Yogyakarta Timur, serminar ini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat tentang budaya sampah yang mengkhawatirkan, membagikan pengalaman pengelolaan sampah yang telah berhasil diimplementasikan dan mendorong inisiatif gaya hidup minim sampah serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan.

Suasana seminar di Ruang Audio Visual Gedung Thomas Aquinas UAJY, Minggu 23 Maret 2025. Foto: Dok Komisi KPKC

Dikatakan, Yogyakarta sebagai kota budaya dan pendidikan kini menghadapi tekanan demografis dan sosiologis yang signifikan akibat urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, populasi Yogyakarta meningkat sebesar 1,5% per tahun, dengan tingkat urbanisasi mencapai 65% pada tahun 2023 (Badan Pusat Statistik/BPS DIY, 2023).

Pertumbuhan ini berdampak serius pada lingkungan, terutama dalam hal pengelolaan sampah dan air. Yogyakarta menghasilkan 1.300 ton sampah per hari, dengan 60% di antaranya merupakan sampah organik yang tidak terkelola (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] DIY, 2023). Sampah yang tidak terkelola ini mencemari sungai, mengurangi kualitas air, dan mengancam kesehatan masyarakat.

“Krisis sampah di Yogyakarta telah mencapai titik kritis. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, yang sebelumnya menjadi andalan, telah ditutup karena kelebihan kapasitas. Sementara TPS3R tidak mampu menampung volume sampah yang terus meningkat,” kata Agustinus Sumaryoto dalam rilis yang diterima beritabernas.com, Minggu 23 Maret 2025.

Volume sampah meningkat

Agustinus Sumaryoto mengungkapkan data DLHK DIY tahun 2023 menyebutkan bahwa setiap hari Yogyakarta menghasilkan 1.300 ton sampah dengan 60% sampah organik yang tidak terkelola. Sampah organik yang tidak terkelola ini menghasilkan gas metana (CH₄), gas rumah kaca yang 28 kali lebih berbahaya daripada CO₂ dalam memicu pemanasan global (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC, 2021).

Menurut Sumaryoto, kapasitas kapasitas TPA dan TPS3R yang ada sudah kewalahan. Menurut penelitian dari UGM tahun 2022, hanya 30% sampah yang terkelola dengan baik, sementara 70% sisanya berakhir di sungai, tanah kosong atau dibakar secara ilegal (UGM, 2022). Sementara fasilitas pengolahan sampah modern, seperti insinerator dan pengomposan skala besar, masih sangat terbatas.

Sementara survei Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2022) menunjukkan bahwa hanya 40% masyarakat Yogyakarta yang memilah sampah di rumah (KLHK, 2022). Minimnya pemahaman tentang prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Dalam konteks krisis lingkungan di Yogyakarta, refleksi teologis dari Ensiklik Laudato Si’ (Paus Fransiskus, 2015) memberikan perspektif mendalam tentang tanggung jawab manusia terhadap alam. Ensiklik ini menekankan bahwa Bumi adalah rumah kita bersama (Laudato Si’) dan manusia dipanggil untuk merawatnya sebagai bentuk tanggung jawab moral dan spiritual.

Menurut Agustinus Sumaryoto, Laudato Si’ menegaskan bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari krisis sosial dan moral. Segala sesuatu saling berhubungan (Laudato Si’, §16), termasuk masalah sampah dan air di Yogyakarta, yang berdampak pada kesehatan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

Manusia diberi mandat oleh Tuhan untuk mengusahakan dan memelihara alam (Kejadian 2:15). “Pengelolaan sampah dan air yang buruk di Yogyakarta mencerminkan kegagalan dalam memenuhi mandat ini,” kata Sumaryoto.

Dikatakan, ensiklik ini mendorong semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat dan gereja, untuk mengambil tindakan nyata dalam merawat lingkungan. “Kita membutuhkan perubahan yang radikal dan berani” (Laudato Si’, §171) untuk mengatasi krisis lingkungan.

BACA JUGA:

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DIY 2022-2027 memberikan kerangka kebijakan untuk pengelolaan sampah dan air.

Pertama, pengelolaan sampah. RPJPD DIY 2022-2027 menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% melalui program 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan pembangunan fasilitas pengolahan sampah modern (Pemerintah Daerah DIY, 2022). RPJMD DIY 2022-2027 menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, termasuk melalui program bank sampah dan edukasi lingkungan (Pemerintah Daerah DIY, 2022).

Kedua, pengelolaan air. RPJPD DIY 2022-2027 menargetkan peningkatan ketersediaan air bersih melalui rehabilitasi daerah resapan air dan pemanenan air hujan (Pemerintah Daerah DIY, 2022). RPJMD DIY 2022-2027 menekankan pentingnya regulasi ketat untuk mencegah pencemaran air dan eksploitasi air tanah yang berlebihan (Pemerintah Daerah DIY, 2022).

Ketiga, kebijakan pengelolaan sampah yang lebih tegas dan konsisten. Untuk mengatasi krisis sampah, pemerintah daerah perlu menerapkan kebijakan yang lebih tegas dan konsisten. Penerapan sanksi tegas bagi pelanggar aturan pengelolaan sampah, seperti denda atau kerja sosial. Contoh sukses dapat dilihat di Kota Surabaya, yang berhasil mengurangi volume sampah sebesar 20% dalam 3 tahun melalui penegakan hukum yang ketat (KLHK, 2021).

Selain itu, pembangunan fasilitas pengolahan sampah modern, seperti pabrik pengomposan skala besar dan insinerator ramah lingkungan. Studi dari Institut Teknologi Bandung (ITB, 2020) menunjukkan bahwa insinerator modern dapat mengurangi volume sampah hingga 90% dan menghasilkan energi listrik (ITB, 2020).

Kemudian, edukasi masyarakat tentang prinsip 3R dan manajemen sampah berbasis sumber. Program ini harus dilakukan secara berkelanjutan melalui sekolah, komunitas, dan media sosial. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan jangka panjang, seperti pengurangan penggunaan plastik sekali pakai dan insentif bagi industri daur ulang. Sebagai contoh, kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) di Jepang telah berhasil mengurangi sampah plastik sebesar 30% dalam 5 tahun (United Nations Environment Programme/UNEP, 2020).

Ancaman krisis air

Selain krisis sampah, Yogyakarta juga menghadapi ancaman krisis air. Data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY menunjukkan bahwa 40% wilayah Yogyakarta mengalami defisit air bersih selama musim kemarau (DLHK DIY, 2023).

Beberapa masalah kunci terkait air antara lain, pertama, penurunan kualitas air, Sungai-sungai utama seperti Sungai Code dan Sungai Gajahwong telah tercemar oleh sampah dan limbah domestik. Studi dari UGM (2021) menemukan bahwa 70% sampel air sungai di Yogyakarta mengandung bakteri E.coli dan logam berat yang melebihi ambang batas aman (UGM, 2021).

Suasana seminar di Ruang Audio Visual Gedung Thomas Aquinas UAJY, Minggu 23 Maret 2025. Foto: Dok Komisi KPKC

Kedua, penurunan kuantitas air tanah.Tingkat penurunan air tanah di Yogyakarta mencapai 1-2 meter per tahun, terutama di kawasan perkotaan yang padat. Menurut penelitian dari Badan Geologi (2022), eksploitasi air tanah yang berlebihan telah menyebabkan penurunan muka air tanah hingga 10 meter dalam 10 tahun terakhir (Badan Geologi, 2022).

Ketiga, kekeringan. Beberapa wilayah, terutama di Gunungkidul dan Bantul, sering mengalami kekeringan parah. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG, 2023) menunjukkan bahwa 30% wilayah DIY rentan terhadap kekeringan selama musim kemarau (BMKG, 2023).

Untuk mengatasi krisis air, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tegas dan konsisten. Pemerintah perlu merumuskan regulasi yang ketat untuk melindungi sumber air dan mencegah pencemaran. Contohnya, penerapan zona larangan pembangunan di sekitar daerah resapan air.

Selain itu, mendorong masyarakat untuk memanen air hujan sebagai alternatif sumber air bersih. Studi dari ITB (2021) menunjukkan bahwa pemanenan air hujan dapat memenuhi 30% kebutuhan air rumah tangga (ITB, 2021). Kemudian, memperbaiki dan melindungi daerah resapan air untuk meningkatkan kapasitas penyerapan air tanah. Program penanaman pohon dan pembuatan biopori dapat menjadi solusi efektif.

Pemerintah perlu merencanakan aksi bersama untuk ketersediaan air dalam jangka panjang, seperti pembangunan waduk dan sistem distribusi air yang efisien. (*/lip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *