Mencermati Pidato Prabowo pada Rakornas PAN

Oleh: Saiful Huda Ems

beritabernas.com – Karakter Prabowo Subianto (PS) yang gemar menebar ancaman rupanya masih belum hilang juga sejak ia menjadi Danjen Kopassus hingga di usia senjanya sekarang.

“Kita ingin berjuang bersama-sama, namun jika tidak mau diajak kerjasama, jangan mengganggu!”. Begitu cuplikan ucapan PS yang saya dengar. 

Kata-kata jangan mengganggu ini, diucapkannya dengan serius, seperti ia sedang mengancam seseorang atau kelompok tertentu yang menunjukkan ketegasan sikap politiknya yang tak ingin bergabung dengan pemerintahan PS kelak.

Setahu saya sampai saat ini baru PDI Perjuangan melalui Sekjen Hasto Kristiyanto dan Capres yang diusung di Pilpres 2024 Ganjar Pranowo yang terus menerus bersikap kritis pada PS, wabil khusus pada Presiden Jokowi.

Apalagi di waktu yang hampir bersamaan dengan Rakornas PAN, Ganjar Pranowo telah mendeklarasikan dirinya akan mengambil sikap oposisi pada Pemerintahan Jokowi dan Prabowo. Mungkin karena hal ini, PS yang mewarisi karakter kepemimpinan Soeharto di era Orde Baru (Orba) yang anti kritik, PS sudah panik duluan dan memberikan peringatan untuk tidak mengganggu apa yang akan dilakukannya ketika PS sudah dilantik menjadi Presiden ke-8 RI. 

Padahal kritik itu sehat dan hanya orang-orang anti kritiklah yang menganggap kritik itu sebagai gangguan. Selain itu, melalui bahasa isyarat, PS juga mengatakan bahwa ia tidak memiliki tanggal merah, semuanya biru. Bagi orang-orang yang kurang peka intuisi politiknya, mungkin akan menerjemahkan biasa-biasa saja, yang maksudnya PS akan terus bekerja tanpa mengenal hari libur (tanggal merah). 

BACA JUGA:

Namun jika dicermati lebih jauh, ini juga bisa jadi merupakan bahasa isyarat bahwa ia tidak akan bekerjasama dengan PDIP (biasa dikenal dengan istilah Partai Merah), sebab bagi PS, PDIP selain tidak mendukungnya di Pilpres 2024, juga memiliki sejarah panjang sebagai partai terdepan yang membela kaum pinggiran (wong cilik) dan yang paling tegas mengkritisi pemerintahan yang korup dan tak berempati pada penderitaan kaum marginal.

PS mungkin sadar bahwa pidatonya yang menyatakan akan memperjuangkan nasib rakyat kecil hanyalah omon-omon saja, sebab nyatanya PS dan adiknyalah yang selama ini banyak menguasai lahan-lahan milik negara, yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat.

PS mungkin juga sadar, bahwa ia terpilih sebagai Presiden ke-8 RI, juga berkat dukungan dari Presiden Jokowi yang telah terlebih dahulu mengacak-acak Mahkamah Konstitusi dan KPU. 

Maka tidak heran, dalam pidatonya PS juga mengatakan telah didukung oleh Jokowi, SBY, Gus Dur, Soeharto dan Bung Karno tanpa menyebut sama sekali nama Bu Megawati Soekarnoputri. Bahkan PS sempat menyindir Bung Karno milik semua orang dan tidak bisa diklaim sebagai milik satu partai tertentu.

Inilah karakter asli PS yang lupa dengan jasa Ibu Megawati Soekarnoputri, yang memintanya pulang kembali ke Tanah Air setelah PS diincar oleh rakyat Indonesia atas peristiwa Penculikan Aktivis ’98 dan Kerusuhan Nasional tahun 1998.

Bu Megawati Soekarnoputrilah yang telah mengangkat kembali kehormatan PS sebagai pecatan TNI, dengan menjadikannya Cawapres di Pilpres 2009. Kalau tidak karena jasa Ibu Megawati ini, PS mungkin masih akan terus menjadi warga negara yang tidak jelas identitasnya di Yordania. Namun PS rupanya seolah lupa dengan itu semua dan lebih mengingat jasa Jokowi yang telah melahirkan anak haram konstitusi, dan memberikan jalan yang mulus bagi PS untuk menjadi Presiden ke-8 RI.

Saya khawatir apa yang dikatakan PS dalam pidatonya, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, akan menjadi kenyataan. Bahwa Jokowi yang memulai mengobrak-abrik konstitusi dan lembaga-lembaga negara akan diikuti kemudian oleh PS juga. Bukankah PS selama ini telah terang-terangan, bahwa PS banyak belajar dari Jokowi?

Namun karakter tetaplah karakter. Jika dari mudanya saja sudah temperamental, selamanya akan tetap begitu juga. Begitu pula dengan politik, jika seorang politisi tidak terlatih hidup dari kecil dengan semangat pengabdian pada negara, melainkan semangat mencari penghidupan dari kekuasaan, maka selamanya sampai tua akan begitu juga. Dan ketika kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan, maka seorang penguasa akan terusik ketika ada penguasa bayangan di sampingnya. 

Inilah mengapa saya haqul yakin hingga hari ini, bahwa kerjasama PS dan Jokowi itu tidak akan bertahan lama, ketika Jokowi tak lagi menjadi Presiden, PS akan membuangnya. Terlebih ketika kedua-duanya sepertinya memiliki karakter yang sama, yakni mudah melupakan jasa orang-orang yang pernah membesarkannya, dan membuat keduanya menjadi terhormat di mata masyarakatnya.

Tak terasa puntung rokok di asbakku penuh dan kopi di gelasku tinggal ampasnya. Aku kemudian termenung mengingat teman-teman seperjuangan yang masih tak ku ketahui dimana keberadaan jasadnya, setelah peristiwa penculikan aktivis menjelang Reformasi ’98 yang sangat mengerikan itu.

Sekarang saya seolah dipaksa oleh suatu peristiwa, bahwa saya harus menerima kenyataan bangsa dan negeri ini akan segera dipimpin oleh orang yang dahulu menculiknya. Semoga Allah SWT menjaga dan melindungi bangsa ini. Aamiin. (Saiful Huda Ems (SHE), Lawyer dan Analis Politik serta mantan Aktivis ’98)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *